6

57 13 44
                                    

Pagi. 08:30 WIB.
Mendung bergelayut. Desahan angin pagi hari masuk menyambut wajah bosanku perlahan. Tatapanku melayang menengok dunia luar yang seakan nampak enggan beraktivitas lantaran cuaca tidak ingin bersahabat tuk hari ini.

Rintik hujan...

Cahaya keperakan bergumul tak teratur bertebaran di langit kelabu, menambah suram suasana...

Genangan air terlihat menguasai sudut-sudut jalan tertentu,

Dan... khalustiwa yang seolah-olah akan menangis hebat.

Tiada hari tanpa kebosanan mencekik...

Entah siapa yang bilang tadi. Mungkin, jiwa lamaku yang sudah gila.

Aku mendesah pelan, sesekali melirik jam metal digital milik Sazune di sudut ruangan. Kali ini dan untuk sekian kalinya, waktu kembali berjalan amat lambat, merangkak terseok-seok di tepi sungai berbatu.

Kepalaku bergerak meninggi, berharap sekiranya pemandangan bawah Apartement memberikan sesuatu yang setidaknya bisa sedikit meluruhkan jenuh ini.

Nihil.

Hanya beberapa turis pergi berlalu cepat dan kemudian, tersisa angin hampa berdesir menerbangkan dedaunan kering. Aku tersenyum kecut, mengeluh dalam bisu.

Kucoba mengamati meja kayu mahagoni bercat coklat yang  baru kemarin malam si sinting itu bawa untuk kugunakan belajar nanti. Ralat, sekarang.
Dengan ukiran naga melilit melingkari setiap kaki meja, membuat meja ini berkesan gagah. Namun, alih-alih membuatku kagum. Sesaat setelah mataku menyapu menelusuri lekukan tubuh ukiran naga itu, aku bergidik ngeri.

Lihatlah. Seekor naga besar menganga lebar memamerkan sederet barisan taring tajam, seakan ingin menelanmu bulat-bulat. Aku memundurkan kaki beberapa senti, terdengar bodoh kalau orang tahu alasanku, takut patung naga itu menggigit kakiku.

Oke. Lupakan naga jelek itu dan taring-taringnya. Aku menelungkupkan kepala, tak sengaja memutar memori terulang kembali...

Home schooling.

Begitu yang dilontarkan Sazune kemarin sore bertepatan lembayung senja yang melengkung menghiasai ufuk barat langit Jakarta, sukses mengangkat tinggi-tinggi alisku.

Bersama alasan-alasan luar biasa serta penanggung jawaban penuh atas pendidikanku berikut tetek-bengek-nya yang terdengar begitu teramat menyakinkan, Sazune membuatku hampir menyumpah habis-habisan.

Rasanya senang bisa seperti ini. Serasa mendapat beasiswa plus-plus-plus dan plus dari seorang Bapak Asuh baik hati, sayangnya Sazune bukan Bapak Asuhku.

Clara Nugroho Abadi.

Seorang wanita muda berbakat (katanya) berdarah campuran antara Jawa juga Belanda--seumuran Sazune--yang akhirnya dipilih menjadi guru privatku. 

Terpancar jelas dari wajah ayunya.

Sangat cantik.

Aku tidak mau menjelaskan bentuk fisiknya, pokoknya sangat cantik, nyaris sempurna. Silahkan bayangkan sendiri.

Di detik ini, 'Bu Clara' tengah berdiri berhadapan dengan Sazune yang membelakangiku seraya menyimak baik-baik intruksi Sazune sembari tersenyum manis--sebuah senyuman yang menurutku sanggup melelehkan kaum Adam . Aku memandang mereka dari jarak kurang-lebih 3 meter, sudah 30 menit berlalu dan aku masih duduk manis di sini--bersama ukiran naga jelek-- tanpa melakukan apapun.

Kukira ini akan berjalan baik juga menyenangkan sehingga aku bisa sejenak menghilangkan sejuta rasa yang tengah beradu dalam benak, nyatanya rasa bosanlah menyapa pagiku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 22, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A Dream (Meskipun Kau Menjauh, Dia Akan Tetap Mendekapmu Dengan Erat...)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang