PROLOG

9.6K 286 19
                                    

Jam 10 malam.

Namanya Sheila Sabrina. Dia sekarang sedang merenung, memikirkan dimana kira-kira suaminya berada saat ini. Apakah sedang lembur, dalam perjalanan pulang atau dimana?

Dia tidak tahu.

Memikirkan suaminya memang rumit.

Di tatapnya bintang yang bertaburan di langit tengah malam. Udara sangat dingin membuat perempuan 20 tahun itu mengeratkan jaket yang ia kenakan. Dia sedang duduk di balkon kamarnya, sendirian.

Apartemen mewah namun kerap kali sepi membuatnya tidak betah dan merindukan saat-saat dia masih ngekost satu rumah dengan teman-temannya.

Dalam benaknya pikirannya berkelana mengira-ngira perasaan suaminya padanya. Apakah benar-benar mencintainya atau sekedar kasihan saja.

Dan lagi-lagi pikiran gusar menyerangnya dengan penyesalan. Harusnya tiga bulan yang lalu dia menolak saat Arka Prasetya yang lahir dari keluarga terhormat melamarnya. Harusnya dia tidak jatuh hati pada pria kaya. Harusnya dia sadar diri kalau dia bukan siapa-siapa dan tidak pantas bersanding dengan Arka Prasetya yang menjadi CEO muda yang sukses dan terkenal tentunya.

Sheila menjadi pesimis saat sadar bahwa dirinya hanya perempuan yang beruntung memiliki wajah cantik dan manis yang menjadi alasan Arka mau menikahinya.

Nah!

Pertanyaannya kembali muncul, sebenarnya apa sih yang membuat Arka mau menikahinya? Apa mata pria itu minus? Tidak mungkin alasan Arka mau menikahinya hanya karena Sheila itu cantik. Sementara diluar sana banyak perempuan yang jauh lebih cantik daripada dirinya.

Padahal Arka pasti mampu menggaet wanita cantik diluaran sana.

Tapi kenapa Sheila, si perempuan biasa-biasa saja seorang penjaga kedai mie dengan teman-temannya semasa SMA.

"Tumben belum tidur Shei?"

Lamunan Sheila buyar ketika mendengar suara ngebass terdengar di belakangnya. Kemudian dia berbalik badan mendapati sang suami tengah berdiri diambang pintu kaca dengan penampilan tidak serapih biasanya. Kemeja putihnya digulung hingga siku, jaz hitamnya dia sampirkan pada bahu kirinya yang kokoh, dan dasinya yang semula terlihat rapih kini telah dilonggarkan dan terlihat berantakan.

"Belum ngantuk." sahut Sheila dengan datar tidak seperti biasanya. Tapi dia usahakan biasa-biasa saja. "Kamu laper?" Sheila balik bertanya.

"Enggak. Saya udah makan," jawab Arka.

"Oh".

Ditatapnya sang suami dengan teliti. Wajahnya nampak lelah, membuat Sheila merasa kasihan. Didekatinya sang suami, berhenti didepannya dan terpaksa mendongak karena suaminya lebih tinggi darinya. Diusapnya pipi Arka dengan lembut kemudian diciumnya bibir Arka berharap bisa menghiburnya.

"Jangan terlalu capek. Aku gak mau kamu cepet tua," kata Sheila dengan kekehan kecil.

Arka menghela napas dan mencoba melebarkan matanya agar tetap segar. Kemudian menatap wajah Sheila yang dekat dengan wajahnya. "Maaf," kata Arka.

"Untuk?" sebelah alis Sheila terangkat.

"Kesannya seperti saya mengabaikan kamu,"

"Kenyataannya memang begitu," Sheila terus terang. Nyatanya seperti itu. Arka terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Sering pulang malam dan mengabaikannya.

"Kamu enggak marah ke saya kan?" tanya Arka dengan hati-hati.

"Aku pengen marah. Tapi aku bingung mau marah bagaimana."

"Shei, saya gak bermaksud-"

"Aku ngerti kok. Itu kenapa aku gak bisa marah sama kamu soal ini. Tapi tolong jangan larang aku buat berhenti kerja. Ini Bukan soal materi. Tapi aku butuh pelampiasan. Aku kesepian," Di tatapnya mata Arka dengan intens. "Kamu sangat jarang punya waktu buat aku. Kamu pergi pagi pulang malam. Terus begitu tiap hari. Terkadang aku berpikir 'mungkin kamu sudah bosan'."

"Astagfirullah Shei. Saya gak pernah bosan sama kamu," tegasnya sambil menatap lekat istrinya.

Sheila hanya diam.

"Jangan pernah berpikir seperti itu,"

"Tapi pemikiran seperti itu tidak bisa berhenti."

"Ya allah, Shei." wajah Arka menunjukan kekhawatiran dan sedikit kesal. "Saya harus bagaimana supaya kamu percaya."

"Cuma sekali aku denger kamu bilang cinta aku. Itupun saat kamu lamar. Setelah menikah, aku enggak pernah denger lagi."

"Aku cinta kamu," Arka menegaskan.

"Setelah aku minta?"

"Shei, jangan marah,"

"Aku bilang, aku enggak marah,"

"Saya bingung mau menyikapi sikap kamu yang seperti ini."

Ingin rasanya Sheila menonjok pria yang ada dihadapannya saat ini. Tapi apa yang dilakukan Sheila hanya diam saja.

Huh!

Sheila masuk kedalam kamar meninggalkan Arka.

Pria itu menghembuskan napas dengan kasar. Berbalik kemudian mengunci pintu balkon. Setelahnya mengacak rambut istrinya dia ikut berbaring diatas kasur menyusul istrinya. Diusapnya wajah Sheila dengan lembut. "Jangan marah ya?" katanya.

"Saya mandi dulu," katanya kemudian. Hendak mandi untuk menghilangkan lelahnya agar segar kembali.

Sheila berbalik badan menghadap suaminya. "Kak, aku cuma mau bilang, kalau misalnya kamu bosan sama aku, kamu tinggal bilang. Biar aku tau. Supaya aku enggak mikir yang tidak-tidak."

Wajah lelah itu berubah menjadi kesal. "Shei, tolong, jangan buat saya kesal."

"Enggak. Aku cuma menyampaikan apa yang aku ingin ucapkan,"

•••

SHEILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang