5.Pamitan

3.9K 173 0
                                    

Hari senin jam 1 siang.

Sheila bersiap-siap untuk pulang. Hari ini dia pulang lebih awal dari biasanya karena dia ingin ke kantor Arka. Sheila ke kantor Arka karena ingin ke rumah orang tua Arka. Neneknya Arka ingin pulang ke Bandung. Tempat tinggal asli sang nenek.

"Heran deh sama Arka, kenapa bukan dia aja sih yang jemput lo? Malah lo yang nyamperin dia ke kantornya,"

"Kayak lo enggak tau aja. Orang kaya mah gitu," jawab Sheila seadanya. "Itu kenapa gue selalu ngeluh, Na. Kak Arka bukan tipe-tipe orang yang perhatian. Gue akui dia baik, tapi ya itu tadi, enggak perhatian dan enggak romantis," tambahnya.

Raina mengerutkan bibirnya dan bersedekap tangan sambil menyandarkan punggungnya pada dinding, kebetulan kedai sedang sepi, jadi bisa santai.

"Gue saranin ya, Na. Kalau misalnya nanti ada cowok kaya dan ganteng ngelamar lo, gue harap lo enggak langsung mau. Lo harus pastiin dulu cowok itu cinta sama lo apa enggak, perhatian sama lo apa enggak, dan sayang sama lo apa enggak. Biar enggak nyesel kaya gue,"

Alis Raina berkerut menatap Sheila. "Jadi lo nyesel nikah sama Arka?"

"Sedikit," Sheila mengedihkan bahunya acuh. Dia terbuka pada Raina.

"Lo enggak ada niat cerai sama Kak Arka, kan?"

Sesaat Sheila termenung atas pertanyaan temannya. Cerai? Berpisah dengan Arka? Sejauh ini Sheila sama sekali tidak pernah berpikiran untuk cerai dengan Arka.

"Enggak kepikiran gitu sih. Sayangnya gue udah cinta sama Kak Arka. Bukan cinta ke hartanya ya," Sheila menegaskan. "Satu dari banyak alasan kenapa gue mau nikah sama Kak Arka, karena gue juga cinta sama dia. Jadi kayaknya gue tetap enggak pingin cerai sama dia, deh. Gue cuma mau dia peka, perhatian, dan sayang sama gue."

"Amin,"

Sheila mensampirkan ranselnya dibahu sebelah kiri, pamit kepada Gilang dan Putra sebelum akhirnya dari kedai. Dia berjalan kaki menuju halte. Kemudian menunggu kedatangan bus yang kadang lama datangnya. Ada alasan kenapa dia menolak saat Arka ingin membelikan mobil. Karena Sheila tetap ingin sederhana. Ya, memang Sheila senang punya suami kaya karena dengan begitu akan membuatnya mudah bertahan dengan hidup tanpa memikirkan materi. Tapi Sheila tidak suka hidup dengan gelamor. Dia suka sederhana.

Memasuki bus ketika bus yang akan ditumpanginya datang, Sheila duduk disalah satu kursi yang kosong. Dia kembali teringat dengan kata cerai. Cerai dari Arka? Tidak! Sheila tidak mau itu terjadi. Bukan semata-mata menyayangkan hartanya, tapi Sheila memang mencintai Arka. Sheila juga tidak bisa nenampik kalau Arka memperlakukannya dengan baik.

Yang Sheila butuhkan bukan cerai, tapi perhatian, kasih sayang dan cinta.

25 menit kemudian bus berhenti, Sheila turun dari bus. Keluar dari halte dan berjalan kaki menemui Arka di kantor.

Gedung tinggi menjulang yang memiliki 13 lantai sudah di depan mata. Sheila berdiri diluar. Gedung itu, gedung perusahaan terbesar dimiliki ole Arka. Sang CEO muda.

Jika orang tuanya masih hidup, orang tuanya pasti bangga melihatnya bisa menjadi seorang istri dari pria yang kaya raya. Orang tuanya pasti senang bisa besanan dengan Arif Prasetya.

"Siang bu," seorang wanita karyawan di perusahaan sedikit membungkuk hormat menyapa dirinya.

Gue bukan siapa-siapa. Enggak perlu hormat kayak gitu, batinnya. Sheila tersenyum ramah meskipun tidak tahu nama karyawan wanita itu.

Melangkahkan kaki memasuki gedung itu Sheila di sambut oleh sapaan ramah dari para karyawan. Sheila tidak risih, tapi merasa tidak pantas diperlakukan seperti itu. Tapi Sheila mencoba terbiasa. Lagi pula ini bukan pertama kalinya Sheila mendatangi suaminya ke kantor, dari beberapa kali Sheila datang membawa makanan.

Memasuki ruangan suaminya setelah sempat memakai lift karena ruangan suaminya berada di lantai 6, Sheila tersenyum mendatangi suaminya yang berdiri di depan jendela dan menjauhkan ponselnya dari telinga.

"Baru saja saya mau nelpon kamu," kata Arka.

"Aku udah disini," Sheila menutup pintunya dan meletakkan ranselnya di sebuah sofa. "Aku mau minum," kata Sheila yang merasa sangat haus.

Arka tersenyum dan menggeleng melihat tingkah laku istrinya. Kemudia bersiap-siap untuk pergi ke rumah orang tuanya.

•••

Dalam perjalanan Arka berkata sambil mengemudi. "Nenek pulang hari ini, jadi bunda nyuruh kita ke rumah," katanya.

"Ke Bandung? Sendirian?" tanya Sheila bertubi-tubi.

"Iya, enggak kok. Nenek sama anak nenek yang waktu itu mampir ke apartemen kita,"

"Oh, jadi ceritanya kita pamitan nih?"

"Iya,"

Neneknya Arka bertempat tinggal di Bandung. Dia sesekali ke Jakarta ke rumah orang tuanya Arka, atau kerumah anaknya yang lain. Maklum anaknya nenek Arka banyak, ada 10 orang. Dan semuanya keluarga berada itu karena keturunan dari neneknya Arka.

"Nenek kesini lagi kapan?"

"Enggak tau, Shei. Tergantung maunya nenek." kata Arka. Sheila hanya menganggapinya dengan mengangguk-anggukan kepala.

•••

Mobil Arka memasuki kawasan rumah orang tuanya. Mobil Arka terpakir rapi. Halaman rumah orang tua Arka sangat lebar dan luas sepertinya melebihi besarnya lapangan. Ada berbagai macam bunga berjejer rapi yang di tanam di sepanjang jalan. Banyak pohon membuat rumah orang tua Arka nampak sejuk dan asri.

Arka dan Sheila turun dari mobil kemudian masuk ke dalam rumah setelah mengucapkan salam.

"Maaf kalau lama bun," kata Sheila tak enak hati.

"Enggak kok, Shei," Bunda Arka menjawab sambil tersenyum.

"Arka," neneknya Arka memanggilnya.

"Iya nek," Arka berjalan menghampirinya. Sementara Sheila membantu bunda didapur menyiapkan beberapa cemilan dan minuman.

"Nenek akan pulang ke Bandung. Kamu jaga diri dengan baik, ya," nasihatnya kepada Arka.

"Iya. Nenek juga harus jaga kesehatan,"

"Lain kali nenek ajak Wulan aja kesini," ucap neneknya Arka sambil melirik Sheila sinis. Sheila yang sedang berjalan membawa nampan berisi cemilan dan minuman menghampiri Arka, neneknya dan keluarga yang lain. Sheila yang mendengar sindirian neneknya Arka hanya tersenyum seolah-olah tidak mendengar apa-apa.

Sheila meletakkan minuman dan cemilan di atas meja. Di mana keluarga Arka sedang kumpul di sini. Sangat ramai.

"Diminum nek," Sheila meletakan minum untuk neneknya Arka.

"Ayuk kita berangkat," neneknya bangun dari sofa dan berbicara dengan supir pribadinya. Mengabaikan Sheila yang menewarinya minum.

"Hati-hati nek," semua menyalami tangan neneknya Arka. Sheila yang ingin menyalami tangannya tidak digubris oleh neneknya Arka. Sheila hanya bisa mengelus dada, sabar batinnya.

"Udah jangan dipikirkan," bunda menepuk pundak Sheila dengan pelan. Sheila hanya tersenyum dan mengangguk.

•••

SHEILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang