Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
─
“TERBUKTI tidak bersalah, aku pulang dan langsung balik ke apartemen.”
Namjoon menyeruput colanya dengan kepala terangguk-angguk samar mendengar akhir cerita Taehyung.
“Kapan itu?”
“Kemarin lusa.”
Yang lebih tua tiba-tiba diam. Taehyung jadi penasaran, “Kenapa, Joon?”
“Bleurgh.” Kakaknya bersendawa keras dan tertawa terbahak-bahak sampai meremas-remas lengan sofa, lesung di pipinya sampai menjorok dalam sekali.
Taehyung yang duduk di sofa seberang mendecih jijik, “Sudah tua, jorok lagi.”
Namjoon mendecak, matanya memicing sambil menyeka sisa cola di bibir dengan punggung tangan, “Ngaca, Tae. Ngaca!”
“Oke.”
Dia mengeluarkan smartphone dari saku, kemudian mematut dirinya di depan layar yang kamera depannya sudah diaktifkan.
Taehyung memasang tampang arogan, bibir bawahnya dia gigit seduktif. Tangan kanannya dilarikan ke rambut, menyusurinya dengan jemari dari poni sampai puncak kepala.
“Lihat. Kim Taehyung masih ganteng ternyata.”
Satu timpukan bantal sofa sukses membuat smatphone di tangannya jatuh ke lantai. Suara bantingannya keras bukan main.
Taehyung misuh-misuh meminta ganti rugi sepuluh kali lipat kalau sampai ada cacat segores saja. Namjoon beruntung karena milik Taehyung dibalut hardcase.
“Lalu ayahnya Chimmy itu bagaimana? Benar-benar waria?”
Seorang Jimin tiba-tiba terbayang di benaknya.
Masih di atas sofa, Taehyung buru-buru duduk bersila dengan punggung sedikit dibungkukkan. Jemarinya bertaut dalam posisi formal seperti seorang presenter.
Dia memang ingin sekali menyuarakan pendapat yang belum tersampaikan, karena topiknya memang sedikit di luar jalur dan memalukan menurut Taehyung.
“Tidak. Chimmy tidak berbohong tentang ayahnya. Jimin ini memang ... “
Taehyung sempat meragu apakah kakak mulut pipa bocornya ini pantas diberi informasi pribadi. Tapi tidak ada manusia lain lagi yang bisa ia beritahu.
Jadi Taehyung menarik napas dalam, menahannya sebentar lalu menghembuskannya.
“Mungkin terdengar aneh, tapi dia memang cantik dan— woi itu muka santai saja. Minta dibogem?”
Ekspresi wajah Namjoon memang seperti ingin dihajar. Pasalnya raut muka menyebalkan itu seperti menahan tawa ledekan.
“Lanjut, lanjut.”
“Cantik itu maksudku bukan seperti cantiknya perempuan. Maksudku, dia kuakui ganteng. Mungkin karena fitur-fitur wajahnya lembut dan terawat, jadi terlihat anggun.”
Taehyung berkilah saja supaya kakaknya tidak berkomentar racau.
Mau dibilang bagaimana juga Jimin memang cantik, sih.
Taehyung mulai menjabarkan panjang lebar tentang fisik dan tingkah laku Jimin. Mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki, sampai letak detail tahi lalat di belikat dan pangkal tengkuk.
Namjoon yang mendengarkan ikut kewalahan.
“Stop!” Namjoon menodongkan telapak tangannya, mulutnya sedikit menganga, “Gila, kamu perhatikan sampai begitu? Wow.”
Taehyung mendecak, “Ini namanya bakat. Penulis harus punya observasi yang bagus.”
Namjoon menyandar santai di sofa. Kaki kiri dinaikkan di atas kaki satunya dan bibirnya menyeruput botol cola yang baru dia buka sampai buihnya tertinggal lagi di kumis tipisnya, “Sombong.”
“Itu kenyatannya.” Taehyung tersenyum singkat.
“Jimin terlihat masih muda sekali. Usianya sepertinya belum sampai dua puluh lima tahun, tapi anaknya sudah empat tahun kira-kira.”
“Ya mungkin dia menikah muda.”
“Kupikir juga begitu. Yang bikin heran itu, mukanya. Muka mulus seperti porselain itu biaya perawatannya mahal pasti. Dan gerak-geriknya itu delicate sekali. Ada rasa bangga tersendiri karena ternyata tidak semua laki-laki itu beringas.”
Taehyung mendongak ke atas, netra cokelatnya menerawang ke plafon. Untuk beberapa detik yang berharga, sekelebat potongan memori berputar di otaknya.
Seandainya saja Taehyung—atau orang lain pada umumnya—berdiri di posisi Jimin, dia kemungkinan besar sudah melempar lusinan tinju ke wajah terduga penculik di detik pertama mereka bertemu, setidaknya sampai beberapa tulang si pelaku patah dan muntah darah. Kemudian menghujaninya dengan sumpah serapah sebelum menggiring perkara itu ke pengadilan.
Tetapi Jimin—Park Jimin adalah suatu pengecualian.
Pria muda itu benar-benar tenang tanpa gurat emosi di wajahnya. Jimin mendengarkan penjabaran situasi dari Taehyung dengan seksama, serta bertanya lembut dengan bahasa ringan pada Chimmy untuk mengkonfirmasi kebenaran kesaksian Taehyung.
Lalu dengan kepala dingin, Jimin menyatukan kepingan-kepingan bukti hingga semuanya terkuak jelas.
Kata-kata Taehyung pada akhirnya memang terbukti benar, dan Jimin yang penuh sopan santun berterima kasih kepada Taehyung dan meminta maaf atas keteledorannya dalam mengawasi anak.
Taehyung pulang, aman tentram sehat sentosa tanpa perlawanan maupun luka fisik berarti—meskipun masih menyimpaan dendam pada satpam karena ludahnya menyembur-nyembur wajah tampannya setiap kali dia membentak Taehyung.
Korbannya Jimin, yang ribut justru satpamnya. Taehyung tidak sepenuhnya menyalahkan satpam dengan wajah bergelambir itu. Taehyung tidak munafik, kalau dia jadi satpamnya, orang macam Jimin juga pasti dia bela habis-habisan.
“Jiah, melamun.”
Visualisasi imajiner wajah indah Jimin buyar dan menghilang dari plafon, disusul cekikikan Namjoon yang kian menggelegar.
“Jadi ceritanya kamu terpesona?”
“Ck, bukan begitu juga. Mungkin sekadar kagum.”
Taehyung merampas cola milik Namjoon dan meminumnya sampai setengah, mengatasnamakan ‘hemat’ sebagai alasan ketika kakak tunggalnya memprotes.
“Jimin hanya sendirian waktu itu, istrinya tidak ikut.”
Mulut Taehyung masih berkumur cola, lidahnya sibuk mengoper cairan di mulutnya ke kanan dan ke kiri berulang-ulang.
“Terus kenapa kalau Jimin sendirian? Mau kamu poloskan lalu sodok?”
Malam itu, semburan suci isi mulut Taehyung menghujani wajah kering Namjoon.