BAB 3

47.5K 2.2K 80
                                    

"Maafkan aku, Mas Yusuf. Aku rasa tidak pantas bagi seorang gadis terlalu lama di dalam kamar bersama pria yang bukan mahramnya," ucapku sambil menunduk.

Aku dapat mendengar helaan napas. Mungkin dia merasa kecewa dengan ucapanku. "Maafkan aku, Sayang. Aku terlalu merindukanmu sehingga tidak bisa mengendalikan diriku." Yusuf membelai wajahku lalu kembali mengecup bibirku.

Aku hanya mampu menarik napas seraya memandangi senyumannya. Ah, memang, dasar angsa! Sukanya nyosor terus. "Apa kau tinggal seorang diri di sini?"

"Tidak. Aku tinggal bersama Umiku. Ayo, ikutlah denganku. Aku akan memperkenalkanmu padanya." Yusuf menarik tanganku agar mengikutinya.

Aku berjalan sambil sesekali mencuri tatap wajah tampannya yang aduhai. Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam hingga hari ini dipertemukan dengan lelaki setampan Yusuf? Aku belum pernah melihat wajah setampan itu selama tinggal di sini mau pun di kampung halaman. Ketampanannya sungguh langka.

Tiba saat kami berhenti di depan sebuah pintu besar. Dia mengetuk lalu membuka pintu indah itu dengan tangan kokohnya. Inikah kamar ibunya Yusuf? Mudah-mudahan ibunya tidak akan mencurigaiku. Namun, hati kecil ini sedikit  memberontak, karena merasa berat, sebab harus membohongi seorang ibu.

Kulihat seorang wanita paruh baya yang cantik dan murah senyum sedang duduk di atas ranjang dengan elegan. Tampak kursi roda di samping pembaringan menunggunya. Wanita itu tak sedikitpun melenyapkan senyumannya saat melihatku. Aku merasa tidak enak hati.

Kemudian kurasakan Yusuf meraih pinggangku, lalu membawaku mendekat kepada ibunya.

"Assalamualaikum, Umi. Ini Tia, gadis yang sering kuceritakan padamu," ucap Yusuf.

"Wa'alaikumussalam, Sayang." Dia tersenyum kepada Yusuf yang berdiri di sisiku lalu meraih tanganku yang gemetar. "Masyaallah, Nak. Kamu cantik sekali." Senyuman dan keramahan ibunda Yusuf membuatku semakin merasa bersalah. Ya Tuhan, betapa jahatnya aku telah membohongi 2 manusia baik ini. Seketika aku menjadi dilema.

"Hei, Sayang, mengapa melamun?" tanya yusuf membuatku kembali membuyarkan lamunanku.

"Tidak. Aku hanya belum terbiasa dengan semua ini, Mas. Maafkan aku." Seketika ada nyeri yang menghantam dada. Sungguh aku tidak tega membohongi Yusuf dan ibunya. Tapi aku harus bagaimana?

"Perkenalkan, Sayang. Ini Umiku, namanya, Aisyah," ucap Yusuf. Tampak wanita yang tengah duduk di katil itu kembali tersenyum ke arahku. Sungguh senyuman yang meneduhkan.

"Nama lengkapmu siapa, Sayang?" tanya Umi Aisyah yang seketika membuatku bingung harus menjawab apa. Aku sangat menghormatinya dan tidak ingin menipunya, tetapi bagaimana dengan Tia-sahabat karibku yang membutuhkan bantuan?

Di saat sedang gugup, kudengar ponsel milik Yusuf berbunyi yang kemudian membuat si empu mengangkatnya seraya berjalan keluar kamar.

Sekarang hanya tinggal kami berdua di dalam ruangan ini. Aku sedikit lega dan kegugupanku agak berkurang.

"Duduklah gadis manis." Umi Aisyah menepuk tepi ranjangnya.

Aku yang mengerti maksudnya pun menurut. Aku duduk di sampingnya seraya membalas senyuman teduhnya.

"Namamu siapa sayang? Mengapa kau terlihat khawatir sekali?" tanyanya penasaran. Mungkin karena kegugupan kentara terlihat di roman wajahku, karena benar, aku memang merasa amat khawatir sedari tadi. Aku takut akan kelepasan lalu membuat Yusuf curiga.

Melihat wajah Umi Aisyah yang lembut, membuatku memiliki sedikit keberanian. Aku ingin mengatakan yang sejujurnya kepada beliau. "Maafkan aku, Umi. Aku telah melakukan kesalahan," ucapku lirih penuh sesal.

MAS BREWOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang