Tanggerang, 14 Februari 2018
Kami sampai di Tanggerang sekitar pukul 19.30, segera bergegas mencari taxi untuk melanjutkan ke Pura Dharma Sidhi. Beberapa saat kami mencari, Bli Gus sibuk mencocokan jenis dan plat nomor kendaraan akhirnya kami menemukan taxi yang Bli Gus pesan secara online.
"Yuk meganti, Gung. Be antosange rage ditu. Yuk ganti baju, Gung. Kita sudah ditunggu disana". Ucap Bli Gus pada Kak Aksa, dan aku tentu terkejut dan heran, apa dia tidak ingat ada perempuan disini?
"Ade adik dini kengkenang meganti, njep gen di pura. Ada adik disini, bagaimana mungkin. Nanti saja di pura". Jawab Kak Aksa dengan segera.
"Yeh ajan, sap. Ohiya, lupa". Akhirnya sadar juga Bli Gus bahwa aku juga satu mobil dengan mereka.
"Bali ije, Bli? Bali mana, Bli?" tiba-tiba supir taxi online yang kami tumpangi berbicara dan membuat kami semua terkejut dan heran. Mengapa supir taxi ini bisa bicara dengan bahasa Bali?
"Ubud tiang, Bli, uling Bali masih? Saya dari Ubud, Bli dari Bali juga?" Bli Gus dengan semangat menimpali, bagaimana tidak? Bagi kami sangat menyenangkan menemukan orang Bali di tempat tak terduga seperti ini, kebetulan yang sangat langka.
"Saya dulu pernah tinggal di Bali, saya asli dari sini". Supir itu menjawab dengan bahasa Indonesia, nampaknya ia tidak terlalu menguasai bahasa Bali. Selama perjalanan mereka mengobrol kesana kemari, seperti bertemu saudara jauh.
Akhirnya tiba juga kami di Pura Dharma Sidhi. Aku masih terkagum-kagum dengan waktu yang kulalui sejak sampai di Jakarta. Perjalanan kereta yang menyenangkan dari Bandung, bertemu dengan saudara dari Bali di kereta menuju Tanggerang, dan supir taksi yang bisa berbahasa Bali. Sebenarnya yang paling kukagumi dari hari ini adalah pertemuanku dengan Bli Gus. Aku tidak sabar mendapat kejutan lagi dari Tuhan, aku bahagia untuk valentine ini.
***
Kak Aksa bergegas menggunakan pakaian tarinya, aku hanya terduduk memperhatikan, orang-orang sibuk keluar masuk ruang ganti, mungkin aku satu-satunya orang yang tidak terburu-buru di ruangan ini.
Bli Gus datang dari bawah (lantai 1) dan duduk di sampingku. Sesungguhnya aku merasa sangat canggung, tapi aku mencoba bersikap biasa. Perasaan apa yang menggangguku, senang, canggung, tegang, malu campur aduk jadi satu. Rasanya aku ingin sekali mengobrol panjang lebar dengan Bli Gus tapi tidak satu pun kalimat keluar dari mulutku.
"Gek, bisa nari?" Bli Gus mulai bicara, aku memandangnya sebentar, melihat wajah canggungnya.
"Bisa" aku menjawab dengan segera dan memalingkan wajah sambil tersenyum.
"Nari apa, gek?" tanya Bli Gus lagi.
"Apa aja" jawabku lagi. Dalam hati -kenapa aku begitu yakin? Padahal aku tidak hafal banyak tarian- aku benar-benar menyesal mengatakannya, tapi aku tidak mengerti kenapa aku merasa sangat tidak biasa, menjawab pertanyaan Bli Gus rasanya seperti sedang ujian lisan.
Usai bertanya demikian, tidak ada lagi kalimat keluar dari kami masing-masing. Aku bingung akan bertanya apa, dan mungkin demikian juga Bli Gus. Disitu juga ada Kak Aksa, tentu Bli Gus akan canggung jika mengobrol denganku di depannya, Bli Gus segera turun meninggalkan aku dan Kak Aksa.
Saat Kak Aksa siap dengan pakaiannya, kami segera turun. Saat itu pun aku melihat para penabuh dengan semangat memainkan musiknya. Aku memperhatikan seorang, ia yang bermain musik dengan hatinya, aku hanyut dalam alunan musik yang begitu dijiwainya. Sesekali keras sesekali lembut, begitu tangannya memukul gamelan, sesekali memalingkan wajah ke kanan lalu kiri, tersenyum pada teman-temannya, ia sedang bergembira. Aku ikut tersenyum, perasaan yang hangat menghampiri hati ku. Aku mengenalinya, seperti sangat akrab dengannya, aku dapat melihat senyum riang itu meski hanya dengan menatap punggungnya.
YOU ARE READING
Saat yang Kita Lihat Hanya Kita
RomanceSaat yang kita lihat hanya kita, bukankah yang sebaiknya kita berpegangan tangan? Bukankah yang bisa aku percaya hanya kamu, dan yang kamu percaya hanya aku? Bukankah yang bisa diyakini hanya doa kita? dan Tuhan, sebab yang kita lihat hanya kita.