Mimpi

13 1 0
                                    

"Bli Gus, kita petik bunga itu, untuk sembahyang" Aku meminta Bli Gus memetik bunga di dekat rumah.

"Memangnya itu pohon bunga punya siapa Gek?"

"Siapa yang berhak memiliki hidup seseorang jika bukan karena orang itu telah menyerahkannya. Pohon itu senang hati memberikan bunganya untuk ku, karena dia tau aku gunakan bunganya untuk berdoa pada Tuhan. Siapa pemilik hidup pohon itu? hidupnya, ya miliknya sendiri. Aku menerima pemberian si pohon, bukan mengambil hak atas hidupnya."

"Kamu lucu" Bli Gus mendekati pohon di tepi jalan itu, memetik bunga darinya.

"Bli Gus sudah minta ijin pada pohon bunga itu?"

"Gek bilang dia tau"

"Dia tau kalau aku yang memetik"

"Apa aku harus kembali untuk mengatakan padanya?"

"Tidak, aku sudah berkedip padanya saat kau memetik bunga darinya"

"Dia bahkan mengerti saat kau berkedip?"

"Tentu" Aku tersenyum. Dia mengerti, aku sedang memperkenalkan dirimu padanya. Kamulah wujud yang lahir dari mimpi-mimpi, doa-doa ku pada Tuhan. Aku sedang berterima kasih pada pohon bunga itu, dia juga berperan penting atas kehadiranmu dalam hidupku.

Kami kembali berjalan mengelilingi kompleks, tangan Bli Gus menggenggam tanganku, erat.

***

Ternyata cuma mimpi. Aku bergumam dalam hati. Kemeja putih dan rok sepanjang mata kaki masih melekat di tubuhku. Mimpi di siang bolong, saat jeda kampus aku merebahkan tubuh di ruang tengah sebentar dan tertidur. Sempat-sempatnya aku bermimpi tentang Bli Gus. Iya, aku memang lucu. Aku tertawa kecil sendiri, bergegas ke kamar mandi untuk membasuh muka sebentar kemudian kembali ke kampus.

Sepanjang hari hatiku dipenuhi perasaan aneh, aku benar-benar sudah gila. Sebentar saja aku melamun, pikiranku secepat kilat berpindah pada Bli Gus dan mimpi-mimpi yang aku punya tentangnya, tentang hidupku yang bahagia karena kehadirannya. Sulit mengerti diriku sendiri, padahal aku hanya bertemu dengan Bli Gus sekali. Kami belum bertemu lagi semenjak tempo hari di Manggarai. Kami hanya bicara lewat pesan atau telepon. Apakah benar perasaanku ini cinta? Tentu saja, aku tidak ragu lagi, tidak salah lagi aku memang mencintainya.

***

4 Maret 2018 03.00 AM, Bandung

Aku terbangun dari tidurku yang tadinya nyenyak. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Perasaan kembali bercampur aduk, hatiku tercabik-cabik lagi. Tuhan, bisakah kau hapus sebagian ingatanku yang buruk itu. Apakah aku bersalah untuk nasib yang kuterima? Bagaimana aku di matamu Tuhan?

Dadaku sesak lagi, masa lalu itu datang lagi. Hari-hari indahku berpencar lagi menjadi kepingan-kepingan yang sulit dikenali. Aku kebingungan, napasku terengah. Mataku mulai terasa panas, air mata telah membendung, pipiku mulai basah. Aku menekuk kaki dan memeluknya, dingin semakin menusuk.

Apa aku pantas bahagia? aku bertanya-tanya dalam hatiku terus menerus. Setengah hati menyalahkan diri, setengahnya lagi membela diri. Badai di pikiranku semakin berkecamuk, aku bisa gila. Mengapa, Tuhan? Bolehkah aku melupakan saja? Kenapa aku dihantui rasa bersalah, penyesalan, dan mulai memaki diri. Aku tidak melakukan apa-apa. Apa ini salahku? Bisakah kau katakan padaku, bagaimana aku di matamu?

Aku berusaha menutup mataku, membayangkan sesuatu yang indah. Aku membayangkan Bli Gus, membayangkan mimpi tentangnya. Yang kutemui gelap, aku tidak bisa melihat apa pun, perasaanku berkecamuk. Jangan pergi, Bli Gus, tolong. Jangan tinggalkan aku. Aku memanggil-manggil dalam hati, bicara dengannya dari hati. Apakah Bli Gus mendengarku atau tidak, tapi permintaanku hanya itu. Aku dipenuhi dengan ketakutan lagi, pantaskah aku? seperti itu terus menerus aku bertanya-tanya.

Tubuhku mulai gemetar, ketakutanku semakin menjadi-jadi. Mimpi buruk itu menggangguku lagi, mengusik hidupku lagi. Meski masa lalu, sudah berlalu, harus kulupakan. Aku tidak bisa, masa lalu tetaplah bagian dari hidupku, nasibku. Aku semakin dan makin menangis, hatiku terlumat habis, hancur.

Nada deringku berbunyi, sebuah pesan. Aku hendak mengabaikannya, tapi aku berpikir sejenak. Belakangan ini yang denganku berbalas pesan hanya Bli Gus, mungkinkah? Aku segera membuka ponselku.

"Gek" benar, pesan dari Bli Gus. Air mataku mengalir semakin deras, namun terdapat lega di dalamnya.

"Iya Bli Gus" aku menjawab pesannya.

"Kamu belum tidur?"

"Ngga bisa, Bli Gus"

"Aku juga gabisa Gek, boleh nyanyikan lagu untuk ku?"

Air mataku yang tadinya deras sedikit menenang, ketakutanku lambat laun kulupakan lagi. Aku menghapus air mataku, memperbaiki napasku. Aku merekam suaraku untuk Bli Gus, sebuah puisi kesukaanku.

Bersandar pada tari warna pelangi

Kau depanku bertudung sutra senja

Di hitam matamu kembang mawar dan melati

Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Hidup dari hidupku

Pintu terbuka

Selama matamu bagiku menengadah

Selama kau darah mengalir dari luka

Antara kita mati datang tidak membelah

-Sajak Putih, Chairil Anwar-

Malam itu, Bli Gus mendengar panggilan hatiku. Hatiku yang terluka dan tidak berdaya, merintih dan memohon karena ketakutan. Aku begitu lega saat Bli Gus datang, lukaku terobati. Hanya saja, aku dihantui ketakutan jika Bli Gus meninggalkanku. Aku tidak dapat mengatakan padanya, luka terbesar dalam hidupku. Aku bimbang dengan diriku, bimbang dengan perasaanku. Aku hanya memohon pada Tuhan, jangan pisahkan aku dari Bli Gus, aku mohon.

Saat yang Kita Lihat Hanya KitaWhere stories live. Discover now