Kebetulan Ajaib

38 4 8
                                    

Bojongsoang, 20 Maret 2018

Hari ini, aku hampa lagi. Seketika dingin, senyap. Padahal baru kemarin aku menulis, membangun sebuah candi seperti permintaanmu. Di hatiku, sebuah candi yang kudirikan dengan tempat khusus di puncaknya di mana kamu dapat tinggal dengan nyaman. Bakatku memang bermimpi. Mungkin itu lah bakat yang paling lekat dalam aku. Anugerah, atau kutukan? Saat ini aku merasa terkutuk, karena bermimpi akan bahagia.

Jadi yang kemarin itu hanya mimpi, karena waktu terlalu singkat untuk disebut nyata, tetapi terlalu panjang untuk disebut mimpi. Oh iya, aku kan memang berbakat soal mimpi, jadi wajar bisa berlama-lama. Mimpiku yang panjang ini, akan kuceritakan.

***

Stasiun Manggarai, 14 Februari 2018

Hari Valentine, untuk ini aku datang ke Jakarta menemui kakak ku, Aksa. Kedatanganku menyampaikan coklat yang kubeli sendiri, surat yang kutulis sendiri berdasarkan pesan kakak iparku, sebut saja aku ini perantara pesan suami istri LDR. Sebenarnya aku bahkan belum pernah naik kereta, belum pernah pergi sejauh ini sendiri, ini pertama kalinya dan cukup menyenangkan. Sebenarnya aku sudah turun di Gambir pagi tadi, tapi aku bertemu teman dan berkeliling. Sore ini aku baru akan bertemu Kak Aksa.

Ternyata Kak Aksa sudah menungguku. Aku melambaikan tangan dengan senyum lebar dan segera berlari menghampirinya. Kak Aksa wajah datarnya mengacak rambutku, memberiku karcis dan segera membawaku ke dalam stasiun. Aku memasang muka kesal, dari dulu Kak Aksa begitu, sangat cuek, tidak bisa bersikap mesra sedikit saja padaku, tapi aku tau dia sangat mencintaiku sebagai satu-satunya adik perempuannya, hehe. Sampai di dalam, sambil menunggu kereta dia mondar mandir seperti menunggu seseorang, aku keheranan melihatnya lalu menyibukkan diri menyaksikan kereta lalu lalang dan orang-orang begitu terburu-buru masuk dan keluar kereta.

"Dek, pinjam handphone mu sebentar, kakak gapunya pulsa". ucapnya dan mengacaukan kesibukanku menyaksikan keramaian.

"Haiiisss". Aku menatapnya dengan kesal dan mendengus, sambil merogoh handphone di tas untuk diberikan padanya.

Ia sibuk bicara di telepon, lalu menarik tanganku dan segera naik kereta menuju Tanah Abang. Beruntung aku segera sadar dari lamunanku dan dengan cepat mengikutinya naik kereta. Aku mendengus sekali lagi sangat kesal.

"Iya gue udah di kereta sama adek gue. Oh yaudah gue tunggu disini". Kak Aksa menutup teleponnya.

Di dalam kereta sangat sesak, dan aku mulai ketakutan, aku tidak berpegang dengan apapun, pegangan di atas kereta tidak ada yang kosong, aku hanya memegang lengan Kak Aksa. Aku semakin ketakutan ketika menyadari seorang laki-laki berdiri di belakangku dan sangat dekat, aku bahkan tidak dapat memutar badanku karena sesaknya. Aku sangat ingin menghindari laki-laki itu, dia terlalu dekat dan aku merasa terganggu. Tiba-tiba dari sebelah kiri, seseorang merangkul bahu ku sehingga laki-laki di belakangku menjauh. Harusnya aku cemas karena ada orang asing yang merangkulku, tapi anehnya aku merasa sangat lega. Sesuatu terjadi padaku, aku merasa sangat sejuk, damai, dan pastinya aku merasa aman, ketakutanku hilang, laki-laki aneh yang berdiri begitu dekat di belakangku telah menjauh. Aku keheranan dan segera menoleh ke kiri, seorang laki-laki. Pakaiannya rapih, kemeja biru gelap, celana jeans dan sepatu, tidak terlihat seperti preman, ia tersenyum padaku lalu segera menepuk pundak Kak Aksa.

"Eh loe, Gus" sapa Kak Aksa, sekaligus melegakan ku, laki-laki itu bukan orang asing, entah ia hanya ingin menepuk pundak Kak Aksa, atau sengaja melindungiku. Aku merasa ia memang ingin melindungiku, aku merasa ia telah memahami kecemasanku, aku merasa aku harus berterima kasih padanya.

"Ini kenalin adek gue". Kak Aksa meletakan tangannya di pundak ku, memperkenalkanku pada temannya itu.

"Halo, aku Bagus". Laki-laki itu mengulurkan tangannya, dan memperkenalkan firi.

"Ayu". Aku menyambut tangannya, menatapnya sebentar dengan tersenyum canggung.

"Gue ga tau loe punya adek perempuan, gue kira loe cuma punya Kakak". Kata Bli Gus. Mulai saat ini aku menyebutnya Bli Gus, begitulah aku menyebut laki-laki sesama Hindu yang lebih tua dariku.

Sejak bertemu Bli Gus, aku sangat gembira. Sepanjang jalan aku bersenandung dalam hati. Pertemuanku ini, rasanya bukan hanya kebetulan. Aku sudah merasakan sesuatu bahkan sebelum pergi ke Jakarta, dan kini aku semakin yakin akan sesuatu yang indah, rencana Tuhan.

Aku hanyut dalam kebahagiaanku hari ini, sedang Kak Aksa dan Bli Gus sibuk berbincang. Tiba-tiba di tengah keasyikan mereka, seseorang menepuk pundak Bli Gus.

"Bli, nak Bali ae?. Bli, orang Bali ya?" Kami bertiga seketika tercengang, ini sangat langka!

"Ae Gus, nak Bali masih? Iya, Gus, orang bali juga?" Bli Gus balik bertanya pada pemuda itu, kelihatannya seumuran denganku.

"Iya Bli, aku baru lulus kuliah di Bogor, baru datang dari melamar kerja, salam kenal". Jawab laki-laki itu sembari menyalami Bli Gus untuk berkenalan. Bli Gus pun segera memperkenalkan aku dan Kak Aksa. Akhirnya kuketahui nama laki-laki itu, Agus.

Satu lagi kutulis catatan penting dalam ingatanku, keajaiban hari ini setelah Bli Gus. Ternyata kini bukan hal sulit bertemu sesama orang Bali di rantauan, tapi aku sungguh kagum dengan kebetulan ini. Laki-laki itu segera turun sebelum kami, Bli Gus dan Kak Aksa pun masih heran dengan siapa dan bagaimana.

"Kok ye nawang rage nak Bali nah? Kenapa dia bisa tau kita orang Bali?" Bli Gus bertanya-tanya.

"Dingehe rage ngorta sing? Dia mungkin dengar kita mengobrol". Kak Adi menimpali, mereka memang sebelumnya mengobrol dengan Bahasa Bali, namun Bli Gus tidak yakin dengan itu.

"Sing, ye mare mecelep pas rage be suud ngorta. Tidak, kurasa dia baru masuk saat kita sudah berhenti bicara". Kata Bli Gus, dan aku setuju karena aku memperhatikan mereka mengobrol, dan juga melihat kedatangan laki-laki itu. Aku bicara dengan ragu-ragu.

"Gelang Tri Datu, Bli". Aku berpendapat, Bli Gus menatapku sebentar berpikir.

"Oh, sajan, Gung. Ohiya, benar Gung". Bli Gus menepuk pundak Kak Aksa, setuju dengan pendapatku. Meski Bli Gus tak secara langsung menjawabku, aku mengerti bahwa ia pasti canggung karena ada Kak Aksa, tapi aku sangat senang meski begitu, dan entah kenapa.

Saat yang Kita Lihat Hanya KitaWhere stories live. Discover now