Harapan dan Cinta

16 0 5
                                    

Bandung, 6 Maret 2018

"Aku cuma inget sama Gek aja sekarang", pesan Bli Gus menghangatkan hatiku seketika. Pipiku sudah pasti memerah. Aku ingin berteriak karena kegirangan, lalu hatiku bergumam. Terima kasih Tuhan, untuk anugerah ini.

"Begitukah?" aku membalas pesan Bli Gus.

"Iya dong. Gek sayang ga sama aku?"

"Hmmm, gatau" Sudah pasti, aku sayang Bli Gus. Aku sudah jatuh hati sejak pertama jumpa, aku sudah menyimpan sosokmu di hatiku sebelum aku mengenalmu. Aku belum memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaanku, aku baru mengakuinya pada Tuhan.

"Kenapa gatau?"

"Pertanyaannya susah"

"Kan tinggal jawab iya atau ngga"

"Kenapa bukan Bli Gus dulu yang jawab, sayang ga sama aku?"

"Sayang" Aku tercekat membaca pesannya, apa ini terlalu cepat?

"Gek gimana, sayang sama aku?" Bli Gus memastikan lagi padaku.

Aku tidak ingin berbohong lagi, perasaanku benar adanya.

"Sayang" jawabku. Aku lega, aku tidak memiliki perasaan ini sendirian, aku menengadahkan kepalaku, menatap gambar-gambar yang tertempel di dinding kamarku, Dewi Saraswati, Dewa Siwa. Aku tersenyum, mereka seperti membalas senyumku, memberkatiku dengan penuh kasih. Terima kasih, kau memberiku segalanya. Aku berbisik dalam hatiku.

Hari yang kulalui menjadi berwarna, aku merasa sudah lengkap sekarang. Aku tidak memerlukan apa-apa lagi. Aku akan bahagia selamanya, selama Bli Gus bersamaku, selama perasaanku terbagi dengan perasaannya. Selama hatinya bersama dengan hatiku menggenggam perasaan ini, cukup. Aku merasa telah menemukan akhir dari kebingunganku, mulai saat ini sampai selamanya aku tidak akan takut lagi untuk menghadapi apapun, tidak lagi. Mengapa aku begitu yakin, sudahkah dapat kupastikan Bli Gus akan bersamaku mulai saat ini sampai mati datang? Hatiku bertanya lagi, tapi aku begitu yakin. Aku sangat percaya, mulai saat ini hidupku adalah melengkapi Bli Gus dan demikian sebaliknya.

Bagaimana aku yakin? aku bahkan belum bertemu dengannya lagi, dia hanya mengatakan perasaannya lewat pesan, bagaimana aku percaya? Lagi-lagi, hatiku bertanya. Aku yakin, aku juga hanya menjawab pesannya, aku tidak mengatakan perasaanku dengan tatap muka, tapi aku tau begitu nyata perasaanku, aku yakin demikian juga perasaannya.

Begitu terus hatiku sibuk bertanya-jawab, lagipula mengapa Tuhan akan menghianati doa-doa Ibu, Ayah, Kakak, dan seluruh keluargaku. Doa mereka itu yang membawa Bli Gus padaku, aku yakin.

***

"Kedua kakak mu sudah melanjutkan hidup mereka, nak. Kau tau kenapa mereka memilih perempuan Puri untuk mendampingi hidup mereka?"

"Tentu saja cinta, betul begitu Ibu?"

"Mereka tidak hanya jatuh cinta, tapi berusaha menjagamu. Mereka membalas cinta para perempuan puri dengan ketulusan hati, agar nanti kau juga mendapat pemuda puri, pemuda bangsawan yang mencintaimu sepenuh hati"

Aku diam, mendengar penjelasan Ibu. Hatiku dipenuhi berkat, dalam hatiku pun mulai tumbuh keyakinan, kelak seorang pangeran lah yang akan menjemputku, sehingga aku tidak perlu mengorbankan hidupku dan hubunganku dengan keluargaku demi menjalani hidup sebagai perempuan.

"Katakanlah iya, kepada laki-laki yang memiliki hati seperti kakak-kakak mu itu, nak"

Aku hanya mengangguk tanda mengerti, namun dalam hatiku dipenuhi kebingungan. Jika takdirku tidak seperti yang keluargaku harapkan, bagaimana? Aku tau mereka tidak memaksaku, tapi aku juga menjadi kebingungan dengan itu. Mereka sangat berharap untuk hidupku. Aku diberkati doa mereka, tapi akankah takdir Tuhan membawaku pada kebahagiaan seperti harapan itu?

Semakin hari, saat aku semakin menjadi dewasa, saat aku akan mulai berpikir untuk jalan hidupku, hatiku semakin dipenuhi harapan. Ya, Tuhan. Kabulkanlah harapan seluruh keluargaku, aku pun tidak ingin jauh dari mereka. Aku ingin hidup seperti harapan mereka. Harapan mereka itulah harapanku juga. Aku ingin meski nanti telah menemukan rumahku yang sesungguhnya, aku tidak perlu memutuskan hubungan dengan Ayah dan Ibuku.

Suatu hari menunggu hari yang datang untuk ku pergi meninggalkan rumah demi cita-citaku, Iwak berpesan padaku. "Nak, saat kau akan menentukan pilihan untuk hidupmu, jagalah kulitmu. Inilah bagian tersulit bagi perempuan, apalagi perempuan yang lahir dengan kulit sepertimu, kulit seorang bangsawan. Kau ingat pesanku baik-baik nak, seperti apa nasib perempuan puri lain yang memutuskan hubungan dengan orang tuanya, menghilangkan kulit bangsawannya"

"Jika aku jatuh cinta pada lelaki biasa, apakah salah?" aku memberanikan diri bertanya, mengapa semua orang di rumah begitu berharap padaku. Aku mengakui aku juga berharap, tapi aku takut dengan hatiku, aku tidak dapat mengendalikannya, jika aku jatuh cinta pada laki-laki biasa, maka apa yang dapat ku lakukan.

"Nak, dulu seorang perempuan puri menikah dengan laki-laki biasa"

"Apakah dia bahagia?"

"Mungkin, sebentar. Semuanya berubah saat suaminya meninggal, dan mertuanya tidak menerimanya"

"Apa yang terjadi padanya sekarang"

"Dia kembali pada orang tua kandungnya"

"Orang tuanya pasti akan menerimanya kan"

"Ia diterima untuk tinggal, tapi dia tidak memiliki hubungan apapun lagi dengan keluarganya, dengan leluhurnya, dia sebatang kara, nak"

"Keluarganya pasti menerimanya, mereka tetap keluarga kan? meskipun ia tidak menyebut nama Aji Biang lagi, aku tau hati mereka tetap terikat"

"Kau benar, nak. Tapi kepada siapa nanti dia akan kembali, inilah rumitnya"

"Maksud, Iwak?"

"Nak, perempuan itu belum memiliki anak. Dia sudah menikah, tapi keluarga suaminya membuangnya. Meski dia kembali untuk tinggal dengan orang tuanya saat bajang menurutmu apa hubungannya dengan para leluhur dapat disambung lagi?"

"Aku belum mengerti, Iwak"

"Saat dia mati, tidak ada yang memiliki kewajiban untuk menguburkan dan mengupacarai jiwanya. Dia tidak punya anak, satu-satunya hanya jika keluarga suaminya mau mengupacarai jiwanya nanti, bagaimana jika tidak?"

Aku terdiam, aku paham dengan maksud Iwak sekarang. Aku pun mulai dihantui ketakutan, aku membisu dan kebingungan.

"Dia belum mati, nak. Namun saat maut menjemputnya, Iwak pun tak tau apa yang dapat dilakukan oleh keluarga di rumah bajang nya.

"Iwak, aku tidak ingin mendapat nasib seperti itu" Aku akhirnya bicara lagi, aku takut. Aku mulai bertanya-tanya lagi tentang hidupku. Aku harus bagaimana, seperti apa pilihan yang akan datang padaku, bagaimana aku memutuskan hidupku nanti.

"Iwak tau nak, Iwak berdoa untukmu setiap hari. Jagalah dirimu, sekuat tenaga jagalah hatimu, ingatlah selalu hubunganmu dengan keluargamu di puri ini".

Saat yang Kita Lihat Hanya KitaWhere stories live. Discover now