7-M A S I H

197 20 6
                                    

"Waktu boleh memisahkan kita. Tapi, janjiku untuk masih bersamamu tak akan hilang. Tenang saja, aku masih yang dulu. Aku masih rindu. Dan aku masih milikmu."

-S.G. Angk, NPTNS, 2018-

Venn kembali bersua dengan pemilik uluran tangan itu. Angkasa. Entah uluran tersengaja itu ikhlas atau tidak. Venn menepisnya dengan berani. Ia mencoba untuk bangkit dengan usahanya sendiri.

"Sorry, kak. Gue bisa sendiri,"

Venn melangkah menuju gagang pintu dengan mengelus sudut kepalanya. Angkasa meneriakinya dari belakang.

"Woy! Sini dulu, jangan buru-buru gitu!"

Langkah Venn terhenti. Akan ada urusan apa lagi yang akan menyangkutkannya pada ketua OSIS itu?

"Gue tahu, kok, lo masih pengen lama-lama disini."

Venn hanya bisa menelan ludah, tertegun. Ia memberanikan badannya untuk berbalik. Mukanya hanya bisa tegang menatap wajah orang dihadapannya. Dan entah sejak kapan wajah itu menjadi sangat dekat. Untung saja wajah kikuk Venn tak menabrak wajah es Angkasa. Venn sedikit mundur memberi jarak. Beberapa cowok disekolah ini memang memiliki kepribadian darurat. Mereka bisa tiba-tiba mendekatkan wajahnya pada gadis lain. Mereka mana mungkin merasa apa yang dirasakan para gadis itu. Jantung mereka seakan ingin lari dari tempatnya.

"Kak Angkasa suka kesini Juga?" Venn kembali mengumpulkan keberaniannya yang sempat hilang.

Angkasa tak menjawab. Sejatinya, dia adalah manusia es. Jadi, jangan harap ia akan membalas setiap pertanyaan yang dilontarkan. Ia berjalan menuju sebuah lemari kaca yang penuh dengan bermacam peralatan ilmiah.

"Nyari inspirasi buat KIR,"

Venn ber-oh ria. Tiba-tiba ia disadarkan oleh suatu kata. KIR? Apa kak Angkasa juga ikut KIR?

"Kak Angkasa ikutan KIR?"

Angkasa mengangguk mantap. Dan anggukan itu membuat Venn kembali terkejut. Jadi, apa benar rekan lombanya adalah seorang Angkasa yang terkenal dingin itu? Bagaimana bisa kerja sama mereka akan lancar jika Angkasa tatkala ditanyai hal sepele saja tak dijawab,?

"Gue ikutan KIR juga lho, kak"

Suasana senyap sementara. Tiba-tiba Angkasa terkekeh ringan. Venn melongo demi mendengarnya.

"Orang kayak lo, mana bisa ikutan KIR. Pak Dharmo nggak bisa milih orang kali, ya"

Dua bola mata Venn menonjol. Menampakkan sedikit urat-urat merah. Tangannya mengepal erat. Ia sedang menahan emosi agar tak mencuat. Karena ia tahu betul siapa lawan bicaranya itu. Daripada menahannya lama, Venn mencoba untuk pergi.

"Terimakasih atas pendapatnya. Lagian gue ikutan KIR juga ada paksaan dari pak Dharmo."

Gadis itu melengang. Kini, hanya ada satu individu didalam luasnya laboratorium sekolah. Tampak sebuah seringai terukir diwajah tegas seorang Angkasa.
Ia bersandar pada tembok sambil berlipat tangan.

"Ch, kita lihat aja nanti. Dasar bocah kucel,"

Angkasa tersenyum nakal. Dengan sebab yang nanti akan terungkap

🔭

Siang di hari libur adalah waktu yang tepat untuk menggemukkan tubuh dan bersantai. Diatas sofa ruang keluarga, Venn terbaring dengan nyamannya. Tangannya memeluk sebungkus besar makanan ringan. Diatas meja, terletak sebotol besar minuman berasa dan juga beberapa bungkus makanan. Venn senang sekali menyenangkan perutnya. Herannya, kegemarannya yang satu ini tak membuat postur tubuhnya menggemuk. Hanya pipinya saja yang menyerupai balon.

NEPTUNUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang