It Became Beautiful

376 42 17
                                    

Shiori POV

Aku membuka mataku perlahan, masih dengan gerakan yang terlalu lemah, aku menggerakkan jari-jemari yang telah lama terbaring di atas kasur putih tak bernoda ini dengan refleks. Menyesuaikan terangnya cahaya yang masuk ke pupil mataku.

Kepalaku masih sangat pusing dan entah mengapa sakitnya semakin menjadi-jadi. Bagian kanan ke belakang juga nyeri, seperti membentur sesuatu. Aku benar-benar tak ingat apa-apa saat ini tentang apa yang telah terjadi. Otakku terlalu lelah untuk berpikir.

Dan kurasa sekarang tubuhku terbaring di ruang kesehatan.

Aku menghela nafas, menutup mataku dengan lengan kiri untuk menghalangi cahaya yang masuk dari jendela yang terbuka. Hidungku masih terasa perih dan tersumbat, sulit rasanya untuk bernafas.

Tirai disampingku dibuka, seorang dokter yang memang berada di ruang kesehatan ini menghampiriku. Dia adalah seorang perempuan muda yang selalu memakai kacamata dan menurut Aya, seorang dokter yang berperan seperti psikiater untuk anak-anak remaja yang sedang dilanda virus merah muda.

Namun tindakan pencegahannya sangat luar biasa, bagaimana dia bisa tahu aku sudah sadar? Apa suatu kebetulan?

"Akabane-san? Kau tak apa?"

Aku mengangguk perlahan, masih berbaring dan menutup mataku.

"Istirahatlah dulu, aku sudah menghubungi orangtuamu tapi sepertinya meraka tak menjawab-"

"Tak perlu, mereka sudah tak berada disini selama beberapa bulan. Jangan tanyakan kemana."

Dia terlihat bingung dari penglihatan di ujung mataku, tapi kemudian mengangguk mengerti.

"Baiklah, kalau begitu aku akan memanggil kakakmu, Akabane Karma-kun, bukan?"

Aku terdiam.

"...kurasa, biarkan saja-"

"Aku sudah memanggilnya, Sensei."

Sebuah suara mengalihkan perhatian kami, aku membuka mataku yang sempat tertutup, dan melihat kesamping.

Seketika jantungku melewatkan beberapa detakannya.

"Oh, Asano-kun? Terima kasih, aku sangat terbantu."

"Sama-sama, sensei."

Perempuan itu meninggalkan kami berdua di sana, sebuah atmosfer yang canggung menghigapi kami-

Atau menghigapiku.

"Kenapa?"

Remaja berambut jingga itu menatapku yang terbaring di ranjang.

"Aku baru kembali dari kelas, dan melihat beberapa junior membopongmu kemari. Jadi aku memanggil Akabane yang hampir akan membolos kelas kemari."

"Apa katanya?"

"Dia terlihat panik, cukup sulit untuk menemukannya di sekitar sini, kau tahu?"

Aku lagi-lagi bungkam, tak bisa mengutarakan apapun untuk membalasnya.

Untuk kali ini, aku sangat berharap dia tak datang.

"Kau tak apa?"

Lagi-lagi pertanyaan yang sama. Terkadang membuatku muak dengan kata-kata yang terlihat seperti mengasihaniku.

Aku menggeleng, menggulirkan tubuhku membelakanginya dan mengeratkan selimutku.

"Kau satu-satunya yang memberitahuku untuk istirahat dengan cukup, tapi kau sendiri yang sakit seperti ini, ironis sekali..."

Aku tetap tak bergeming, merasakan kata-kata yang mengejek seperti itu tak lantas membuatku marah atau memakinya. Dibandingkan dengan apa yang kualami di Canada, ini bukan apa-apa.

Red Symphony (An Assassination Classroom Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang