Him

313 23 22
                                    

Shiori POV

Waktu telah mengingatkanku kembali, semuanya telah berubah sejak aku berada di tempat lain di belahan bumi ini. Mungkin aku tak lagi merasakan betapa tak pedulinya kedua orangtuaku dan kesalahanku di masa lalu. Semuanya terasa seperti hal yang telah lalu menghilang begitu saja. Ditelan oleh gravitasi lain yang tak terlihat, lenyap namun masih menunjukkan tanda-tandanya kepada diriku.

Aku tak tahu semuanya akan terasa baru. Jauh, jauh dari semua mimpi buruk yang selalu menghantuiku setiap saat. Waktu memang penawar terbaik bagi hati yang terluka, menutupi bekas goresan yang entah sudah berapa banyak muncul mengambang di dalam diam yang menyakitkan.

Seluruh rangkaian kehidupan mungkin tak akan lepas dari segala sesuatu yang menusuk, tapi juga penuh dengan manis yang juga terbatas.

Hingga sore ini, semuanya terasa tak terkira.

Suara deringan bel menggema. Membawa angin segar bagi setiap pelajar yang tengah kewalahan dengan setumpuk soal di meja. Guru meninggalkan tempatnya, kemudian semua kembali dengan aktivitas klise. Dengan santainya aku merapikan peralatanku, memasukkannya ke dalam tas. Mengucapkan selamat tinggal dan sampai jumpa besok kepada Aya dan Sera, lalu melenggang pergi melewati pintu belakang.

Saat aku menggeser benda petak itu, seseorang muncul di depannya sehingga membuatku terkejut. Dia dengan tas yang tersampir di bahu kanan dan kedua tangan di dalam saku celana, menatapku dengan tatapan yang biasa sementara aku sebaliknya.

"Eh? Senpai?"

Dia membaca raut bingung pada diriku. Mengerti bahwa aku bertanya tanya mengapa dia bisa sampai disini.

"Aku menjemputmu."

Ha?

"Eh? Maksudmu, taruhan itu?" tanyaku ragu.

Asano Gakushuu mengangguk, lalu memberiku ruang untuk berjalan keluar kelas.

Aku menurutinya, berjalan di belakang sang ketua OSIS yang sempurna. Jangan pedulikan tatapan-tatapan iri, bertanya, ataupun takjub dari orang-orang itu. Aku hanya ingin segera cepat keluar dari sini.

Kami melewati beberapa loker di sisi koridor, dan sekelompok orang yang memiliki tempat mereka masing-masing untuk bercanda atau bergosip di depan kelas. Para guru tak terlalu mencolok di sekitar, hanya ada siswa siswi yang terdiri dari dua golongan besar, pertama adalah mereka yang tetap di sekolah untuk beberapa alasan, dan yang lainnya adalah mereka yang langsung pulang dengan alasan lainnya pula.

Salah satunya adalah untuk memenuhi taruhan kemarin. Dan Karma Akabane perlu dicap sebagai pembuat skenario yang baik (khususnya saat dia ingin melakukannya). Tapi aku tak tahu dia juga hebat dalam hal-hal seperti ini.

Apalagi jika bukan memberi waktu berdua bersama si Tuan Sempurna.

Tapi, langkah kakinya terlalu cepat saat melewati koridor, sehingga aku sedikit kewalahan untuk mengikuti seniorku ini. Jangan lupa ini adalah jam pulang, dan koridor dipenuhi oleh siswa dan siswi yang hendak pergi pulang, membuat desakan dan terkadang aku kehilangan siluetnya.

Apa yang diinginkannya sampai harus secepat ini?

Aku bahkan belum mencapai ujung lorong saat beberapa orang yang sedang berkumpul melihat mading hasil pertandingan basket kota (sekolah kami sudah pasti jadi yang pertama) menghambat jalanku. Aku tak bisa melihatnya lagi meski tadi aku bisa menemukan kepala oranye di sela-sela kerumunan orang-orang.

Namun sekarang dia sudah hilang entah kemana.

"Permisi, aduh...maaf, permisi..."

Aku menyelip di kerumunan, meski tinggi badanku cukup ideal namun aku bisa apa jika kebanyakan yang disini adalah laki-laki.

Red Symphony (An Assassination Classroom Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang