The Door is Open

212 18 9
                                    

Shiori menatap kaca yang basah karena hujan yang jatuh menerpa daratan. Kering itu basah oleh cairan langit, dan nampaknya awan tak lagi menahan dirinya untuk tetap menyelimuti atmosfer di atas sana. Sudah dua jam yang lalu sejak Asano mengantarnya pulang. Bagaimana bisa dia disana? Lagipula Shiori tak berharap dia memperlihatkan wajahnya.

Shiori bimbang. Apa yang harus dia lakukan denga peeasaannya sendiri?

Di pangkuannya, jas Asano masih menyelimuti. Dia berniat mengembalikannya namun apa yang terjadi membuat Shiori tak melaksanakan niat itu. Setiap hari, baik siang maupun malam, Shiori selalu berusaha. Namun, rasa ini tak pernah membiarkannya larut dalam kenyamanan.

Meski terkadang, Shiori bisa merasakan kebahagiaan kecil yang dia dapat dari setiap kenangannya bersama Asano.

Besok masih ada, dan Shiori tak bisa bersabar untuk melihat wajah senpai-nya itu. Untuk menatap iris violet yang seumpama lautan senja. Lembayung dan jingga, meski dia tahu Asano bukanlah seseorang yang bisa dikatakan hangat dari dirinya yang sebenarnya,

Tapi bagi Shiori sendiri, suatu propaganda yang dia buat sama sekali tak seperti kepura-puraan.

##

"Nii-san. Bangun dan makanlah atau konsol game-mu itu akan kubuang."

Karma Akabane, remaja kelas dua itu masih bergelut dengan selimutnya yang hangat. Malas bangun di pagi hari yang dingin dan cahaya matahari yang begitu menyilaukan. Seperti karakternya sendiri, dia tak akan bangun pagi tanpa ada sesuatu yang memang sangat ingin dia lakukan.

"Diamlah, ini baru jam berapa, sih?"

"Lima belas menit lagi kita harus pergi ke sekolah, aho!"

Namun, sepertinya gertakan Shiori tidaklah mempan bagi seorang setan merah sepertinya (yang masih tetap teguh memeluk bantal). Karma tak mengubris adiknya yang seperti akan meledak saat itu juga. Dia tak peduli.

Tidak sebelum Shiori menyiramkan air ke wajahnya.

"Oi! Apa-apaan-"

"Bangun dan sarapan, atau kumandikan kau disini."

"Heeeeh~ melawan dengan kakakmu, ya?"

"Sudahlah, turun dan makan!"

"Iya, iyaa..." akhirnya dia mengeluarkan kakinya dari selimut dan melangkah ke kamar mandi dengan baju kaos yang basah.

"Ne, Shiori."

Gadis yang telah berseragam itu menoleh ke arah Karma. Mencoba mengartikan pandangan kakaknya yang asing.

"Tidak, lupakan."

Dan Shiori hanya mengangkat bahunya. Menghela nafas sambil merapikan kasur Karma, menyibukkan diri agar tak memikirkan tentang kebimbangannya semalam.

Sungguh, semua ini melelahkan.

Suara shower terdengar dari dalam kamar mandi, mengawali aktivitas keduanya dalam menjalani hari ini.

Shiori meninggalkan kamar kakaknya, menuju ke dapur dimana dia akan menyiapkan sarapan. Tak lama, pemuda yang tadinya bersikukuh tetap di kasur itu sudah berpakaian lengkap. Mengambil kursi dan melaksanakan rutinitas sarapannya bersama Shiori.

Sumpit beradu dengan mangkuk. Pagi itu terlihat biasa.

"Sudah kuduga kau tak bisa melupakannya."

Shiori menghentikan gerakan sumpitnya, mencerna perkataan Karma sambil mengunyah makanan perlahan. Dia merasa begitu berat untuk mengatakan bahwa hatinya kembali terbuka dan harapannya sudah kembali. Shiori tahu dia begitu bimbang, namun apa jadinya jika dia menolak semua rasa ini? Pastinya perasaan itu akan kembali menyerangnya. Seperti bumerang.

Red Symphony (An Assassination Classroom Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang