Keping Tiga

297 36 9
                                    

"Bagaimana? Taehyung sudah pulang? aku mencoba menelponnya tapi tidak bisa." ujar Jimin lemas. Jungkook yang baru datang kemudian mendekat. Jimin menunggunya datang sambil duduk di taman tidak jauh dari rumah. Dia dan Jimin sejak tadi berputar-putar mencari Taehyung dari bioskop sampai ke kafe dan taman biasa mereka berkumpul.
"Kau istirahat saja ya. Biar aku yang mencari sendiri.   Perutmu masih sakit kan?"
"Semua ini gara-gara aku juga Kook. Aku harus menjelaskan pada Taetae semuanya. Dia pasti sedih dan bingung."
Jungkook menarik nafas panjang. "Biar aku saja. Kau masih bisa bertemu dengannya besok. Malam ini aku akan ke rumahnya dan Jimin.."
Jimin menatapnya.
"Aku bertemu Yoongi Hyung tadi. Dia— dia sedang bersama seseorang mungkin orang yang sama seperti yang kau lihat sebelumnya."
Jimin menunduk. Mungkin dia sudah hampir menangis lagi. Jungkook menepuk punggungnya. "Kurasa, kita perlu melakukan yang kubilang tadi."
"Apa itu berarti banyak? Apa dia akan menyadari sesuatu? dan Kook, Taehyung— dia.."
Chim pokoknya kau tidak boleh bilang pada Jungkook soal perasaanku. Apapun yang terjadi. Dia bisa marah dan pertemanan ini akan hambar. Janji ya?
Dia sudah berjanji pada Taehyung. Malam itu saat dia menginap di rumah Taehyung. Semua itu karena Taehyung mengira Jungkook tidak memiliki perasaan yang sama dan dia sudah berjanji hal yang sama pada Jungkook untuk tidak menceritakan apapun pada Taehyung. Ya Tuhan semua ini sangat rumit.
"Aku akan menceritakan semuanya pada Taehyung. Kau tidak perlu khawatir. Lagipula, belum tentu Taehyung merasakan hal yang sama. Dia akan lebih mementingkan keadaanmu Jimin."
"Kau mau kan berjanji padaku untuk memberitahunya soal ini?"
Jungkook mengangguk.
"Aku berjanji. Kita akan membuat Yoongi Hyung menyesal sudah menolakmu." katanya sambil tersenyum menenangkan.
Pelan-pelan Jimin mulai percaya dengan rencana mereka.
.
.
.
.
.
"Sampai nanti, Taehyung!"
"Oke Jisoo! terima kasih ya sudah mengantarku geng hujan!"
Mereka melambaikan tangan dengan antusias sebelum mobil Jisoo menghilang di balik tikungan.
Sepi. Bersama Geng Hujan dia bisa melupakan semua hal yang menyedihkan hari ini tapi begitu berpisah rasanya kembali memuakkan. Taehyung bergerak memutar pagarnya sewaktu ada seseorang yang berjalan mendekat.
"Taehyung."
Taehyung tidak berharap bertemu dengan orang ini sekarang. Aish! kenapa dia sangat sedih? bukannya sudah jelas kalau Jungkook memang suka dengan Jimin dan mungkin selama ini dia sudah menjadi teman yang jahat karena Jimin harus memendam perasaannya pada Jungkook karena dia sudah bercerita banyak soal perasaannya pada Jimin?
Dia harus meminta maaf pada Jimin besok.
"Tae, maafkan aku."
Taehyung tersenyum.
Tahan Taehyung. Tahan sebentar lagi. Jangan menangis di depannya. Untuk seseorang yang tidak pernah melihat perasaanmu yang tulus, dia tidak pantas melihat air matamu.
"Bagaimana Jimin? apa sudah lebih baik?"
"Dia sudah pulang. Aku tadi mengantarnya. Kami mencarimu. Kau tidak ada di bioskop."
"Oh, ponselku mati. Aku juga tadi tidak ke bioskop. Aku pergi dengan Geng Hujan."
Jungkook menatapnya tidak mengerti. "K-kau tidak ke bioskop?"
"Iya. Tiba-tiba saja aku tidak ingin menonton dan mereka mengajakku main game juga ke kafe yang baru buka di Myeongdong."
"Kenapa kau tidak mengabariku? Aku mencarimu kemana-mana."
Taehyung terkekeh. "Aku lupa. Mungkin aku terlalu asik bermain. Ngomong-ngomong, selamat ya. Kau dan Jimin. Wow! ternyata tebakanku tidak salah. Selama ini kalian dekat sekali. Ternyata kau memang memendam perasaan untuk Jimin."
"Kau benar-benar berfikir begitu?"
"Iya. Mungkin kalau kau bercerita padaku soal perasaanmu aku bisa membantumu menyatakan perasaan pada Jimin."
Sial. Kenapa rasanya begitu sakit. Kenapa Jungkook menyakitiku begini.
Keduanya diam.
Entah mengapa Jungkook merasa begitu marah. Dia mencari Taehyung dengan perasaan bersalah yang menggunung tapi ternyata Taehyung tidak datang ke bioskop malah bermain dengan geng lain. Taehyung juga terlihat baik-baik saja dengan apa yang terjadi padanya dan Jimin.
Cinta Jungkook benar-benar bertepuk sebelah tangan.
"Sudah malam Jungkook. Pulanglah ke rumah."
Taehyung kembali mencoba memutar pagar sewaktu Jungkook menahan lengannya. "Kau benar-benar tidak merasa apapun? Aku mengira kau menungguku begitu lama dan kau pulang sendirian. Aku merasa bersalah Tae! Kenapa kau begini?"
"Kenapa aku begini? Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu! Kenapa kau tidak pernah menganggapku ada diantara kau dan Jimin?! Kenapa kau—"
Tidak. Kalau begini dia akan tahu semuanya. Dia tidak boleh tahu.
"Baiklah. Maafkan aku tidak mengabarimu dan sudah membuatmu kemana-mana mencarimu. Apapun yang terjadi antara kau dan Jimin, aku tidak peduli karena sejak awal kalian juga menyembunyikannya dariku. Aku hanya bersyukur, sekarang kalian sudah berkencan. Selamat malam."
Taehyung buru-buru membuka pagar dan masuk ke dalam tanpa menoleh ke arah Jungkook lagi. Dia mengusap air matanya dengan kasar. Dia berharap Jungkook tidak melihat air matanya. Oh Tuhan, bagaimana caranya menghadapi kedua sahabatmu yang kini menjadi kekasih? terlebih lagi— Jimin sudah mengetahui perasaannya. Ini pasti akan sangat aneh. Taehyung masuk ke dalam kamar dan merosot ke bawah setelah dia menutup pintunya. Dia hanya menjawab pertanyaan ibu seadanya. Taehyung menghela nafas panjang.
"Aku ingin membencimu Jungkook tapi aku tidak bisa." ucapnya serak.
.
.
.
Jungkook masih terduduk diam di depan rumah Taehyung. Matanya basah.
"Apapun yang terjadi antara kau dan Jimin, aku tidak peduli. Aku tidak peduli. Aku tidak peduli."
Kalimat itu masih terdengar di telinganya seperti kaset kusut yang sudah harus dibuang. Kenapa Taehyung menginjak perasaannya begitu? Kenapa Taehyung bisa menghancurkan hatinya semudah itu? Dia begitu sibuk mencari Taehyung. Dia begitu takut Taehyung marah dan bersedih karena dia tidak menepati janjinya tapi ternyata Taehyung sama sekali tidak memikirkan keadaannya. Dia bahkan tidak peduli dengan apapun yang terjadi padanya dan Jimin.
Ternyata memang ini cara yang benar. Dia mengira mungkin Taehyung akan cemburu dengan apa yang terjadi dengannya dan Jimin. Dia mengira mungkin Taehyung akan menyadari perasaannya pada Jungkook setelah melihat berita kencannya. Ternyata dia salah. Taehyung sama sekali tidak peduli.
drrrrttt
[Kook.]
Jungkook tidak bisa berbicara. Bibirnya kelu menahan tangisannya.
[Kook, apa yang terjadi?]
"Dia tidak peduli Jimin. Dia bilang dia tidak peduli dengan apa yang terjadi."
[Kook, tenanglah. Mungkin dia hanya marah.]
"Dia tidak terlihat marah sama sekali. Dia bahkan pergi bersama anak geng lain dan tidak datang ke bioskop."
[Apa kau bilang? Taehyung— dia tidak mungkin—]
"Aku sudah terlalu khawatir Jimin. Aku takut menyakitinya tapi ternyata semua itu tidak seperti apa yang aku pikirkan."
[Kook, pulanglah. Aku akan bicara dengan Taehyung. Dengar Kook, dia sangat peduli padamu. Kita sudah berteman cukup lama. Aku akan menjelaskan padanya besok.]
Tidak ada hal lain yang ingin Jungkook lakukan selain melupakan hari ini dan semua yang sudah terjadi.
.
.
.
.
Mereka tidak bertemu di bus hari ini. Tidak juga bertegur sapa di sekolah. Taehyung menghindari Jungkook dan Jimin dengan baik karena ada banyak orang yang memberikan mereka selamat hari ini. Taehyung mengisi kekosongan jam dengan membaca buku di perpustakaan. Meski dia sama sekali tidak tahu apa yang dia baca. Pikirannya entah kemana sejak tadi. Dia hanya mengambil buku dengan asal dan membolak-balik halamannya.
"Taetae."
Taehyung mendongak. "Chim."
"Aku ingin bicara sebentar. Kau mau kan?"
Taehyung mengangguk dan menutup bukunya. Saat itu Jimin langsung memeluknya erat.
"Maafkan aku Tae. Harusnya aku bilang padamu." kata Jimin dengan suara serak.
"Hey, aku tidak apa-apa Chim. Harusnya aku yang meminta maaf padamu karena aku tidak tahu kalau kau dan Jungkook—"
"Tidak Tae, kau salah. Semua ini tidak seperti yang kau pikirkan."
Taehyung tersenyum. "Chim, kau tidak perlu menahan perasaanmu karena aku. Aku tidak apa-apa. Seharusnya kau bilang dari dulu padaku tentang perasaanmu. Aku jadi tidak enak."
Jimin mengusap air matanya. "Kau salah paham Tae. Jungkook sangat merasa bersalah padamu. Aku dan Jungkook tidak benar-benar—"
"Sudahlah Chim, aku sudah meminta maaf padanya kemarin. Aku sudah membuat kalian mencariku kemana-mana."
"Kau bohong kan. Kau menunggunya kan Tae? Jawab aku!"
Taehyung mengalihkan pandangannya sebentar sebelum tersenyum. "Itu bukan lagi masalah Chim. Aku lega karena sekarang semuanya sudah jelas."
"Demi Tuhan Tae, Aku dan Jungkook tidak berkencan seperti apa yang kau pikirkan."
"Chim, kenapa kau bilang begitu? Jungkook memang menyukaimu. Aku tidak heran sama sekali. Dia begitu perhatian padamu Chim. Aku saja yang begitu bodoh tidak menyadari semua ini. Jadi, tolonglah. Jangan karena kau tahu perasaanku, kau jadi berkorban lebih banyak. Kau harus bahagia."
"Tidak Taehyung. Aku tidak begitu. Aku yang egois Tae."
Taehyung memeluk Jimin dengan erat. Air matanya turun satu-satu. "Sudahlah, aku tidak ingin membahas ini lagi. Apapun yang terjadi, aku akan mendukungmu."
"Aku dan Jungkook tidak begitu Tae. Demi Tuhan."
"Ssst! Nanti kalau Jungkook mendengarmu bicara begini, dia bisa sedih. Dia pasti sangat tulus dengan perasaannya. Aku senang Chim karena dia bersamamu."
.
.
.
Begitulah hari ini berlanjut. Cuacanya mendung mungkin mirip dengan apa yang Taehyung rasakan. Pelajaran demi pelajaran berlalu sampai bel sekolah sudah berbunyi lagi. Waktunya pulang. Jisoo dan kawan-kawannya datang sesuai janji mereka kemarin. Taehyung menyambut mereka dengan senang. Sudah lama dia ingin belajar bahasa inggris tapi Jungkook tidak pernah sempat mengajarinya. Ah ya, tidak seharusnya dia memikirkan Jungkook sekarang. Dia harus segera melupakannya.
"Kau mau kemana Tae?" tanya Jimin begitu melihat Taehyung melambaikan tangannya pada Jisoo yang berada di luar kelas.
"Ah itu, Kakak Jisoo bisa mengajarkan bahasa inggris. Aku ingin ikut ke rumahnya."
"Kita belajar bersama saja bagaimana?"
Taehyung melirik sebentar ke arah Jungkook yang masih merapikan bukunya.
Dan melihat kalian berdua berpacaran di depanku?  mungkin tidak sekarang.
"Aku sudah berjanji pada Jisoo. Tidak enak kalau aku membatalkannya." jawab Taehyung sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Mereka pasti lebih menyenangkan daripada belajar bersamaku ya? Pembicaraan kita tadi belum selesai Tae." kata Jimin lagi.
"Bukan begitu Chim, aku hanya tidak ingin merepotkanmu dan Jungkook. Aku anak yang bebal. Nanti kau bisa kesal."
"Tapi Tae—"
"Tidak apa-apa kalau kau ingin belajar bersama mereka. Mungkin kau lebih nyaman dengan mereka." potong Jungkook dengan nada tidak suka.
Taehyung tidak mengerti. Kenapa Jungkook bisa-bisanya berfikir begitu? setelah apa yang terjadi, Jungkook sama sekali tidak mencoba bicara padanya lagi dan tiba-tiba dia marah begini. Bukannya kemarin dia yang tidak menepati janjinya? lalu tiba-tiba dia berkencan dengan Jimin dan sekarang dia marah?
Taehyung terkekeh. Mencoba menutupi perasaan kesalnya.
"Iya. Mereka sangat baik. Ah ya, aku tahu kau pasti masih merasa tidak enak padaku Chim. Kalian juga pasti jadi canggung jika ada aku. Untuk sementara, aku tidak akan menganggu kalian. Aku bisa menghabiskan waktu bersama yang lain. Aku tahu kita bertiga membutuhkan itu." kata Taehyung lagi.
"Wow! bilang saja kau ingin keluar dari pertemanan ini. Tidak perlu menjadikan aku dan Jimin sebagai alasan." sindir Jungkook. Taehyung tertawa lebar.
"Itu juga bagus Kook. Kalau begitu aku keluar saja dari geng ini. Sampai jumpa!"
Jungkook sialan!
Ya Tuhan, kenapa aku suka dengan orang yang seperti dia?
Tolong rubah perasaanku. Aku ingin segera menyukai orang lain yang lebih baik dari dia.
.
.
.
"Kau kenapa Kook? bukankah kau sudah berjanji padaku untuk mencoba memberitahu Taehyung apapun yang terjadi? kenapa kau membuatnya semakin salah paham?" sungut Jimin kesal.
"Dia tidak peduli dengan apapun yang terjadi Jimin."
"Itu karena dia begitu marah. Dia sangat marah pada kita Kook!"
"Kau tidak tahu rasanya Jimin. Dia tidak merasakan apapun yang kurasakan. Dia bahkan bisa menghempaskan perasaanku begitu saja." kata Jungkook dengan marah. Matanya menatap nyalang. Dia tidak bisa lagi menahan semua ini. Bagaimana bisa Taehyung meninggalkan pertemanan mereka tanpa mau mendengar semua penjelasannya terlebih dulu?
"Kau tidak bisa berkata begitu Kook. Itu semua karena kau belum pernah menyatakan perasaanmu padanya. Bagaimana dia bisa tahu?"
"Kalau begitu aku bersyukur tidak pernah menyatakan perasaanku. Dia tidak pernah menganggapku lebih dari teman."
"Itu karena kau selalu terlihat marah padanya Kook. Bagaimana caranya dia tahu kalau sikapmu begini terus? sekarang semuanya makin kacau. Aku sudah merusak persahabatan ini."
Jungkook menepuk bahu Jimin dengan pelan. "Aku yang sudah merusak semua ini Jimin. Maafkan aku." ucapnya pelan.
.
.
.
.
"Hey Jisoo, aku tidak enak badan. Maafkan aku teman-teman. Aku harus pulang sekarang. Aku mual. Kalian belajar duluan saja ya?"
Jisoo mengangguk. "Tidak apa-apa Taehyung. Sampai jumpa besok!"
Taehyung melambaikan tangannya kemudian beranjak dari tempat parkir. Dia hanya ingin sendirian hari ini. Dia membiarkan kakinya berjalan membawanya entah kemana. Pikirannya melayang kembali ke semua percakapan yang ada.
Semua ini mungkin salahnya. Dia begitu egois. Dia kasihan pada Jimin. Mungkin Jimin sedih sekali atas keputusannya tadi.
Tapi bagaimana lagi? dia tidak bisa memungkiri kalau hatinya sangat sakit. Dia tidak bisa lagi melihat Jimin dan Jungkook seperti biasa karena hubungan keduanya sudah berubah. Dia juga tidak pantas berada di antara keduanya. Dia tidak ingin Jimin terus-terusan merasa tidak enak padanya.
Taehyung berhenti di satu halte setelah berjalan sekian lama. Dia belum ingin pulang ke rumah tapi dia juga tidak tahu kemana dia harus pergi.
Taehyung menghela nafas panjang.
Dia sudah banyak menangis sejak kemarin. Rasanya begitu kekanak-kanakan.
Hatinya masih sesak. Dia tersenyum miris mengingat semua hal yang sudah mereka bertiga lewati bersama. Pertemanan mereka begitu indah. Banyak orang yang iri dengan persahabatannya.
Sekarang semuanya sudah selesai.
Orang yang dia sukai juga sudah pergi bersamaan dengan persahabatan mereka.
Taehyung kehilangan sahabat juga cinta sekaligus.
Itu semua menyesakkan.
"Hey, kau baik-baik saja?"
Taehyung menoleh. Buru-buru dia mengusap wajahnya yang sembab. Ada seseorang yang sedang duduk di sampingnya.
"Iya."
"Kau menangis? Kenapa? kau kehilangan uang atau baru saja dibully temanmu?"
Taehyung menggeleng pelan. "Aku baik-baik saja. Terima kasih."
Orang itu tersenyum lebar. "Benarkah kau baik-baik saja? Aku baru kali ini melihat anak sekolah menangis di halte."
Taehyung terkekeh. "Oh ya? berarti aku sudah membuat fenomena baru."
"Namaku Seokjin. Kim Seokjin. Kau?"
"Aku Taehyung. Kim Taehyung."
Mereka bersalaman. "Apa kau kuliah di Yonsei?"
"Iya. Aku kuliah di Yonsei. Psikologi."
"Wow! aku juga ingin menjadi psikolog. Senang bertemu denganmu."
"Kalau begitu setelah lulus, kau kuliah di Yonsei saja supaya kita bisa bertemu lagi."
"Tapi Aku anak yang bodoh."
Seokjin terkekeh. "Aku juga bodoh tapi aku mengenal seseorang yang pintar. Dia bisa mengajarimu nanti."
"Haha kau sangat baik padahal kita baru pertama kali bertemu."
Seokjin tersenyum tipis. "Karena kau mengingatkanku pada aku yang dulu."
"Hm?"
"Dulu aku juga menangis di halte ini sepulang sekolah. Kau mengingatkanku. Aku kira hanya aku anak sekolah yang pernah menangis di halte."
"Kenapa kau menangis?"
"Karena aku menyukai seseorang yang tidak bisa aku miliki. Dia sahabatku. Menyedihkan bukan?"
Deg.
Dunia ini begitu sempit. Bahkan sebenarnya jika kau sedih, mungkin orang lain di bagian dunia sebelah sana merasakan hal yang sama.
Taehyung tidak percaya itu sampai dia bertemu Seokjin. Lelaki itu masih tersenyum lebar padanya.
.
.
.
.
To Be Continued..
update ini khusus untuk pembaca yang komennya panjang sekali. supaya perasaannya lebih baik dan rasa bersalah saya berkurang jadi saya update malam ini. terima kasih selamat membaca. vote dan komennya jangan lupa. supaya saya tetep semangat update yay! see you.

The SerpentinesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang