Guilty - END

1K 95 11
                                    

Layar pipir itu menyala saat jariku menekan tombol kunci di bagian samping, menampilkan foto candid seorang namja cantik yang tengah sibuk dengan es krim cone di tangannya, Kim Jinhwan. Itu aku dan itu juga ponselku.

Empat digit angka yang merupakan penunjuk waktu itu memberitahuku bahwa ini sudah lewat 10 menit dari film yang rencananya akan kami tonton. Dan bahkan aku masih diam di dalam mobil yang berhenti di depan kampus fakultas bahasa, menanti seseorang yang 20 menit yang lalu menyuruhku menunggu 'sebentar' disini, karna dia harus menyerahkan tugas makalah pada temannya.

Itu dia, namja kelinci yang terlihat berlari ke mobil dimana aku kini duduk didalamnya. Ia segera menempatkan dirinya di kursi pengemudi. Nafasnya belum teratur dan bulir keringat terlihat membasahi dahinya.

"Mianhae, hyung. Junhoe tadi masih ada kelas." Bobby, namja tadi nampak menyesal. Ia memasang seatbeltnya dan melajukan mobil.

"Gwaenchana." Aku mengangguk dan tersenyum.

Bagaimana mungkin aku marah pada namja seperti Bobby? Lagipula jika aku marah, Bobby pasti akan melakukan sesuatu agar aku kembali tertawa semenit setelahnya. Meski urakan dan terkesan tidak peduli pada sekelilingnya, tapi dia bisa bersikap dewasa bahkan melebihiku yang sejujurnya setahun diatasnya. Itulah Bobby, namja yang berhasil merebut hatiku.

.

"Minggu depan appa mengundang keluargamu untuk membicarakan pernikahan kita." Aku memasukkan sesendok eskrim yang Bobby belikan sebagai ganti film yang sudah kami lewatkan.

"Arra, akan kusampaikan." Bobby menjawab, tapi fokusnya bukan padaku.

Aku sebisa mungkin mengalihkan pandangku menjauh dari ponsel yang kini menjadi fokusnya. Tidak mau tau dengan apa yang kini tengah Bobby kerjakan. Aku hanya tak ingin memergokinya sedang membalas pesan namja manis lain, meski sudah berkali-kali aku melihat isi chatnya yang bahkan lebih romantis dari pesan-pesan yang ia kirimkan padaku.

Cemburu? Tentu saja. Aku ini tunangannya dan sebulan lagi kami akan melangsungkan pernikahan. Tapi aku hanya diam berpura-pura tak mengetahui apapun. Aku tidak mau kehilangan Bobby.

ㅣㅣㅣ

.

.

.

.

.

Kakiku melangkah mundur perlahan bahkan sebelum memasuki area kantin kampus. Disana, mataku menatap Bobby yang duduk membelakangiku, bersama seseorang yang aku ketahui adalah teman satu jurusan Bobby. Aku memegang dadaku. Sesak. Meski ini bukan yang pertama kali aku melihat mereka, tapi tetap saja. Bobby adalah tunanganku, dan harusnya aku yang ada di sana.

Aku menangis dalam diam. Lihatlah, mereka serasi sekali. Bobby yang menyamankan dirinya pada pundak namja manis yang kini tertawa karna ulah Bobby. Bahkan Bobby tak pernah bersikap manja seperti itu bila bersamaku. Aku segera mungkin mengusap air mataku. Berbalik meninggalkan kantin dan kembali menyakinkan diriku bahwa aku tidak pernah melihat kejadian barusan. Aku akan kembali berpura-pura tidak tau.

ㅣㅣㅣ

.

.

.

"Hyung, tak apa kan jika Donghyuk pulang bersama kita hari ini? Ia tadi jatuh dan aku tidak bisa membiarkannya pulang naik bis." Aku berusaha bersikap biasa saat Bobby datang memapah namja yang sama dengan yang kulihat di kantin tadi. Pantas saja aku harus menuggu sedikit lebih lama di depan mobil Bobby.

Aku menatap namja bernama Donghyuk yang terlihat menunduk, merasa tidak enak mungkin. Ya, dia memang harusnya merasa demikian. Tapi aku juga tak bisa menyalahkannya. Kulihat pergelangan kakinya memar dan aku yakin dia tak mampu berjalan bahkan untuk 5 meter.

beretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang