BAB 2
Sudah dua hari aku mencoba untuk menjauhi Evalina. Di mana saja tempat kami bisa bertemu tanpa sengaja. Meskipun susah bagiku untuk tidak menggulirkan sepasang mataku padanya ... setidaknya aku berhasil untuk tidak melakukan sesuatu yang membuatnya kesal.
"Buku kemarin bagaimana? Sudah dibeli?" tanya ibuku.
Aku menggeleng. "Belum. Lagipula bukunya dipakai saat ujian akhir semester."
"Januari?" ucap ayahku, lalu dia menunjuk sesuatu di meja makan.
Aku langsung berdiri meraih botol kecap di depanku dan memberikan botol itu padanya. "Yeah. Kata dosenku buku itu dipakai untuk ujian Analisis Sastra gitu."
Dahi ibuku mengkerut saat berkata, "Loh, bukannya Adek nggak mengambil matakuliah itu?"
"Iya, memang. Ugh, entahlah, Bu. Dosenku ini sedikit gila. Katanya sih dia ingin mempersiapkan kami dari awal. Jadi kami tidak boleh punya alasan terkejut saat masuk ke kelasnya nanti."
Ayahku tertawa singkat saat aku mengucapkan kata gila. Dia tidak berkata apa-apa lagi, tapi ibuku yang berkata, "Tadi sewaktu pulang kami singgah ke toko buku. Ibu sudah tanya kapan buku itu distok kembali-"
"Sebelum Natal buku itu sudah masuk lagi," potong Ayah.
Aku nyaris mengumpat saat kudengar nada dering menyelimuti ruang makan. Kedua orangtuaku makin semringah mendengar lantunan dering itu tiada berhenti berbunyi. Ibu segera merogoh sakunya, dan mengangkat ponselnya seperti Rafiki yang mengangkat Kiara di The Lion King. Aku benar-benar tak bisa berkata apa-apa lagi. Mereka langsung berhenti makan.
Entahlah, keluargaku memang selalu begini kalau Andro menelepon. Rasanya rindu di dalam rumah ini tak pernah berhenti melupa-luap meski Andro mendapatkan porsinya setiap hari dari mereka.
Aku segera menghampiri kedua orangtuaku di saat mereka tak bisa bergantian bicara.
Di layar, aku mendapati Andro dengan rambut hitam lebatnya yang terlihat lepek. Mungkin dia habis keramas. Andro sedang duduk di kursi belajarnya dengan latar lemari bukunya yang penuh sesak. Dasar pamer.
"Bagaimana Yogya?" sambutku.
"Panas," jawabnya. "Kuliahmu bagaimana?"
"Lancar," balasku. "Headphones baru?"
"Yeah, ini hadiah dari Naomi." Aku tidak tahu kenapa dia tiba-tiba antusias. "Aku bahkan bisa mendengar Tuhan! Whoa!"
"Andro!" gumam Ibuku pelan.
Tapi Ayahku tertawa singkat mendengarnya. "Bolehlah nanti Ayah pinjam, yah?"
"Apa bagusnya emang?" tuturku. Andro menunjukkan telinganya ke kamera lebih dekat. "Waaaah."
"INI SENNHEISER YANG PALING BARU!"
"Ulangtahunmu bahkan masih lama," kataku.
"Ya, memang."
"Kau bukan gamer juga."
"Siapa bilang aku tidak bisa jadi gamer?"
"Maksudku, kenapa?" tanyaku,
"Bu, kalian sudah makan?" tanya Andro. Aku ingin sekali merutuk mendapati Andro suka sekali mengalihkan pembicaraan.
"Sudah, kok. Abang rindu gulai Ibu?" Ayah yang menjawab.
"Rindu kok, Yah."
"Naomi di mana? Kalian tidak keluar?" tanya Ibu.
Sekujur tubuhku langsung terjengit. Mendengar Ibu menanyakan Andro tidak pergi kencan dengan Naomi membuatku tersadar bahwa malam ini ada Malam Puisi di kampus. Sebenarnya aku tidak mau pergi tapi Pita terus membujukku, jadi aku mengiyakan karena toh aku juga tidak mau pergi sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eulogi dari Hidup Delusif
Teen FictionKisah tentang pertemuan tak terduga yang mengubah pandangan hidup sekelompok remaja saat mereka memasuki dunia perkuliahan. Andra, seorang mahasiswa yang cenderung introvert dan bermasalah dalam mengatasi keraguan batinnya, percaya bahwa hidup adala...