BAB 1
Aku nyaris linglung saat Evalina meninggikan suaranya. Meski nyaris lima bulan kami tidak pernah berhubungan seperti sedekat dulu, aku masih mengenali bagaimana dia ingin aku menempatkan dirinya sebagai satu-satunya orang yang boleh bicara sekarang.
"Kita dulu temenan, kan?" ucapku yang lebih terdengar seperti sebuah pernyataan.
"Kita?" Aku mengangguk kecil. Sambil tertawa dia lanjut berkata, "Jangan kira aku lupa bahwa kau menyukai hal yang sama denganku dan merampasnya dariku."
Aku menatap matanya yang sepertinya tak betah melihatku lama-lama sambil berpikir bahwa menggunakan kata merampas itu berlebihan. "Bisakah di dalam pertemuan yang tak sengaja ini, tidak ada yang menyinggung hal yang bahkan tak pernah kurencanakan, Lina?" Baiklah, aku mulai menyadari bahwa aku kedengaran seperti merengek. "Aku senang kau mau bicara denganku lagi."
"Kau baj—" dia berhenti. Melirik sekitaran koridor yang sepi. Seolah-olah kata yang nyaris diucapkan akan membuatnya penuh dengan dosa. Hanya kami berdua di sini. Hanya berdua dengan aku yang menyandarkan diri ke tiang. "Aku tidak pernah memilih untuk berteman dengan siapapun. Aku cenderung menerima siapa yang hendak datang. Aku juga tak bisa memastikan agar kau tetap menjadi bagian dari masa depanku. Kita berada di dua dunia yang berbeda sekarang."
"Tapi kita masih satu fakultas. Yang menjadi pembeda hanyalah jurusan kita."
Kali ini dia benar-benar tersenyum. "Kita hanyalah teman satu SMA. Dulu dan tidak lebih."
"Aku akan menceritakan pada seluruh dunia jika kita lebih dari itu."
"Kau ini ngomong apa sih?" ucapnya sambil membelalak kesal padaku. Dia lagi-lagi melempar matanya sampai ke ujung koridor. Hanya beberapa anak dari satu kelasku yang tidak terlalu kukenal sedang berkumpul membicarakan sesuatu di sana. "Dengar—aku sama sekali tidak punya masalah dengan apa yang telah kau lakukan pada hidupku, ya. Bukan hal besar juga jika kubeberkan kau ini aslinya bagaimana dan aku tidak akan terkejut jika kau akan mendapatkan hidup yang lebih buruk. Cocok kau rasa?"
"Lina."
Anjir! Entah mengapa deruan napasku bergemuruh tak terkendali. Aku tidak tahu kiamat macam apa yang akan menghampiriku jika Evalina membuka mulutnya membocorkan kenangan yang sudah terjadi lima bulan yang lalu.
"Kau kenapa?" Kali ini matanya tak lepas dariku yang terperangah.
Aku bahkan tidak tahu mau bilang apa lagi.
"Tergantung kondisi, sih," ucapnya. "Aku juga tidak ingin mencampuri urusan orang yang bukan di dalam lingkaran hidupku lagi. Lagipula, cerita itu ... aku juga ada di dalamnya. Mengatakan pada dunia mengenai hal buruk dimana aku juga terlibat akan membawaku ke—"
"Neraka!" aku memotongnya. Setelah Evalina berkata begitu, dia kembali membuatku berpikir. Sepertinya ... tidak bakalan terasa seperti kiamat juga jika Evalina membuka mulut manisnya dan bicara mengenai kenangan itu. Maksudku, hei, Evalina juga terlibat.
Lalu aku teringat Pita. Astaga! Ya, barangkali tidak akan terasa seperti penderitaan yang teramat sangat karena aku akan bersama Evalina di neraka. Tapi, aku tak mau membawa Pita ke neraka. Bahkan jika ada brosur dengan paket wisata ke neraka dengan layanan pendingin ruangan yang sangat dingin tersedia selama perjalanan, aku tak akan membawanya.
Masalahnya aku tidak tahu dampaknya ke hidup Pita bagaimana. Entahlah, aku sangat percaya bahwa yang berhak untuk mengacaubalaukan hidup sesorang adalah orang itu sendiri. Bukan orang lain. Pita dan aku juga sedang merahasiakan sesuatu yang mana jika dunia tahu ... dua dunia akan terguncang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eulogi dari Hidup Delusif
Novela JuvenilKisah tentang pertemuan tak terduga yang mengubah pandangan hidup sekelompok remaja saat mereka memasuki dunia perkuliahan. Andra, seorang mahasiswa yang cenderung introvert dan bermasalah dalam mengatasi keraguan batinnya, percaya bahwa hidup adala...