BAB 4
Demi Tuhan ucapan Pita yang menyarankanku agar segera berteman dengan seseorang terus terngiang di kepalaku. Di sepanjang jalan aku merasa bahwa seseorang ternyata punya andil mempengaruhi diri kita jika kita sangat dekat dengannya. Namun anehnya aku ialah tipe anak pembangkang jika kedua orangtuaku menyarankan sesuatu yang membuatku berpikir berbeda dengan mereka.
Saat aku menghentikan langkah di mading yang sepi di ujung koridor, mataku tak berhenti bergulir di setiap pengumuman rekrutmen terbuka dari berbagai organisasi di sana. "Apa kau dikatai bajingan lagi?" sambut Gaby berdiri di sampingku.
Aku tersenyum menyambut kehadirannya, namun tatapan kami tidak bertemu. Sambil ikut membaca sebuah pengumuman di mading, aku berkata, "Percayalah, aku menunggu saat-saat itu terulang kembali."
"Aku nggak berniat mencampuri tapi aku berharap hubunganmu dengan perempuan itu segera membaik, ya."
"Kentara banget, ya?"
"Andra," decaknya. "Kau bisa menyebutku sebagai pakar drama anak SMA. Aku sudah terbiasa dengan kehidupan remaja gila yang bernomaden pada struktural percintaan picisan seperti di Wattpad."
Lalu kami membisu. Aku berusaha mengolah apa yang barusan dikatakannya. "Whoa, kuingat kemarin malam kau sendiri bilang bahwa masa SMA lebih mudah ketimbang di sini."
Dia mengangguk membenarkan. "Jadi, bagaimana denganmu? Kau tampan juga. Aku tak heran jika sosokmu pernah dinarasikan oleh seorang remaja di genre cerita cowok nakal dan cewek baik miliknya."
Aku percaya bila Gaby punya sisi sarkastik seindah parasnya jika kami semakin lama membagi napas di tempat yang sama.
"Baiklah, pakar drama!" kataku sambil menyikut pinggangnya. Lalu kemudian aku canggung. "Jadi ... bagaimana dengan Jose? Anak itu sepertinya sedang berusaha PDKT-an denganmu."
"Yeah, hehehe," ucap Gaby. "Aku tahu."
"Jose kelihatan berusaha cukup keras."
Hanya dengan mendengarku mengucap nama lelaki itu membuat Gaby memutar kedua bola matanya. Seperti jijik. Namun dia tersenyum saat berkata, "Aku nggak ingin menjadi bagian dari dan mewujudkan impian remaja yang berpikiran bahwa cowok keren seantero kampus menyukai seseorang sepertiku. Dan kami pada akhirnya harus jadian. Kita pecundang, ingat?"
Aku membenarkan dengan nada canggung. "Tapi kau sama populernya dengan Jose. Cuma aku di sini yang pecundang." Lagi-lagi aku mendapatkan pemikiran bahwa Gaby hanya sengaja merendah agar aku menyanjung dirinya tepat di hadapannya.
Melalui pundakku kudengar seseorang memanggil namaku. Gaby dan aku praktis berputar, dan bisa kupastikan ada makna lain dari air muka Gaby saat memandang mereka berdua. Tapi aku tidak tahu pasti.
"Hei," sahut Arina. Kami berempat saling berhadapan dan sungguh sulit rasanya melarang sepasang mataku untuk tidak betah memandangi otot bisep Ab yang menggembung di balik kaos biru yang dikenakannya. "Lagi ngapain?"
"Mengobrol denganmu?" jawab Gaby.
Arina tertawa. Nadanya seperti dipaksakan. "Aku Arina dan ini Abraham. Kami anak A. Kau pasti Gabriel, kan?"
"Ya, Gaby dari kelas B."
Aku merasa sedikit terjengit menyaksikan jabat tangan paling canggung sepanjang hidupku. "Bagaimana dengan ibumu? Dia baik-baik saja?"
"Dia baru pulang kemarin malam—" jawabnya, dan lagi-lagi dia tertawa. "Aku mau mengucapkan terima kasih untuk sekian kalinya. Tanpamu mungkin aku akan menyusuri jalan sampai ke rumah sakit dengan mengesot."
KAMU SEDANG MEMBACA
Eulogi dari Hidup Delusif
Ficção AdolescenteKisah tentang pertemuan tak terduga yang mengubah pandangan hidup sekelompok remaja saat mereka memasuki dunia perkuliahan. Andra, seorang mahasiswa yang cenderung introvert dan bermasalah dalam mengatasi keraguan batinnya, percaya bahwa hidup adala...