Secangkir Sanger with One Pump Vanilla Syrup

25 1 0
                                    

BAB 5

"Kamu mau ikutan?" ucapku saat Pita berhasil memakirkan mobil di parkiran yang penuh sesak.

Dia mematikan mesin, dan berkata, "Pengen sih. Kudengar dari temanku jika kafe ini punya minuman yang khas."

"Oh, ya?" jawabku praktis. "Minuman apa?"

"Kopi."

"Kopi."

Saat senyap terentang, aku berusaha memandang Pita yang mulai perlahan tersenyum tipis. Namun gelak itu pun pecah saat dia berkata, "Ya, iyalah, Pita bego. Namanya juga Fakultas Kopi. Pasti jual kopi."

Bibirnya menyambutku. Deru napasnya kurasakan menyapu hangat pipiku.

Entah apa yang merasukiku untuk menciumnya lagi. Tuntutan itu menggebu saat kulihat air muka bahagianya. Tangan kanan Pita merangkul pinggangku, dan sesekali meremasnya pelan mengikuti irama lidah yang saling bertolak-ulur.

Namun saat aku berusaha meremas pelan rambut hitam ikalnya, dia menjauh.

Sangat sulit memahami apa yang sedang terjadi saat kudapati wajahnya terperanjat melirik sesuatu di belakang punggungku. Rasa sengat hangat yang menjalar saat berciuman tadi pun berubah menjadi mencelus pilu.

"Ya, Pak? Kenapa ya?" tanya Pita saat kaca mobil di samping kiriku dibukanya setengah.

Pria paruh baya itu mencoba tersenyum melirik Pita. "Oh, ada orang rupanya. Gini, Bang, bisa nggak Abang parkirnya ke sana dikit?"

Pita mengikuti ekor mata pria itu. "Ke belakang lagi, Pak?"

"Iya, Bang, soalnya ini parkiran biasanya dipakai sama Bos kafe di depan."

"Oh, saya cuma nganter doang, Pak. Ini langsung pergi sebentar lagi."

Aku segera melepas sabuk pengaman dan mengambil ransel di belakang. "Biar nggak apa kali," ucapku. "Aku pergi dulu ya, Pi. Akan aku chat nanti."

"Sampai nanti, Chee."

Aku tersenyum getir saat melewati petugas parkir itu. Hatiku berkecamuk apakah sedari tadi dia menyaksikan seluruh adegan lidah yang tak terbendung itu dan memutuskan untuk mengetuk kaca mobil karena situasi semakin panas, atau memang dia ingin Pita memindahkan mobilnya?

Ada banyak aturan tak tertulis yang Pita dan aku canangkan selama menjalin hubungan ini. Namun jika kupikir kembali, sepertinya seluruh aturan itu dibuat olehnya. Ambil saja contohnya seperti yang barusan, dan mungkin aku tidak akan keringat dingin seperti ini jika saja tidak ada yang harus saling menjaga agar tidak ketahuan. Yang pertama, orang-orang tidak boleh tahu jika kami pacaran. Kedua, bermesraan hanya boleh di chat atau selagi berdua di kamarnya atau milikku. Ketiga, tidak boleh mengunggah foto bersama di sosial media mana pun.

Aku sadar bahwa kami belum melela. Dan aku juga belum tahu apa gunanya melakukannya. Aku merasa bahwa aku tidak berhutang ke siapapun agar orang-orang tahu. Namun, Pita memiliki cara berpikirnya sendiri. Aku ... menghargainya.

Aku yakin jika tadi aku melakukan hal benar. Tidak ada niat satupun untuk membuat kami ketahuan. Parkiran ini ramai. Sesak dengan kendaraan yang saling beririsan. Hanya saja ... ternyata petugas parkir punya caranya sendiri untuk muncul secara ajaib meskipun aku sudah melakukan perhitungan pelik sebelum mencium Pita.

Saat berjalan menghampiri pintu utama kafe, aku meraih ponsel dari saku. Sudah pukul 17.30. Ada notifikasi dari Pita semenit yang lalu.

Waktu: Rabu, 12 Desember 2018, 17.29

Eulogi dari Hidup DelusifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang