BAB 6
Persetan dengan internet! Persetan dengan Google!
Jujur saja; persetan dengan semua rujukan yang disarankan di halaman pertama Google Scholar. Tidak ada satupun dari mereka yang berguna kecuali halaman pop-up yang menyarankan untuk membayar akses penuh ke suatu jurnal. Well, halaman itu sangat berguna untuk kumasukkan sebagai daftar situs yang harus diblok oleh Kominfo karena tamak akan pundi-pundi mahasiswa kantong kosong.
Sudah nyaris setengah jam Ibra meninggalkan kami untuk solat, namun kami belum menemukan satu artikel pun untuk mencari ide yang akan kami gunakan sebagai referensi tugas proyek ini.
Aku menyandarkan punggungku, berusaha mencari ketenangan lewat memerhatikan suasana kafe. Tidak ada satupun raut wajahnya yang seketat kami. Mataku bergulir ke Gaby yang air mukanya kian sepucat rambut putih sebahunya, dan semakin lama aku memerhatikannya, aku tambah mual. Saat lantunan musik beralih ke Jingle Bells, perhatianku terpusat pada dua lelaki dan seorang perempuan yang sedang mengambil selfie dengan pohon natal yang berkerlip seirama dengan musik di seantero atmosfer kafe. Aku merasa jika kau bersama dengan orang yang membuatmu nyaman dan bebas, kau tak perlu alasan menakuti tatapan sinis dari orang-orang yang menganggapmu aneh karena kau ... tidak aneh sendirian. Melainkan bersama.
Aku menutup beberapa tab browser yang semakin lama menjurus ke halaman iklan yang tak masuk akal, dan menatap Arina saat berkata, "Bagaimana jika kita coba gerakan tertentu?"
Alih-alih berharap Arina yang menjawab, Ab yang memantapkan sepasang mata cokelatnya padaku dan berkata, "Kau ingin menari?"
"Bukan. Bukan gerakan tarian yang kumaksud," ucapku sambil mengantongi ponsel. "Coba bayangkan apa sih sebenarnya yang kita butuhkan?"
"Sebuah penjelasan?" ucap Ab.
"Bukan itu, Ab," balasku. "Maksudku, apa sih yang sebenarnya dibutuhkan oleh kita ini? Para anak-anak SMA yang baru masuk kuliah ini?"
"Oke ... " kata Ab terulur-ulur. Dia kemudian berusaha menatap kami bergantian. Namun Arina dan Gaby sama bingungnya dengan Ab. "Can you be less cryptic?"
Aku tersenyum lalu menggulirkan pandangan ke yang lain bergantian. "Bagaimana kalau kita membuat suatu movement? Suatu gerakan yang meningkatkan kesadaran orang-orang terhadap sesuatu?"
"Dan sesuatu itu adalah?" tanya Arina mencoba tersenyum menutupi kebingungannya.
"Gerakannya adalah ..." Perutku mencelus. Seketika aku tidak ingat apa yang kupikirkan dan kenapa aku membawanya ke dalam obrolan dan akhirnya aku kedengaran seperti merengek. "Oh, Gaby, please help me here."
"Kayaknya aku paham deh apa yang Andra maksud," saran Gaby dan aku bersumpah dengan wajah serius yang muncul bersamaan dengan suara rendah itu berhasil membuatku merinding. "Ab, siapa komting di kelas kalian?"
"Tigor?" jawab Ab praktis.
Lalu Gaby menatapku dan berkata, "Dan di kelasmu?"
"Putra?" jawabku bingung.
Gaby diam sejenak. Dia menggigit bibirnya, menatap kami bergantian seraya mengajak untuk menebak apa gerangan yang ada di dalam pikirannya.
"Dan lelaki semua," ucap Arina pada akhirnya.
"Exactly!" seru Gaby nyaris bangkit dari tempat duduk. "See? Kentara kan perbedaannya?"
"Mereka menjadi komting karena memang mereka mau, Gab," kata Arina nyaris terbata. "Dan hubungan hanya lelaki saja yang menjadi komting dengan proyek ini—maksudku, gerakan yang dimaksud Andra apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Eulogi dari Hidup Delusif
Fiksi RemajaKisah tentang pertemuan tak terduga yang mengubah pandangan hidup sekelompok remaja saat mereka memasuki dunia perkuliahan. Andra, seorang mahasiswa yang cenderung introvert dan bermasalah dalam mengatasi keraguan batinnya, percaya bahwa hidup adala...