BAB 3
Sekarang hari Senin. Pita dan aku sedang di dalam perpustakaan. Kami sendiri sudah lama berjanji untuk memberikan satu hari bersama jika kami masuk di universitas yang sama. Aku juga tidak tahu kapan kebiasaan ini terus bertahan, karena semakin hari aku menjalani kehidupan kampus semakin aku menyadari bahwa waktu untuk bersama kian menipis.
Setidaknya Evalina yang menyadarinya lebih dulu dan memilih untuk ingkar janji. Namun, aku tidak menyalahkannya, sungguh. Aku mengerti apa yang dia rasakan kali ini jika tetap bertahan, dan aku merindukannya. Masih merindukannya.
Terkadang aku merasa aneh dengan perasaan ini. Kerap kali aku berpikir apa sih yang paling sebenarnya kita rindukan saat mengenang sesuatu? Orangnya atau suasananya? Atau barangkali kita merindu karena kebiasaan kita yang akrab dengan tingkah laku seseorang di masa lalu telah dirampas, dan kita pun seketika merasa kehilangan.
"Hei," kudengar suara Pita membangunkanku dari lamunan. Aku seketika pura-pura sibuk dan praktis menyalakan laptop. "Kamu lapar?"
Aku cuma nyengir dan menggeleng. Aku hanya tidak menyangka bahwa aku tidak terlalu mengacuhkannya sejak sedari kami bertemu sejam yang lalu di sini. Entahlah, mungkin pemikiranku mengenai apa yang telah dilakukan Pita dan Evalina kemarin membuatku begini.
Pita tersenyum. Dan ya, Tuhan! Aku bingung sendiri mengapa aku seketika luluh saat dia memberikan senyum lebarnya dengan barisan gigi rapi menawan itu. Dengan memandang langsung ke matanya, aku jadi tidak tahu sebenarnya apa di dalam isi kepalanya. Namun aku percaya jika dia mau terbuka bila aku mengajaknya bicara.
"Kamu kelihatan menjauh."
"Kita duduk di meja yang sama," ucapku sambil asal berselancar sesuatu di internet. "Kita saling berhadapan."
"Yeah," gumamnya sebelum akhirnya menutup buku-buku ilmu hukum yang sedari tadi dibacanya. "Tapi aku merasa kamu beda hari ini."
Aku tetap memusatkan perhatian ke layar. "Pi, tidak ada yang sama setiap hari. Tidak ada momen yang sama meski kita menjalani hidup di hari-hari yang sama berulang-ulang."
Namun dia tertawa singkat. "Siapa bilang kita nggak bisa melakukannya? Kita bisa pergi ke time loop dan menikmati masa di waktu lampau."
"Dan kita bakalan mati jika bertemu dengan diri sendiri di masa lampau," kataku.
"Chee! Tapi kenyataannya nggak begitu loh. Ada beberapa perjalanan lintas waktu yang tidak terlalu membahayakan nyawa."
"Contohnya?"
"Memandangi foto-foto kamu saat kamu nggak bales chat maupun teleponku."
"Nggak lucu."
Bahkan aku nggak tahu apa nadaku barusan serius, kesal, ataupun nyaring, dan dia sangat mengesalkan. Tapi jujur saja, rasa jengkel itu seketika sirna karena kusadari kejayusannya dalam menggombal.
"Kamu butuh seseorang mendengarkan apa pun yang ada di hatimu. Seorang teman. Seseorang yang mendengarkan."
"Aku tahu, kok."
"Hmm, hei, kenapa kamu nggak mengajak teman-temanmu gabung sama kita?"
"Pi, yang kukenal di fakultasku hanyalah Lina. Dan aku tidak ingin membahas apa pun." Aku cukup terkejut menyadari dia lupa bahwa hari ini adalah waktu khusus kami untuk berduaan saja.
Tatapan kami bertemu. Raut wajahnya seketika murung ketika aku bilang begitu. Menyadari apa yang sedang terjadi di antara kami bertiga, dia berkata, "Chee, setidaknya coba ngumpul dengan mereka. Kamu jangan menyaring mereka di awal kamu berkenalan. Itu sama saja kamu menilai mereka dengan persepsimu bahwa mereka tidak layak menjadi temanmu. Temani saja beberapa dan saring mereka di saat kamu berteman."
Aku hanya berpura-pura tidak mendengarkannya.
"Kamu baik-baik saja, kan?" tanyanya saat aku memilih untuk membisu. "Aku tahu kamu kesal samaku karena kita nggak jadi ketemu di Malam Puisi kemarin. Tapi berikan aku sesuatu, alasan atau apapun, agar aku bisa membuatmu berhenti melakukan apa pun namanya yang sedang kamu lakukan ini, dan menyayangiku lagi."
"Kamu membuat dirimu sendiri kedengaran egois, Pi," balasku saat aku mengetik alamat web Instagram di address bar.
Pita nyaris panik saat ponselnya tiba-tiba berdering dan seketika kami menjadi pusat perhatian di sepenjuru ruangan. Aku mengangkat kedua alisku saat Pita memberikanku tatapan apakah dia boleh menjawab panggilan itu. Tentu saja boleh, dan aku tidak peduli selama kami tidak menjadi pusat perhatian.
Sembari Pita bicara dengan seseorang lewat telepon, aku berselancar di beranda Instagram-ku. Tak banyak yang kuikuti di akunku. Sebagian besar aku menggerogoti waktu melihat foto-foto yang diunggah oleh pemain film, teman-teman SMA, dan akun-akun yang sering mengunggah foto makanan lezat yang tak akan pernah kujumpai di dunia nyata.
Ada rasa ngilu menggerayang di pundakku saat mataku bergulir ke sebuah foto yang diunggah Sabtu malam kemarin. Aku sadar bahwa mataku sedang berair bukan karena pedih memandang layar dengan jarak yang cukup dekat, melainkan karena rasa kecewa sebab senyum merekah itu menggurat di wajah Evalina bukan karenaku. Melainkan dia telah menemukan hal baru. Teman baru. Orang-orang baru.
Foto itu sebagian besar berwarna gelap. Aku yakini bahwa cahaya sorot kameralah yang membantu mereka tampak sedikit jelas di foto, bukan karena riasan wajah mereka yang putih cemerlang. Saat kusadari jika foto itu diambil di sekitaran lorong tempat aku duduk kemarin di Malam Puisi, aku segera mencari Gaby di kolom pencarian. Dan ketika mataku berkedut melihat jumlah pengikutnya, barulah kusadari bahwa Gaby mungkin berpura-pura baik padaku agar aku tidak merasa lebih buruk kemarin. Tapi toh pada akhirnya aku mengikutinya.
"Farhan mau ke sini. Boleh, ya?" ungkapnya sembari mengantongi ponselnya.
Aku bahkan tidak tahu siapa gerangan Farhan itu. "Jadi, sepertinya semua ini lucu, ya?" ucapku sedikit tertahan.
"Hah?"
Dia bahkan tidak mengerti sarkasme yang kubalut di kalimat itu dengan sengaja. Dasar tipikal bukan anak sastra. Aku tidak menyalahkannya, sungguh. "Kamu pergi sama Evalina?"
"Aku nggak ngerti kamu ngomong apa," balasnya akhirnya.
"Oh, yeah," aku membenarkan diri sendiri. "Tentu saja tidak. Bahkan kamu kelihatannya sepele mengundang seseorang. Aku benar-benar nggak tahu mau ngomong apa lagi."
Dia mengembuskan napas begitu keras seperti sedang menahan sesuatu. "Dia cuma teman. Hanya teman! Teman sekelasku. Kumohon kamu jangan bertingkah seperti perempuan yang penuh kode dan memaksaku bertingkah seperti agen rahasia terampil untuk memecahkan kode-kode itu."
Aku segera membereskan buku-buku dan laptopku, dan bersiap untuk pergi. Pita praktis berdiri, sedikit gemetar dan kuperhatikan kedua pipinya merekah. "Kamu mau ke mana?"
"Kelas."
"Tapi kan kamu masuk jam 11.20 nanti."
"Ugh, aku bisa masuk kelas sesukaku," ucapku namun aku berakhir dengan berkata, "Aku ada kuis."
"Jangan bohong, Chee," ungkapnya. "Aku tidak pernah berbohong padamu."
Aku tidak tahu. Aku benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi di kepalaku dan pada diriku sekarang. Untuk pertama kalinya dia menggengam tanganku di keramaian dan entah kenapa hal yang kunanti-nanti itu membuatku kesal. "Nanti malam kamu ke rumah, ya? Kita nonton Miss Pregrine's Home for Peculiar Children."
Aku segera melempar tangannya yang menggenggam tanganku di atas meja. "Kamu membuat kita diperhatikan, Pi."
"Oh, aku nggak peduli."
"Tapi aku peduli. Kita peduli. Kita sendiri juga yang nggak mau kentara kelihatan di muka umum begini."
Dan aku pun pergi meninggalkannya tanpa berbalik memandangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eulogi dari Hidup Delusif
Teen FictionKisah tentang pertemuan tak terduga yang mengubah pandangan hidup sekelompok remaja saat mereka memasuki dunia perkuliahan. Andra, seorang mahasiswa yang cenderung introvert dan bermasalah dalam mengatasi keraguan batinnya, percaya bahwa hidup adala...