Sebuah Perasaan
-;
"Mau kemana?" tanyaku setelah bangun tidur, berharap ia ada di sampingku namun malah melihat ia sedang bersiap-siap untuk pergi ke suatu tempat.
Ia memakai kemeja putih dibalut dengan sweater abu-abu. Jam tangan serta ikat pinggang bermerk. Dan tak lupa parfum 'hugo' yang baru saja ia semprotkan di tubuhnya. Tipikal pakaian yang dikenakan saat akan berkencan, mungkin? Aku tidak terlalu tau.
"Mau ketemu seseorang, aku telat bangun jadi harus cepat agar tidak dimarahi," ujarnya yang membuatku makin kecewa.
Katakan aku bodoh karena menginginkan Minhyun memilih diriku dibanding seseorang yang ingin ditemuinya saat ini. Namun tetap saja, aku menyukainya. Tidak, malah aku mencintai sesosok Hwang Minhyun yang sedang berdiri didepan cermin memperhatikan dirinya.
Aku mengerucutkan bibirku. "Kau belum mengobati bokongku yang lecet karena kau tampar ditambah kau juga belum memberikan salep untuk rektum ku yang lecet karena kau tidak memakai pelumas tadi malam,"
Minhyun berhenti dari acara memuji diri di cerminnya. Ia berjalan ke arahku dan naik ke atas ranjang tempat kami bergulat tadi malam. Sebenarnya ini kasur milik Minhyun, kamarku ada disebelah kamarnya.
"Lihat sekelilingmu dulu sebelum mengatai aku tidak bertanggung jawab," ujarnya membuatku bingung sendiri.
Aku menatap sekeliling dan sudah melihat kamarnya yang sudah rapi serta melihat salep di nakas yang berada di samping ranjang.
"Kau sudah melakukannya?"
Ia hanya mengangguk kemudian kembali merapikan rambutnya didepan cermin.
Aku memegangi bokongku dan iseng memegangi rektumku. Benar apa yang ia katakan, aku bisa merasakan dinginnya salep yang telah ia berikan.
Secara tak sengaja, aku menekan bokongku yang masih memar dan mengeluarkan desahan yang seharusnya aku tahan.
Minhyun menoleh ke arahku dan menyeringai. "Kau masih belum puas untuk yang tadi malam?" ucapnya membuatku gugup setengah mati.
Namun aku harus apa? Daripada membiarkan Minhyun pergi meninggalkanku sendiri, lebih baik aku membuatnya tinggal walaupun itu akan meninggalkan rasa sakit pada rektumku.
Kali ini dengan sengaja, aku menekan rektumku dan mendesah kembali.
Ia kembali menoleh ke arahku. Seolah paham, ia kembali berjalan ke arahku dan menaiki ranjang miliknya. Ia merangkak menuju ke atas tubuhku dan menciumku.
Aku tersenyum karena berhasil menggodanya. "Do it with feelings and please, be gentle to me," ucapku dan kami kembali bergulat di atas ranjang seperti yang kami lakukan tadi malam.
Bedanya, kali ini aku yakin ia akan melakukannya dengan halus karena aku yang memintanya.
--
Malam itu. Setelah kami berdua selesai dengan urusan ranjang dan tidur hingga sore, Minhyun berinisiatif mengajakku mandi berdua agar ia bisa membersihakn tubuhku. Lalu, setelah berpakaian, ia menggendongku menuju dapur dan meletakkan ku di kursi meja makan.
Lihatkan? Bagaimana aku tidak jatuh hati dengannya jika ia saja selalu bersikap seperti itu kepadaku.
"Kau tidak penasaran?" tanyanya sembari menaruh hasil masakannya di meja makan.
Dahi ku berkerut mendengar pertanyaannya. Penasaran? Dengan apa? Pikiranku hanya sampai pada kelakuan yang kami lakukan malam kemarin dan tadi pagi ketika melihat wajahnya.
"Penasaran tentang?" akhirnya aku bertanya karena tidak bisa berpikir lebih jauh jika menyangkut hal tentang Minhyun.
Ia menghela nafsnya. "Apakah kau yakin tidak penasaran kenapa aku bersiap-siap tadi pagi?"
Ah, aku mengerti sekarang. Aku menggeleng merutuki kebodohanku. Sepertinya aku harus berhenti betapa seksinya Minhyun ketika di ranjang.
Aku akhirnya mengangguk dengan ragu. "Sedikit," ucapku kemudian memakan ayam goreng buatannya untuk menyembunyikan rasa gugupku.
Ia tersenyum, kemudian mengambil nasi yang ada didepannya kedalam mangkuk dan memberikannya kepadaku.
"Kencan buta,"
Mataku sontak membulat mendengarnya. Sejak kapan Minhyun mau berkencan dengan seseorang? Yang ku tau, kerjanya hanya belajar, membaca buku, berceramah tentang sebuah hubungan, dan menyetubuhiku jika perlu.
"Kau yakin? Kau bahkan tidak mau menjadikanku kekasihmu,"
Hanya itu yang bisa kutanyakan setelah berpikir keras untuk melayangkan banyak pertanyaan dan amukan untuknya.
"Kali ini beda, Woo. Aku tidak mau menjadikanmu kekasihku karena aku punya beberapa alasan,"
Aku hanya memberikannya anggukan dan kembali memakan ayam goreng hasil masakan Minhyun. Gosh, ini sangat enak.
"Aku mengencani Mina, FYI,"
Aku tidak peduli ia akan mengencani siapa. Aku tidak tertarik. Lebih tepatnya, tidak ingin tahu siapa yang mengencani siapa. Takut akan membuatku sakit hati nantinya.
"Hm, yah. Terserah kau saja. Lagipula ini hidupmu. Walau aku terus memaksamu untuk menjadikanku kekasihmu pun kau masih bebas menolak," ujarku dengan sedikit kecewa.
Minhyun tersenyum, kemudian ikut menghabiskan makan malam dalam diam.
Kami berdua membereskan piring bekas makan malam dan menaruhnya di washtafel. Kali ini giliran Minhyun yang mencuci piring, jadi aku bebas dan segera berjalan menuju kamarku. Berniat untuk merenungkan perasaanku pada Minhyun, mungkin?
Sebelum aku beranjak dari dapur, ia menahan tanganku dan menampilkan wajah seriusnya.
"Can you give me a kiss?"
Aku hanya mengangguk singkat dan memberikannya satu kecupan kecil dibibirnya.
Ia tampak menikmatinya dan kembali tersenyum. "Woo, untuk masalah hubungan kita. Aku akan memikirkannya lagi. Mungkin kita bisa menjalaninya pelan-pelan?"
Hatiku tersentuh mendengarnya. Entah kenapa, ucapannya seperti listrik yang mengejutkan hatiku secara tiba-tiba dan membuat jantungku berlari marathon untuk yang kesekian kalinya.
Tidak ada tanggapan lebih yang kuberikan untuknya. Hanya sebuah senyuman bahagia, dan sebuah kecupan lagi dibibirnya sebelum aku benar-benar beranjak ke kamar, berniat untuk segera tidur.
Semoga besok sama bagusnya dengan hari ini.
--
Belum ada perubahaan sampai disini, tidak tau chapter depan wkwk.
-Dev
KAMU SEDANG MEMBACA
What Are We? - OngNiel [On Hold]
Fanfiction[SLOW UPDATE] "Kita ini sebenarnya, apa?"