Gadis cantik itu seketika tersenyum saat membuka jendela kamarnya. Sejuknya udara pagi pun seketika menyambutnya. Riuh nyanyian burung tak lupa menyapanya. Menarik nafas panjang sembari memejamkan ke dua mata lantas membuang nafas itu pelan dan kini terlihat menangkupkan ke dua tangan ke dada. Melantunkan doa agar semua yang hendak dijalankannya hari ini berjalan sesuai rencana. Kebiasaan yang selalu dia lakukan saat hendak memulai aktifitas di pagi harinya. "Selamat pagi dunia," gadis berjilbab itu mengakhiri ritual paginya, wajahnya nampak berbinar penuh kebahagiaan. "Baiklah mari kita mulai hari ini dengan membaca Bismillah. Semoga keberuntungan ada di pihak kita. Amin." Segera setelah itu dia pun memasukkan buku-buku yang ada di kasur kemudian beranjak dari ke kamar untuk berkumpul bersama keluarga di Ruang Makan sebelum Aelke meneriakinya.
"Selamat pagi, ganteng!" Setibanya di Ruang Makan, gadis berjilbab itu pun segera duduk di samping keponakannya yang sejak kemarin menginap di rumahnya. Ayah dari bocah tampan yang berusia 3 tahun itu sedang berada di Surabaya untuk mengurus beberapa hal di salah satu Rumah Sakit cabang milik ke dua orang tuanya yang ada di Surabaya. Tanpa permisi, gadis itu pun mencomot tempe yang ada di piring sang keponakan sehingga membuat pemilik tempe merengut sebal sembari menatapnya. "Apa? Pelit banget sih. Enggak boleh ya tante minta tempenya?" Ujar gadis itu tanpa dosa. Bocah bernama lengkap Kanaka Raysakha Al Ghifari atau lebih akrab disapa Ray itu menatap Rania penuh dendam. "Eh, pakai acara melotot lagi. Awas ya kalau mata Kakak nanti ke luar terus Kakak jadi zombie. Hii! Serem deh." Gadis itu bergidik ngeri.
"Hwaaaa!" Seketika bocah tampan itu pun menangis dan berlari meninggalkan Rania di Ruang Makan. Sedangkan Rania malah tertawa puas karena berhasil menggoda sang keponakan hingga bocah itu menangis.
"Awsss....." namun tawa itu berubah menjadi pekikan kesakitan saat tangan seseorang kini menjewer telinganya. "Bunda?" Saat menolehkan kepala, gadis itu menemukan Aelke yang memelototinya sembari menjewernya "Awss! Sakit, Bunda. Lepasin, Bun! Awss!" Rintih gadis itu yang membuat Aelke melepaskan jewerannya.
"Kamu ini ya suka banget kalau disuruh bikin keponakan kamu menangis," kesal Aelke dengan sikap putrinya yang suka sekali menggoda keponakannnya, "Kamu apakan lagi Ray? Sampai nangis kayak gitu, heumb?"
"Enggak diapa-apain Bunda, cucu Bunda aja yang cengeng." Rania membela diri.
"Kalau enggak diapa-apain, enggak mungkin sampai nangis kayak gitu, adek!" Kekeuh Aelke.
"Tante Anya, Kakak Ray diapakan sama tante?" Teriak Bisma yang sudah pasti bersama Raysakha.
"Aduh, pasti tuh bocah ngadu deh sama Ayah!" Gadis itu menepuk jidatnya, "Bunda, bunda adek ke kampus dulu ya!" Sebelum Bisma sampai di Ruang Makan, gadis itu pun segera bangkit dari kursinya dan meraih tangan Aelke untuk dicium punggung tangannya.
"Kamu enggak sarapan dulu? Enggak mau nungguin Ayah?"
"Nunggu Ayah kelamaan, Bun. Adek berangkat dulu, assalamualaikum." Putri bungsu dari keluarga Al Ghifari itu pun segera berlari meninggalkan Ruang Makan.
"Waalaikumsalam," Aelke menjawab salam putri bungsunya kemudian menggeleng pelan. Anak itu tak pernah berubah, masih suka ribut dengan sang keponakan.
***
"Ma, Ray berangkat dulu."
Zizi menghentikan lamunannya saat sang putra kesayangan sudah berdiri di sampingnya, wanita itu pun terlihat mengusap air matanya. "Enggak sarapan dulu? Mama udah siapkan makanan kesukaan kamu." Ujar Zizi sembari mengulurkan tangannya untuk dicium punggung tangannya oleh sang putra.
"Nanti aja ma, sarapan di kampus. Ray udah telat," tolak pemuda tampan itu. "Mama nangis?" Zafran bereaksi cepat saat menyadari mata Zizi yang basah. "Kenapa ma? Mama sakit?" Seketika telapak tangannya pun memegang kening Zizi.
Sakit! Satu kata yang dibenci oleh Zafran. Dia tak ingin kehilangan mama setelah papa meninggalkannya. Sebaik mungkin, Zafran selalu berusaha menjaga asupan makanan untuk mama. Sebagai calon dokter tentu Zafran tahu makanan yang baik dikonsumsi untuk wanita seumuran Zizi.
"Ray teleponkan om Bisma ya? Biar mama diperiksa atau kita ke Rumah Sakit saja?" Dengan cepat pemuda itu meraih ponsel pintar dari dalam saku celananya.
"Enggak Ray, mama enggak apa-apa, Sayang!" Zizi memegang lengan putranya.
"Beneran mama enggak apa-apa?" Sekali lagi pemuda itu meyakinkan dan sebuah senyuman juga anggukan dari Zizi menjawab pertanyaannya.
"Mama baik-baik saja, Nak!" Zizi mengusap-usap lengan sang putra. "Iya sudah kamu berangkat sana, hati-hati ya bawa mobilnya. Jangan ngebut-ngebut!" Zizi wanti-wanti.
"Assalamualaikum," beranjaklah pemuda itu dari Ruang Makan, meninggalkan sang mama.
Zizi menatap punggung putranya yang kemudian menghilang dari jangkauan matanya. Tak terasa putra semata wayangnya sudah besar sekarang, sebentar lagi akan menjadi seorang dokter. Pemuda itu tumbuh tanpa kasih sayang seorang Ayah sehingga membuatnya menjadi pribadi yang pendiam dan tertutup. Terkadang, Zizi merasa sedih jika melihat anak lain yang hidup bahagia bersama ke dua orang tuanya sedangkan putranya harus tumbuh tanpa perhatian dan cinta seorang Ayah.
"Waalaikumsalam." Zizi kembali mengusap air mata di ke dua pelupuk matanya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Memori dalam Hujan
General FictionCinta adalah sebuah rasa terindah anugerah dari Tuhan. Cinta tak dapat didefinisikan, cinta tak bisa dipegang, cinta juga tak dapat dilihat wujudnya. Namun cinta dapat dirasakan, bisa membuat kehidupan seseorang menjadi lebih berwarna. Tapi tidak un...