'Sampai saat ini aku tidak bisa mengatakan apapun selain aku membencimu'
Darrr
"Berhenti lo!" Seseorang menggebrak pintu rooftop dan membuat Stella dan laki-laki yang hendak memukulnya itu menoleh kepada seseorang yang sedang menatapnya tajam."What?"kata laki-laki yang tadi menampar Stella dengan suara pelan dan hampir tidak bisa di dengar, bahkan Stella saja tidak mendengarnya.
Laki-laki tadi berlari keluar sebelum beberapa saat bersitatap dengan Bima. Bima berlari menuju Stella den memeluk Stella tanpa sengaja.
"Lo nggak papa, Stel?" Tanya Bima den melepaskan pelukakkannya, kini tangannya berpindah ke bahu Stella. Stella hanya diam dan menatap Bima dengan wajah ketakutan.
"Gua gua nggak papa" Stella melepaskan tangan Bima yang ada di bahunya, kini ia berbalik dan menutup wajahnya yang sudah sedikit lebam dengan kedua tangannya. Bahunya berguncang, menandakan ia sedang menangis.
Bima maju selangkah dan memegang bahu Stella.
Grebb
"Stella lo jangan nangis" seseorang memeluk Stella dengan erat, hingga Stella semakin terisak di bahunya. Stella merasa sangat sangat rapuh saat ini.
"Stella, jangan nangis lah" kini tangannya mengusap punggung Stella pelan, Stella membalas pelukakkannya dengan sangat erat.
"Mending kita bawa dia ke UKS" Bima mengisyaratkan untuk pergi, kedua tangannya di masukkan ke dalam celana OSIS yang ia kenakan.
"Stel, ikut gua ya, kuat nggak? Kalo enggak gua gendong" Stevan menundukkan kepalanya untuk melihat wajah Stella yang sudah lebam itu.
"Sini gua gendong aja" Stevan sudah berjongkok di depan Stella, tanpa menunggu lama Stella naik ke punggung Stevan dan menyandarkan kepalanya di bahu Stevan.
"Udah jangan nangis, nanti yang jahatin lo gua masukin ke KUA" Stevan mencoba menghibur Stella dengan candaannya.
"Nggak usah ngelawak, nggak pas timingnya, emang ngapain juga di bawa ke KUA?" Stella berhenti menangis dan memukul dada Stevan membuat Stevan berhenti berjalan dan menoleh ke Stella.
"Karena gua nggak punya wewenang untuk masukin dia ke kantor polisi" Stevan melanjutkan jalannya.
"Lo punya weweang kok" Stella mengatakannya pelan dan Stevan tidak menjawabnya karena mereka telah sampai di UKS, di dalam Bima sudah tiduran sambil bermain dengan handphone-nya.
***
"Bim, lo bawa motor sendiri kan?" Tanya Stevan saat mereka berjalan bersama di koridor. Tangan kanan Stevan mengegenggam erat tangan Stella.Semua orang menatap Stella aneh karena luka di wajahnya, tapi karena adanya Stevan di sampingnya Stella merasa lebih baik dibandingkan tidak adanya Stevan.
"Enggak, gua nggak bawa" Bima sok damatis dan mengalungkan tangannya ke leher Stevan.
"Gua nggak bisa anter lo sekarang, karena gua mau anter Stella" Stevan melepas tangan Bima yang melingkar di lehernya. Bima hanya tersenyum kecil dan berpisah dengan mereka di parkiran.
"Bim, ati-ati" Stevan meneriaki Bima dan hanya dijawab anggukan tanpa menoleh ke Stella dan Stevan.
"Yok naik, Stel" Stella naik di motor Stevan, Stevan memasangkan helm ke kepala Stella dan mengaitkan pengait helm.
"Pegangan" Stevan menarik ke dua tangan Stella ke pinggangnya, Stella mengeratkan pegangannya dan menaruh kepalanya di punggung Stevan.
***
Bima P.O.V
Gua duduk di kursi taman deket rumah, keadaan di sini lumayan sepi karena hari masih terlalu panas untuk orang berlalu-lalang.-BIMA-
Lo dimana?
-BRIYAN-
Maksud lo?
-BIMA-
Gua mau traktir makan ni
-BRIYAN-
Nggak usah kebanyakan gaya
-BIMA-
Lo dimana? Ketemuan yok
-BRIYAN-
Dateng aja ke tempat biasaGua masuk ke dalam rumah dan mengambil motor hitam gua. Dengan kecepatan tinggi motor hitam gua membelah jalanan yang sepi di palembang.
***
Author P.O.V
"Stell, nanti kalo liat mami lo mau gimana?" Tanya Stevan saat mereka tengah duduk di kamar Stella."Mama pasti nggak bakal ke sini, dia kan capek pasti lansung tidur di kamar" Stella menatap wajahnya di bayangan cermin di sampingnya.
"Ya tapi kalo mami tiba-tiba dateng terus-" Stella menatap Stevan dan tersenyum tipis, tangannya menyentuh tangan Stevan yang ada di depannya.
"Lo tenang aja, mama nggak bakal tau, kalo nggak nanti gua nginep di rumah lo" kata Stella, ia menghembuskan napas pelan dan berdiri lalu turun meninggalkan Stevan sendirian. Stevan mengambil handphone Stella yang tadi ia ambil di UKS.
"Ini siapa?" Tanya Stevan pada dirinya sendiri, dia menyalin nomor teratas ke handphone-nya.
"Stell, nginep rumah gua aja yuk" Stevan mencari Stella sambil teriak dari lantai dua.
"Ya" jawab singkat Stella dari dapur dan membawa jus mangga kesukaannya. "Beneran ni?" Tanya Stevan tak percaya.
"Iya, papa nanti pulang" Stella memberikan jus itu kepada Stevan dengan tatapan datar, Stevan tidak berani menanyakan lebih jauh lagi tentang papa Stella.
"Yaudah yok, kerumah gua sekarang" Stevan menarik tangan Stella, Stella hanya diam dan menuruti langkah Stevan.
"Nanti di rumah gua masakin mie goreng rebus + cilor" Stella mendengus, " mana ada mi goreng rebus, emang lo juga bisa buat cilor?" Tanya Stella dengan sedikit tertawa.
"Loh, mi goreng tu direbus bukan dilgoreng makanya namanya mi goreng rabus" Stevan berlagak seperti seorang guru tengah menjelaskan kepada murid dengan gestur tangan yang kesana kemari.
"Iyadah, ngomong-ngomong kapan orang tua lo pulang?" Stella duduk di ruang tamu Stevan dan mencari majalah baru yang biasanya ada di meja ruang tamu.
"Emm, mungkin minggu depan" Stevan tanpak berfikir dan ikut menjatuhkan dirinya ke samping Stella.
"Gilaaa, lama amat" Stella menutup lagi majalah yang baru ia buka beberapa halaman dan menaruhnya lagi ke tempatnya semula.
"Yeee, kayak lo nggak tau mereka aja" Stevan memasang tampang sebal yang dibuat-buat layaknya anak kecil.
Stella membalikkan tubuhnya menghadap ke Stevan, "Stev, gua mau ngomong serius ni" Stevan menoleh dan menatap mata Stella dalam.
"Safira belum mati" Stella menunduk sejenak sebelum melihat wajah terkejut dari Stevan, mata Stevan tampak mengisyaratkan kebahagiaan. Bagaimana tidak sudah 3 tahun mereka tidak melihat sahabat mereka.
"Seriusan lo? Dimana? Dia dimana sekarang?" Stevan mengguncang tubuh Stella pelan, Stella menelan salivanya dan menatap Stevan.
"Di temen kita" wajah Stevan berubah kesal dan tiba-tiba ia berdiri dan meninju tembok dekat kursi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories
Teen FictionKisah klasik beberapa remaja yang baru mengetahui apa arti cinta, apa arti menderita, serta ditinggalkan. Hingga mereka paham harus bertindak dan memilih sesuatu yang nyata. Ini kisah Stella, Stevan, dan Bima tentang indahnya hidup mereka dan pahit...