Kurasa aku mulai bertingkah aneh, pikiranku terkadang melayang. Aku tak dapat berhenti memikirkan bagaimana caraku untuk dapat menebak rasa baru es serut itu. Mungkin saja itu hanyalah sebuah kebetulan atau semacam de javu lainnya. Tapi aku benar benar melihatnya, entah kapan ataupun dimana, hanya saja itu terasa nyata. Apakah aku mulai berhalusinasi kemba..
"BUBU!" Teriakan Bruno tepat disamping telingaku membuatku sontak ingin memukulnya dengan kanvas yang sedang kugenggam
"Wow, turunkan kanvas itu Bubu." Ujar Bruno sekali lagi
"Apa yang kau inginkan Bruno? Bukankah kau kelas menjahit sekarang?" ujarku sambil menghela nafas
"Pola Jahit Bubu, bukan menjahit." Bruno menggerutu
"Tidak ada bedanya."
"Apa kau akan baik-baik saja tanpaku dikelas melukis? Kau pasti tidak akan tahan tanpaku kan? Andai saja aku tak mengulang kelas, kau pasti dapat kutemani." Bruno berkata dengan nada yang sedikit mengejek membuatku memutarkan kedua bola mataku
"Apa kau selalu bercanda?" aku menatap Bruno dengan tajam, bukan berarti aku marah padanya, melakukan itu adalah cara membuat dia cepat pergi.
"A a aku rasa aku dipanggil. Sudah ya Bubu!" Bruno mulai menatapku takut dan berlari memasuki kelas disisi kanan lorong.
Aku sangat menyukai lorong pinus di sekolah kami yang sangat panjang, lembab dan dingin. Aroma lantai kayu yang berdecit. Disebelah kanan lorong dihiasi dengan lukisan serta anyaman unik yang memisahkan pintu antar kelas. Sedangkan disebelah kiri lorong terdapat kelas seni alam yang panjangnya sama dengan lorong, dibatasi dengan dinding kaca tembus pandang yang sangat lebar, sehingga ketika kau berjalan kau dapat melihat seluruh isi ruangan itu. Singkatnya, ruang kelas seni alam adalah rumah kaca yang dipenuhi dengan tanaman tanaman yang tertata rapih. Biasanya digunakan untuk kelas menggambar landscape dan untuk mempelajari sifat sebuah tanaman sebelum akhirnya kita dapat menuangkannya kedalam berbagai macam lukisan. Melihat tanaman yang indah itu mengingatkanku pada Ibuku yang sangat menyukai tanaman.
Ahh, sudah lama aku tak melihat ibuku.
Tiba tiba saja kepalaku melayang, kulihat ibuku mengenakan sweater abu pucat kesukaannya, dikebun kecil yang berada dibelakang rumah kami, senyumnya yang lebar sambil memegangi buah tomat yang sepertinya berhasil ia tanam.
"Bugin? Sedang apa disana? Cepat masuk, kelas akan kumulai." Professor Ethan berkata sambil menunjuk kedalam kelas mengenakan ibu jarinya.
"Ah, Baik Professor." Ujarku sambil berlari memasuki kelas
***
Kelas tanpa Bruno memang sangat berbeda, rasanya benar-benar sepi. Maksudku, tidak pernah ada orang yang mau mengajakku berbicara selain Bruno. Tapi aku tidak terlalu memikirkan tentang hal kecil seperti itu, semua indraku tertuju pada Professor Ethan. Ini pertama kalinya aku memasuki kelas melukis tingkat 2. Berbeda dengan pengajar sebelumnya, Professor Ethan jauh lebih menarik, ia sangat pintar. Seperti seorang jenius. Aku dapat melihat seluruh isi kelas mengaguminya, dan yah, juga mata Isabelle dan kawanannya berbinar-binar, kau mengerti kan? golongan wanita populer yang hobby berdandan dikelas. Professor Ethan tidak terlalu tua, kuperkirakan jarak usianya berbeda 12 tahun dengan kami, tapi wajahnya masih tampan dan penuh kharisma. Tidak heran Isabelle dan kawanannya tergila-gila. Mereka menjadi lebih berisik daripada sebelumnya.
"Ya, penugasan, buatlah lukisan yang kalian suka. Aku ingin lihat gaya dan karakter kalian."
"Professor." seseorang ditengah ruang kelas mengajukan tangannya
Itu adalah Nathan, orang yang selalu merasa dirinya ketua kelas. Ia seperti tokoh-tokoh murid teladan dalam film. Baik dari cara berbicara, maupun cara berpakaian. Kau harus melihatnya secara langsung.
"Ya? Uhmmm, Nathan? Benar?" Professor Ethan bertanya sambil melihat daftar murid di mejanya
Nathan menganggukan kepalanya.
"Temanya?"
Mendengar pertanyaan Nathan, Professor Ethan mengangkat bahu dan sebelah alisnya sambil tersenyum tipis.
"Tidak ada. Suka-suka kalian saja."Penugasan kali ini berbeda dengan sebelumnya, dulu pada tingkat satu kami selalu diberi tema untuk melukis sesuatu. Sehingga kami dapat membayangkan sesuatu sesuai tema, kali ini aku rasa kami sengaja dibuat kebingungan untuk menentukan hal apa yang akan kami tumpahkan dalam kanvas.
Aku menutup mata mencoba mencari sebuah bayangan untuk ku lukis. Bayangan itu datang kembali, Ibuku, dibelakang halaman rumahku, sweater abu pucat, buah tomat, tapi ibuku tak tersenyum, entah mengapa wajahnya menjadi pucat. Aku melihat genangan air berwarna merah tepat dibawah pijakan kaki ibuku. Apakah itu... darah?!
Nafasku memburu, aku tak dapat membuka mataku. Aku mendengar suara yang semakin lama semakin jelas. Namaku, juga jentikan jari, seseorang memanggil namaku. Aku perlahan dapat membuka mataku, kulihat tangan yang menjentikan jarinya tepat didepan mataku. Professor Ethan. Perlahan aku mendongakkan kepalaku, kulihat wajah Professor Ethan yang menatapku. Ia mengangkat sebelah alisnya sambil menunjuk wajahku. Seisi kelas memandangiku.
"Bukankah kau terlalu banyak melamun nona? Tidakkah kau lihat kuas teman-temanmu sudah bergerak?"
Aku mendengar dan melihat Professor Ethan berbicara dengan jelas hanya saja pikiranku tak dapat lepas dari bayangan tadi.
"Ma maaf." jawabku pelan, aku mengambil peralatan lukisku dan mulai menyelami kanvas didepan mataku.
Professor Ethan yang melihatku berjalan menjauh dan mengitari seisi kelas dengan tenang.
Tanpa pikir panjang aku melukiskan ibuku seperti bayangan tadi, perbedaannya ada pada wajah ibuku, kubuat ibuku tersenyum lebar dan kuhilangkan genangan air merah itu. Lalu kutuliskan judulku pada pinggir kanvas dengan kuas "IBU".
Setelah lukisan kami selesai kami diperbolehkan keluar kelas, kanvas kami akan dibiarkan pada tempatnya untuk dinilai nanti.
Aku berjalan keluar kelas, menyusuri lorong pinus, tiba-tiba saja aku mendengar namaku, nama lengkapku, dipanggil melalui speaker dilangit langit lorong, mereka menyuruhku ke bagian informasi.
Cukup aneh, aku tidak pernah mendengar namaku dipanggil melalui speaker. Biasanya seseorang dipanggil kebagian informasi jika mereka memenangkan lomba dan mendapatkan penghargaan, atau seorang elite yang tiba-tiba harus pergi berlibur dengan keluarganya, tapi aku bukan keduanya. Oh, ada satu kemungkinan lagi, biasanya mereka memberikan informasi berkabung, seperti halnya anggota keluarga meninggal, atau kerabat...Langkahku terhenti
Bayangan itu kembali berkelibat dalam kepalaku
"Tidak mungkin."

KAMU SEDANG MEMBACA
The Fog
General FictionSebenarnya angan-angan itu tepat didepan mataku ketika benda merah itu mengaburkan pandanganku. Hanya aku dan bruno yang tidak pernah meninggalkanku, mencari merah hanya tuk mengulang semuanya.