Sore yang Kelam

21 2 0
                                    

"Kepada murid tingkat 2, Bugin Astarex, dimohon untuk mendatangi bagian informasi."

Aku mendengar nama Bubu dipanggil melalui speaker sekolah. Ada apa sebenarnya? Apakah ia memenangkan perlombaan? Kupikir ia tidak tertarik pada hal seperti itu. 

Kelas menjahit sangat membosankan, itulah sebabnya aku tidak lulus, semester lalu, dan harus mengulangnya lagi sekarang. Berjalan keluar kelas, aku melihat Bubu berjalan pelan ia terlihat kebingungan. Apa mungkin ia juga tidak tau alasan ia dipanggil? 

"Hei ! Kau dipang.."

Aku hendak memanggilnya dengan keras sampai kulihat ia mulai mempercepat laju jalannya dan berlari melewatiku. Hawanya berbeda. Ada apa dengan sifatnya itu? Tidak bisakkah ia biasa saja? Aku kan hanya ingin menyapa.

***

Hari ini aku tidak melihat Bubu sama sekali, sejak ia dipanggil ke bagian informasi siang tadi. Ia tidak kembali lagi. Seharusnya ia masih harus menghadiri 4 kelas lainnya bersamaku. tapi ia tidak ada. Ia tidak kembali.

"Hai Bruno."

Isabelle dan kawanannya menyapaku, membuat semua bulu kudukku merinding. Mereka memang seperti itu, menyapa seluruh lelaki golongan elite. Tapi setahuku kebanyakan orang lebih memilih segan daripada mengagumiku, hal ini deikarenakan posisi ayahku sebagai orang yang sangat berpengaruh. Kelompok Isabelle sangat mengerikan, aku tidak suka orang dengan mereka. Tidak bermaksud untuk melebih lebihkan tapi bedak yang mereka pakai terlalu tebal. 

"Jadi mirip hantu, hahaha." Aku berkata sendiri

Aku hanya mengangguk sambil melewati mereka. Rasanya benar-benar seperti ujian.

Lagipula kemana perginya Bubu, aku jadi kebingungan bila sendiri begini. Lebih baik aku pergi mencari tempat untuk istirahat sambil menunggu ia kembali.

Aku memutuskan untuk menulis sebuah pesan 

"Hei Bubu, kau kemana? Kau melewatkan kelas ibu odil yang sangat menarik hari ini."

Aku bersandar pada pohon besar yang berada dipinggir halaman tengah sekolah. Aku tidak tahu nama pohon ini. Tapi sangat besar, besar yang tidak biasa, akarnya bisa kau jadikan meja piknik yang sangat natural. Angin yang segar menyapaku setiap lima detik sekali. Rindang pohon menutupi sinar matahari dari pandanganku. 

Ahh, benar-benar hari yang indah.

Tak lama kunikmati hembusan angin segar, nada cellphoneku berdering, kulihat nama yang terpampang pada layar, Ayahku. 

"Ada apa?" aku berusaha membuat nadaku sesingkat mungkin

"..." kudengar ayahku berbicara, ahh, ingin cepat cepat kututup rasanya

"Yayaya, aku akan turuti omong kosongmu." Jawaban terakhirku, aku menghela nafas lalu segera menutupnya. Aku tak kuat dengan semua ocehan Pak tua itu, ah maaf, maksudku, ayahku.

***

Sudah seminggu sejak terakhir kali kulihat Bubu berlari dilorong pinus. Ia benar-benar tidak kembali, sebenarnya apa yang terjadi? Aku bertanya pada kepala dan staff asrama wanita mereka tidak tahu apapun. Aku bertanya ke bagian informasipun mereka pura-pura tak dengar. 

Tidak mungkin ia keluar sekolah kan? Namanya masih ada dalam absen kelas.

Ia tidak membalas semua pesanku, maupun menjawab panggilanku. Sebenarnya ia kemana? Aku berkeliaran tanpa teman selama seminggu ini. Menghadapi kelompok Isabelle yang merayu rayu, rasanya jijik. Ah, sebenarnya ada satu orang yang menempel terus padaku sejak Bubu tidak ada. 

Namanya Aaron, ia murid baru, seorang maniak sejarah. Kacamata besar, rambut sebahu, wajah tirus, dan giginya tidak rapih. Aku tak sengaja mengajaknya mengobrol dikelas Ibu Odil, singkatnya kami dikeluarkan dari kelas dan sejak saat itu ia terus mengikutiku. Aku tidak merasa terganggu, karena biarpun ia maniak, ia cukup asik diajak bicara.

Aku ingin cepat-cepat memperkenalkannya pada Bubu, setidaknya kami bisa menambah satu teman semester ini.

"Hei Bruno, maaf lama." Aaron menepuk bahuku.

Aku memang sedang menunggunya menyelesaikan kelas terakhir, kelas memahat, asal kalian tau saja, ia sangat lamban dalam memahat. Itu sebabnya aku menunggu lama.

"Oh hai, akhirnya patungmu selesai? Payah, lama sekali. Kau lihatkan aku keluar di satu jam pertama?" Nadaku sombong

"Hahaha, ya, benar. Tapi pahatanmu payah dan terlihat seperti kurang niat." Aaron tertawa terbahak bahak didepanku. Aku agak kesal. Tapi ia ada benarnya, semakin lama semakin terasa lucu, aku jadi ikut tertawa.

Langit sore ini sangat indah, aku ingin Bubu melihatnya juga. Kuambil cellphoneku untuk mengambil foto, 

"Oh, ada pesan? Dari siapa ini?" Mataku membelalak, Bugin, pesan dari Bugin. Lama sekali ia tidak mengabariku.

"Siapa itu? Pacar?" Tanya Aaron

"Ini BUBU!!" Jawabku semangat

"Wow, tenang. Pacarmu namanya aneh sekali." Aaron mengangkat kedua tangannya sedikit terkejut karena suara teriakanku.

Aku jadi terlalu senang untuk membuka pesan itu.

"Bukan pacar." Jawabku sedikit menggelengkan kepala sambil tidak dapat mengalihkan pandanganku dari layar, belum dapat kubuka pesannya.

"Teman." Tambahku

Wajah Aaron menatapku bingung

"Bukan." Tambahku lagi

"Sahabat. Ia sahabat baikku." Jawabku yakin

"Kalau begitu apa yang kau tunggu? Cepat baca pesannya." Aaron menunjuk nunjuk layar cellphoneku

Akhirnya aku memutuskan untuk membuka pesan itu. Sebelum kubaca pesan itu, aku telah merencanakan untuk berpura-pura marah karena ia tidak membalas pesanku yang lain. 


"Hei Bruno, maaf lama tidak membalas pesanmu. Ibuku meninggal."


Saat itu juga langit sore dimataku tak lagi sama.

Kelam dan Gelap.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The FogTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang