Jam berdering di antara angka tujuh dan delapan, tepat disamping telingaku. Seketika rasa malas tuk memulai kelas di hari senin membayangiku, ku jentikan jariku pada layar kaca jam hingga jam itu terjatuh dari ranjangku dan berhenti berdering. Kebiasaan buruk yang tak pernah kutinggalkan.
Akhir-akhir ini aku menyukai roti coklat dingin dari bibi pemilik asrama. Entah mengapa setiap selesai makan pagi, roti itu selalu tak tersentuh dan aku senantiasa melahapnya hingga habis, namun hari ini berbeda, setelah berseragam, ku berjalan kearah ruang makan sambil menantikan roti dingin itu. Kudapati rasa sakit hati karena roti itu habis tak bersisa.
"Bubu, kau sudah tidak ada kesempatan untuk mencicipi roti itu lagi!", Bruno mengejutkanku dari belakang
"Maksudmu?"
"Jangan pura pura bodoh Bubu, kau seharusnya mengerti maksudku. " ucapnya tersenyum
"Ah, habis aku, mereka mengambil hal yang kusukai lagi. "
"Nah, masih ada bubur hijau untuk sekarang dan berikutnya"
"Cukup Bruno, aku sudah tak niat makan. Ayo kita berangkat."
Aku berjalan kearah tempat penjaga asrama dan memberikan kunci kamarku, tak lama, kuhampiri Bruno dan kita beranjak tuk sekolah.
***
Sulit kuakui, tapi aku benci Ibu Odil. Bukan karena suaranya yang cempreng dan decakan lidahnya yang terjadi sekitar lima kali dalam semenit, tapi karena ia selalu memakai sesuatu berlebihan.
Bila kau ada disini, kau dapat melihat lima buah kalung menjuntai dari lehernya, tiga buah cincin di jari manisnya, dan aku selalu bertanya tanya "Apa dia menghabiskan satu botol parfum dalam sekali pakai?" maksudku, kau dapat mencium parfumnya dalam radius empat meter. Aku tidak mengada ngada.Ibu Odil mengajar anatomi di sekolah seni yang kutempati, tapi gambarnya tidak seharusnya ada di bagian anatomi. Dia selalu pintar bicara, dilainmata semua dapat melihat bahwa orang yang ia gambar seperti memiliki penyakit panjang tangan atau polio pada kakinya.
"Bugin! Mengapa berani melamun di pelajaranku?! " suara Ibu Odil yang cempreng mengadah telingaku.
"Aku tidak melamun, kau lihat? Aku menulis bagian yang kau sebutkan tadi." ucapku sambil memperlihatkan catatan dan agak menutup hidung, aku sungguh tak kuat pada parfumnya.
Ibu Odil menatapku sinis dan memalingkan mukanya, ia pasti malu, aku dapat melihatnya. Angin dari sisi jendela kelas berhilir membuat rambutnya tersibak, di tengkuk lehernya terdapat perban yang cukup besar dan corak merah yang sedikit tak tertutup.
.
.
.
Tunggu, itu. . .

KAMU SEDANG MEMBACA
The Fog
Genel KurguSebenarnya angan-angan itu tepat didepan mataku ketika benda merah itu mengaburkan pandanganku. Hanya aku dan bruno yang tidak pernah meninggalkanku, mencari merah hanya tuk mengulang semuanya.