[E n a m]

182 14 0
                                    


Kedua kakiku melangkah memasuki sebuah kafe. Kafe yang dipesan oleh teman-teman kelasku untuk acara buka bersama. Aku tak mengerti mengapa teman-temanku memilih kafe ini untuk acara bukber kami. Bukan karena masalah tempatnya yang tidak terlalu besar. Tapi kafe ini—lagi-lagi—membangkitkan kenanganku dengan Erlang.

"Kita makan di sini, Lang?" tanyaku saat Erlang mengajakku mampir ke sebuah kafe minimalis untuk sekadar beristirahat.

"Iyap. Tapi kafe ini bukan sembarang kafe," jawab Erlang seraya menuntunku untuk duduk di tempat duduk yang bisa membuat kami menikmati pemandangan di luar—dekat jendela.

Aku mengikuti Erlang untuk duduk. "Maksudnya gimana?"

"Coba kamu lihat pajangan di kafe ini, deh." Erlang menunjuk dinding kafe ini.

Sedetik kemudian mataku mengikuti arah tangan Erlang yang menunjukkan beberapa foto dan mural yang ada di dinding kafe ini. "Bagus yah, foto-foto sama muralnya."

"Iya dong, aku gitu lho." Erlang tertawa di akhir kalimatnya.

"Kok kamu? Aku kan muji foto-foto sama muralnya, bukan muji kamu," ucapku heran.

"Tapi secara gak langsung kamu muji aku, Ren."

Aku mengerutkan dahiku mendengar ucapan. Bagian mana dari ucapanku yang memuji dia? Erlang tertawa. Membuat kedua sudut matanya tertarik mengakibatkan matanya sekilas terlihat terpejam.

"Foto-foto yang kamu lihat di sini, hasil karya aku, Ren." Erlang berkata setelah tawanya reda. "Kafe ini punya temenku dan dia memang minta aku buat mengisi dinding-dinding kafe ini dengan foto hasil karya aku."

Aku terpana menatapnya. Fotografi dan Erlang memang suatu perpaduan yang indah.

"Nah, itulah alasannya aku ajak kamu ke sini. Selain aku mau pamer, aku juga mau traktir kamu. Soalnya aku dapet gratis makan dan minum di sini selama 7 kali," jelasnya padaku.

"Pantes aja kamu ajak aku ke sini, ternyata gratisan," ledekku sambil tertawa.

Erlang terkekeh mendengar ledekanku. "Maaf deh aku menghancurkan ekspetasi kamu. Aku dapet gratisan di sini karena ini bayaran aku atas foto-foto itu." Erlang memajukan wajahnya sedikit ke arahku seraya berbisik. "Sekalian kencan pertama kita."

"Rena!"

Aku tersadar dari lamunanku tentang Erlang saat ada suara sesorang yang memanggilku dan menepuk pundakku.

"Ngapain lo di sini, bukannya masuk?" tanya Sarah heran. "Nungguin gue, ya?"

"Dih, males banget gue nungguin lo. Gue cuma mastiin ini bener tempatnya atau bukan. Soalnya tulisannya tutup." Aku menunjuk pintu kaca kafe ini yang menggantung sebuah tulisan tutup.

"Lah kan emang kafe ini sengaja di-booking buat acara kelas kita. Jadi, tutup buat umum," jelas Sarah seraya melangkah masuk dengan aku yang berjalan di sampingnya."

"Kok lebay banget segala di­-booking satu kafe gini?"

Sarah tertawa mendengar pertanyaanku. "Duh, lo kudet banget sih. Kafe ini kan punya Bayu, jadi suka-suka dia dong."

Tunggu. Kafe ini punya Bayu—teman sekelasku? Dan Erlang pernah bilang bahwa kafe ini milik temannya. Jadi, Erlang itu teman Bayu dan Bayu juga temanku? Sepertinya aku bisa tanya Bayu tentang kabar Erlang. Semoga saja dia tau.

Ya, semoga.

AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang