[D u a]

281 19 0
                                    


"Nih, Ren." Sarah meletakkan sebuah gulungan poster di atas tugas yang sedang kukerjakan saat ini.

"Apaan, sih?" kataku berusaha menyingkirkan gulungan poster yang menutupi tugasku.

"Ih, buka dulu, Ren. Lihat isinya," ujar Sarah seraya meletakkan kembali gulungan poster itu di hadapanku.

Aku pun mengalah dan membuka gulungan posternya. Mataku membaca baik-baik puluhan kata yang tertera pada poster tersebut. Sudut bibirku tertarik keatas. Mataku pun memancarkan binar bahagia.

"Lomba fotografi?" tanyaku antusias.

"Yap. Gak mau tau, pokoknya lo harus ikut," kata Sarah seraya memamerkan senyum manisnya.

"Pasti, Sar. Gue pasti ikut. Ahhhh.. makasih banget lo udah ngasih info ini ke gue." Aku memeluk Sarah dengan erat. Betapa beruntungnya aku memiliki sahabat yang mendukungku.

Aku sangat mencintai apapun yang berhubungan dengan fotografi. Walaupun aku berkuliah di jurusan psikologi, tapi aku tidak pernah berhenti untuk mencintai fotografi. Aku juga sangat bahagia, orangtuaku, Sarah, juga Erlang mendukungku di dunia fotografi. Bahkan Erlang juga sama sepertiku—mencintai fotografi.

"Tapi, Ren. Itu lombanya diselenggarain sama universitas di luar negeri."

"Eh? Masa sih?" tanyaku heran.

Aku membaca ulang poster di tanganku. Ternyata benar, lomba itu diselenggarakan oleh salah satu uinversitas di Eropa. Tetapi aku heran, mengapa nama universitasnya tidak dicantumkan? Ah mungkin mereka lupa. Hadiahnya juga sangat menggiurkan. Selain mendapatkan piagam serta uang tunai, finalis yang masuk ke babak 3 besar berhak mendapatkan beasiswa di universitas tersebut. Gila, beasiswa, man! Siapa yang nolak coba?

"Tapi, Sar, reward buat yang menang menggiurkan banget. Beasiswa, Sar. Gue harus masuk babak 3 besar pokoknya. Harus!" kataku bersemangat.

"Gue pasti dukung lo, Ren. Ini juga salah satu cara gue cari kesibukan buat lo. Supaya lo gak mikirin Erlang terus. Biar pikiran lo gak selalu berpusat sama Erlang," tukas Sarah memandang manik mataku.

Aku tersenyum pada Sarah. Mungkin orang lain mengira Sarah jahat, karena sudah berusaha untuk membuatku melupakan Erlang. Tetapi, mereka salah. Sarah hanya berusaha agar aku tak selalu bersedih karena Erlang.

***

Aku membanting ponselku ke atas kasurku. Erlang benar-benar kelewatan, tidak ada satu pun pesanku yang dibalas olehnya. Aku menyesal tidak meminta kontak teman kuliahnya. Jika waktu itu aku meminta kontak temannya, aku tidak akan pusing sendiri seperti ini.


Renata Zahra. H

Erlang, kamu kemana sih?

Gak kangen sama aku? :(


Aku masih berusaha menghubungi Erlang. Sekesal apapun aku pada Erlang, perasaanku tetap tak bisa berhenti untuknya. Hari ini adalah hari anniversary hubungan kami yang ke dua tahun. Ya, dua tahun. Bukan waktu yang sebentar aku menjalin hubungannya. Tetapi, biasanya Erlang tak pernah seperti ini. Dia selalu rutin menghubungiku tiap malam—walau di Prancis pagi hari, sesekali kami video call untuk saling melepaskan rindu lewat tatapan mata. Erlang laki-laki yang sangat menyayangi dan mendukungku. Aku amat sangat menyayaginya. Karena itu lah, aku tak bisa dengan mudahnya memutuskan hubungan kami.

"Lang, kamu kemana sih? Kenapa kamu gak bales chat aku? Aku kangen sama kamu, Lang. Kangen banget. Kamu inget gak, dua tahun lalu kita resmi jadi sepasang kekasih. Tepat di tanggal ini. Aku pengin ngerayain anniv kita bareng-bareng, Lang. Tapi... kamu malah hilang. Lang, aku mohon sama kamu. Hubungin aku lagi, aku kangen sama kamu. Happy anniv, Lang."

Aku mengirimkan voice note pada Erlang. Sungguh aku amat rindu padanya. Aku membenamkan wajahku pada bantal. Lalu menangis di sana.

AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang