Sore ini, aku mulai mengunjungi tempat-tempat indah di sekitar kota. Aku mulai mencari gambar bagus untuk kuikutsertakan dalam lomba fotografi itu. Aku mengelilingi kota sendirian. Menaiki bus dibanding mengendarai mobil sendiri menjadi pilihanku saat ini.
Entah mengapa aku mengikuti perkataan Sarah waktu itu. Mencari kesibukan untuk berhenti sejenak memikirkan Erlang yang hilang bagai ditelan bumi. Aku sudah pasrah dengan hubungan kami. Jika Erlang memang tak pernah kembali lagi padaku, aku akan ikhlas menerimanya.
Aku duduk di sebuah bangku taman di kota ini. Mataku menatap sekeliling, mencari objek yang sekiranya bagus untuk kuabadikan dalam kameraku. Tapi, tatapanku malah tertuju pada satu titik. Tak jauh dariku, ada sepasang remaja yang sedang bersama. Sang perempuan tampak menemani kekasihnya yang sedang membidik kameranya.
"Kita lomba yuk, Ren," ajak Erlang menantangku.
"Lomba apa?" tanyaku sambil melihat hasil gambar yang telah kuambil tadi.
"Kamu liat burung-burung itu?" Erlang balik bertanya padaku sambil menunjuk sekumpulan burung di ujung taman ini.
Aku menganggukan kepalaku.
"Nanti kita kesana. Siapa yang berhasil dapet gambar burung-burung itu, dia yang menang. Nah yang kalah harus siap nerima hukuman dari menang. Gimana?"
Ya, saat ini aku dan Erlang memang sedang berkeliling kota untuk melakukan hobi kami—fotografi. Kami sering melakukan hal seperti ini, berkencan sambil menikmati hobi kami.
"Oke, siapa takut. Kamu pasti kalah." Aku menerima tantangannya dan mulai melangkah menuju sekumpulan burung itu.
Aku menghela napas pelan. Mencoba mengusir kenangan yang terjadi sebelum Erlang menghilang seperti ini. Dadaku terasa terhimpit oleh beban berat. Mataku mulai dipenuhi telaga air mata yang siap tumpah kapan saja. Aku kembali fokus mengarahkan kameraku menghadap langit biru di atas. Membidiknya setelah kurasa pas untuk masuk dalam kameraku. Setelah mendapatkannya, aku kembali melangkah mencari objek foto yang lain.
***
Hari mulai menggelap saat aku bergegas kembali ke rumah. Aku bersandar pada dinding kaca halte bus. Tanganku bergerak melihat-lihat foto yang berhasil aku dapatkan. Kedua sudut bibirku tertarik menyunggingkan senyuman, merasa puas dengan apa yang aku dapatkan hari ini. Semoga apa yang aku dapatkan hari ini bisa membuatku mendapatkan beasiswa itu.
Aku merapikan kembali kameraku dan memasukkannya ke dalam ransel ketika melihat bus yang akan aku tumpangi tak jauh lagi. Keadaan bus cukup lengang hari ini, selain karena weekend ini sudah lewat jam pulang kantor. Aku duduk di kursi kosong yang berada di area khusus perempuan.
"Ren?" panggil Erlang dengan suara yang terdengar agak gelisah.
"Hmm."
"Ini serius aku gapapa di sini? Ini khusus perempuan lho. Aku di belakang aja deh, kamu aja yang di sini." Erlang berkata sembari bersiap untuk pindah ke belakang.
"Tapi aku kan gatau turunnya di mana. Nanti kalau aku kelewatan gimana?" Maklum saja, ini kali pertama aku naik busway.
Belum sempat Erlang menjawab, petugas busway menghampiri kami dan meminta Erlang untuk pindah ke belakang.
"Nanti aku telpon kamu kalau udah mau turun. Peganging handphone kamu." Erlang mengusap kepalaku sekilas lalu pindah ke bagian belakang bus.
Aku mengangguk mendengar perkataannya. Saat aku melepaskan pandangan mataku dari Erlang, baru lah aku sadar jika kami sudah menjadi pusat perhatian di dalam bus ini. Seorang ibu muda yang tengah mengandung pun tersenyum geli menatapku. Aku hanya tersenyum menutupi perasaan maluku.
Kenapa usahaku untuk tak memikirkan Erlang tak berhasil juga? Kenapa setiap yang aku lakukan hari ini malah mengingatkanku tentang kenangan bersama Erlang? Apa nama Erlang bersemayam cukup kuat di hatiku, hingga tak sedikit pun aku bisa berhenti memikirkannya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Again
Короткий рассказJarak. Apakah hanya karena jarak kita menjauh? Mungkin jarak hanya sesuatu tak kasat mata. Tapi, jangan meremehkan hadirnya jarak. Karena jarak bisa membuatmu kehilangan segalanya. April 2017