2| Rafa Alfarisi

171 12 0
                                    

Percayalah, saat kau jatuh akan senantiasa ada tangan yang terulur untuk membantumu berdiri. Jika tidak, maka yakinlah bahwa Allah selalu ada untuk menopang mu agar tak jatuh kembali.

~Musyrifatul Laili~

_________________________

Lorong rumah sakit lengang. Hanya menyisahkan satu-dua orang lalu lalang. Terlihat di kursi tunggu, seorang pria duduk sambil memejamkan mata. Apakah ia tertidur? Tidak. Ia hanya lelah.

Pria itu begitu santai. Seolah tak peduli dengan apa yang baru saja terjadi atau lebih tepatnya, ia tak peduli bahwa tadi ia sedang berkelahi dengan dua orang pria untuk menyelamatkan seorang gadis. Entah apa yang merasukinya, ia yang selama ini terkenal cuek dengan yang namanya perempuan malah bertaruh nyawanya hanya demi seorang gadis yang bahkan tak ia kenali.

Pria itu masih tetap pada posisi awal, memejamkan mata. Ia tak menyadari bahwa ada dua orang mendekatinya. Pria itu baru membuka matanya saat merasakan usapan lembut pada lengannya.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Raf?" Wanita paruh baya yang tak lain adalah ibu dari pria itu bertanya. Wajahnya terlihat cemas diantara garis-garis keriput yang mulai menghiasi wajah cantiknya. Disebelahnya berdiri seorang pria paruh baya yang masih tampak berwibawa. Wajahnya tak kalah cemas dengan istrinya, ia adalah ayah dari pria itu.

Akhirnya Rafa menceritakan peristiwa itu. Ia yang kebetulan lewat melihat di depannya seorang perempuan tengah diseret paksa oleh dua orang jahat. Ia berusaha menolongnya. Tapi ia juga tak menyadari bahwa perempuan yang ia tolong akhirnya ditusuk orang dari belakang. Rafa terkejut. Ia berusaha membopong perempuan itu ke mobilnya dan membawanya ke rumah sakit.

Wanita paruh baya itu membekap mulutnya, terkejut. "Sekarang bagaimana keadaan perempuan itu, Raf?"

Rafa menoleh ke arah pintu UGD. Gadis itu masih ditangani. Yang jelas saat Rafa membawanya ke rumah sakit, keadaannya begitu memprihatinkan. Keadaan Rafa pun bisa dibilang cukup memprihatinkan, wajahnya lebam dan sudut bibirnya sobek.

-o-

Ruangan itu lengang. Sekarang gadis itu sudah dipindahkan ke kamar inap. Ia masih belum sadarkan diri. Tidak ada siapapun diruangan itu, kecuali gadis yang kini terbaring lemah di ranjang pesakitan. Rafa dan kedua orangtuanya memutuskan pulang saat gadis itu selesai dipindahkan, dan baru akan kembali besok.

Dan benar, Rafa dan orangtuanya datang kembali. Terlihat ibu Rafa membawa buah-buahan. Ketiga orang itu berjalan memasuki kamar gadis itu. Ibu Rafa berjalan, meletakkan buah diatas nakas. Wanita itu tersenyum lembut. Tangannya mengelus lembut kepala gadis itu.

"Sebenarnya siapa gadis ini? Apakah keluarganya tidak menjenguknya?"

Rafa terdiam. Itu benar, sejak kemarin malam tak ada keluarga gadis itu yang menengoknya. Rafa memperhatikan wajah pucat gadis itu. Tunggu. Rafa semakin menajamkan tatapannya. Dilihatnya, gadis itu mulai membuka matanya, perlahan, menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya.

Gadis itu menatap sekitar. Dilihatnya seorang wanita paruh baya tersenyum lembut ke arahnya. Dan dua orang pria juga berdiri mengelilingi ranjangnya.

"Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Nak." Ibu Rafa berseru senang.

Sekarang gadis itu benar-benar sadar. Ia tak mengingat apa yang sudah terjadi. Dan ia tak mengenal siapapun diantara ketiga orang itu.

"A-aku di mana?" tanya gadis itu pelan.

"Kamu dirumah sakit, Nak. Istirahatlah, jangan dulu banyak bergerak." Gadis itu menggeleng, ia harus pergi. Ia meringis saat merasakan sakit pada bagian punggung dan perutnya. "Jangan bangun, lukamu masih belum kering."

Sekarang gadis itu baru ingat. Bukankah ia sedang dikejar dua pria jahat, kenapa sekarang ia berada di rumah sakit?  Gadis itu menoleh ke arah Rafa. Ia mengingat wajah itu. Bukankah dia yang telah menyelamatkan ku? Gadis itu menoleh saat merasakan kepalanya dielus oleh Ibu Rafa.

"Siapa namamu, Nak?" tanya Ibu Rafa dengan suaranya yang khas, keibuan. Gadis itu tersenyum canggung. Ia tak biasa dimanja dan disayang seperti ini sebelumnya. "Saya Ayna, Ayna Zahya." Ibu Rafa mengangguk.

"Bagaimana keadaanmu, Nak Ayna?" Sekarang gantian Ayah Rafa yang menyapanya, ramah. Ayna menjelaskan bahwa sekarang ia sudah merasa lebih baik. Ia kembali menoleh pada Rafa yang sedari tadi seakan tak peduli.

"Pa, kita harus pergi sekarang." Sekilas Rafa sempat melirik kearah Ayna sebelum akhirnya menatap ayahnya.

Akhirnya diruangan itu tersisa dua orang. Ibu Rafa memilih tetap tinggal untuk menemani Ayna.

"Apakah kau lapar, Nak?" Ayna tersenyum canggung. Ia memang lapar tapi ia malu untuk mengangguk. "Aku tahu kau lapar. Tunggu sebentar." Ibu Rafa berdiri. Mengambil bubur diatas nakas-yang disediakan rumah sakit-dan kembali duduk di kursi samping ranjang Ayna.

"Ayo, biar Ibu suapi." Eh, Ayna menggeleng. Ia bisa makan sendiri. Tetapi Ibu Rafa tetap memaksa untuk menyuapi Ayna. Ayna memandang lekat wajah Ibu Rafa. Ia tak terbiasa diperlukan seperti ini. Disuapi oleh seorang ibu. Entahlah kapan terakhir ia disuapi oleh ibunya sendiri. Mata Ayna berkaca-kaca, ia terharu.

"Eh, kenapa kau menangis?" tanya Ibu Rafa panik. Ayna menggeleng. Ia tidak apa-apa.

Ayna baru ingat. Ia bertanya siapa yang membawanya kemari. Ibu Rafa bilang bahwa yang membawanya adalah putranya. Ayna berterima kasih. Entah apa yang akan terjadi jika seandainya tak ada Rafa.

"Ayna tinggal di mana?" Ayna tertegun. Ia tak punya tempat tinggal. Bahkan ia tak punya apapun. Barangnya tertinggal didalam mobil orang jahat itu. Bahkan ia tak punya uang sepeser pun, bagaimana ia akan membayar tagihan rumah sakit?

Sepertinya Ibu Rafa mengerti. Ia menggenggam tangan Ayna lembut. "Kau tidak perlu khawatir, Nak." Ayna tersenyum. "Apakah kau punya saudara di sini?" Ayna menggeleng.

Ibu Rafa terdiam sebentar kemudian tersenyum. "Kalau begitu kau bisa tinggal bersamaku. Kau mau kan?" Ayna terkejut. Ia tidak bisa tinggal bersamanya. Ia tidak mau merepotkan orang lain.

"Tak usah sungkan, Sayang. Sudah lama Ibu ingin mempunyai anak perempuan. Kau mau ya tinggal bersamaku?!"

Ayna bingung. Keluarga Rafa sudah banyak membantunya. Bahkan ia berutang nyawa pada Rafa. Akhirnya setelah lama berpikir Ayna mengangguk. Dan Ibu Rafa bersorak senang karena itu.

TBC

Ig: fatmainh.w

Bondowoso, Jawa Timur.
010818

Musyrifatul LailiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang