Koch 6 - Story About Passion

13.5K 1.5K 124
                                    

PLAGIAT DILARANG MENDEKAT!
Cerita ini dilindungi undang-undang. Tidak diizinkan mengcopy, menyadur, dan menulis-ulang cerita saya di manapun. Bila melakukan hal tersebut, saya berhak melaporkan pelaku pada pihak berwajib.

 Bila melakukan hal tersebut, saya berhak melaporkan pelaku pada pihak berwajib

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

6. Story About Passion

Happy reading. Jangan lupa ⭐️ dan love 💙💙💙-nya yawww~~~


Pukul empat sore, semua tim sudah menyelesaikan tugas masing-masing. Mereka mendapatkan waktu untuk menikmati pemandangan yang sayang untuk dilewatkan. Setelah sebelumnya diminta break untuk makan siang, salat zuhur dan ashar berjemaah di musala desa. Terasering di sepanjang mata memandang, kebun-kebun dan pepohonan menambah kesejukan, dengan lansekap pegunungan, gumpalan awan putih berlatar langit biru yang melengkapi keindahan. Untuk sejenak, Gita terpekur menatap pemandangan di hadapannya.

Masya Allah. Betapa kecilnya hamba-Mu ini, Yaa Rabbi.

Gita sangat menyukai waktu-waktu di mana ia diberikan kesempatan untuk mendatangi tempat-tempat seperti ini. Maka tidak heran, dulu ketika masih berkuliah di Yogyakarta, ia dan para sahabatnya seringkali menghabiskan waktu mengunjungi tempat wisata di daerah pegunungan ataupun pantai. Hutan Pinus Mangunan, Hutan Pinus Pengger, HeHa Sky View, Puncak Becici, Bukit Kosakora, dan masih banyak lagi. Apalagi untuk pantai, terlalu sering datang, sampai Gita tidak bisa menuliskan daftar pantai apa saja yang pernah didatanginya.

Tujuan utamanya mengunjungi tempat wisata bukan hanya sekadar bersenang-senang. Melainkan bermuhasabah diri agar tak menjadi pribadi yang lupa akan kebesaran sang Pencipta. Bahwa untuk ukuran seorang hamba, tidak pantas rasanya berdiri angkuh di atas bentala-Nya yang fana.

"It makes me feel so small. Tidak pantas rasanya bersikap sombong di hadapan Pencipta Alam Raya. Rabbi, mohon selalu ingatkan kami, agar tak menjadi hamba-Mu yang melupa di butala ini." Gita tersenyum saat beberapa orang tua menyapanya ramah. Netra cokelat kehitaman itu tak lepas menatap mereka hingga kembali mengalihkannya pada deretan bukit-bukit di depan sana.

Lebih dari tiga puluh menit ia berdiri di tempatnya. Selanjutnya, Gita memilih untuk kembali ke tempat memasak tadi. Gadis itu berpisah dari yang lain, membersihkan peralatan yang mereka pakai sebelumnya. Tidak baik membiarkan ibu-ibu desa untuk membersihkannya. Gita selalu ingat pesan kakak dan neneknya untuk melakukan sesuatu sampai selesai.

Kalau ngelakuin sesuatu itu jangan setengah-setengah. Nanti kamu dapat suami yang tingginya cuma setengah, kamu mau?

Ucapan neneknya dulu mungkin hanya diiringi candaan untuk Gita dan Ayana. Namun, keduanya mengingat betul hingga saat ini. Maka dari itu, walaupun setengah tidak percaya, baik Gita maupun Ayana selalu merasa memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas mereka.

Gita merasakan ponselnya bergetar. Jika tadi siang Ayana yang menghubunginya, maka saat ini, salah satu sahabatnya di Yogyakarta yang menghubungi melalui video call.

Dear Koch ✔️ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang