Leonia: Permen dan Gitar

301 31 12
                                    

Pernah nggak, sih, terjebak dalam suatu situasi yang sebenarnya biasa aja... tapi kemudian terjadi berulang-ulang... masih menganggap hal itu 'biasa'?

Duh, gimana, ya, mengungkapkannya?

Oke, begini.

Fakultasku, Sastra, belum lama pisah dengan Fakultas Seni dan Desain. Cuma gedung kami masih menyatu. Jadinya wajar jika masih ada mahasiswa musik dan desain berkeliaran di sini. Aku bisa ngerti mereka khalayak prodi musik gara-gara instrumen yang suka ikut serta dengan mereka. Kadang gitar, terompet, biola, tapi drum nggak pernah. Kalau anak desain... ini berdasar intuisi ngawurku saja, sih. Mereka biasanya gondrong dan berpenampilan agak nyentrik, walau nggak semua.

Posisiku favoritku, duduk di bangku luar kelas menunggu jam agak siangku datang. Beberapa meter ke depan dan sedikit serong ke kanan adalah pintu utama gedung fakultas. Maka dari dudukan sini, mataku bisa dengan liar mengamati siapa saja yang masuk dan keluar. Mahasiswi-mahasiswi cantik. Mahasiswa ganteng pun. Dosen mberengut. Mas-mas penjaga kebersihan. Variasi.

Bukan cuma visual yang jadi objek menarik buatku, tapi juga apa yang mereka lakukan. Entah cara berjalan, gestur, dan selera berpenampilan, kadang-kadang sejenak bikin aku menjadi manusia sok tahu yang suka menebak kepribadian. Tapi tanpa koar-koar.

Entahlah, mengamati orang itu asik, ya, nggak?

Cuman... beberapa waktu terakhir ini, semacam ada takdir yang menyisip di kegiatanku. Ugh, kegiatan. Oke, aku pun sebenarnya nggak jarang melihat orang itu-itu saja yang berlalu-lalang dari sini. Tapi, khusus kali ini—atau orang ini, dia selalu hadir di pintu sesaat setelah aku duduk di spot langganan. Aku mungkin nggak akan segalau ini—huh, aku ngaku?—kalau saja dia hanya muncul sesekali. Setiap Selasa dan Kamis, selama dua minggu terakhir, dia selalu bikin jantungku seperti genderang mau perang karena kemunculannya yang sangat... sangat bersamaan denganku.

Dia, yang belum aku ketahui namanya, selalu membawa tas gitar di punggung. Sejauh ini nggak ada outer lain yang dia pakai selain hoodie. Oh, pernah, sekali, kemeja panjang yang bikin aku bingung apakah dia sama fungsinya kayak jaket? Dan setiap dia masuk, entah di sebelah kanan atau kiri, pasti ada permen tergenggam di tangan yang kelihatan indah itu.

Suatu kali aku sengaja mengamatinya lekat menyobek bungkus permen—yang syukurlah dia gagal ketahui ada pengintai di sini—dan menemukan fakta bahwa permen itu adalah permen Mintz hijau, kadang Kopiko, dan merek lain yang nggak aku tahu. Lalu permen yang ada pegangannya, mungkin Milkita? Pernah juga!

Dan tau apa yang bikin mataku mendadak jadi logam yang sedang ditarik magnet kuat-kuat? Dia selalu memasukan bungkus permen itu ke saku celananya. Padahal tempat sampah... mana tempat sampah!? Oh, ada di sebelah pintu masuk. Satu lagi di pojokan sana yang agak jauh. Tapi dia tak acuh (barangkali malas berbalik? Enggan ke pojokan?) dan memilih langsung masuk ke... kelasnya yang berhadapan lurus dengan pintu utama?

Kesimpulan yang bisa aku tarik, dia benar-benar anak prodi musik, ganteng, dan... tidak suka buang sampah sembarangan?

Awalnya aku sempat ragu dengan konklusiku yang terakhir itu. Namun, berkat pernaaah satu kali ketika kelasku berakhir lebih awal—kemudian belum terjadi lagi, dia kupergoki sedang membuang sampah dari saku celananya ke tong sampah luar. Hatiku mau lebur rasa-rasa.

Tuhan, dia jodohku, ya?

Leonia! Buang ide bodoh kamu dan terimalah fakta bahwa cowok itu memang bertanggung jawab—paling tidak—atas sampahnya sendiri.

Meski isi pikiran internalku sangat memalukan, aku nggak akan, nggak akan mungkin, membagi kisah ini ke orang lain dan membiarkan mereka tau. Biar ini jadi rahasiaku bersama Tuhan. Sudah kebiasaan.

Sejak saat itu, kunyatakan perasaanku dikuasai egois. Sebelumnya, nggak terhitung berapa banyak laki-laki lewat yang masuk daftar tipeku. Aku sejujurnya juga pernah naksir beberapa di antara mereka, dalam diam. Namun hanya sesaat. Sekarang seluruh perasaan itu pergi cuma gara-gara satu orang yang membalas sekali pun tatapanku enggak pernah.

Dan setelah aku mengaku pada diriku sendiri, juga pada Tuhan, bahwa aku sepertinya betulan naksir pada satu ciptaannya, skenario pertemuan itu nggak lagi terjadi. Aku berusaha menunggu di waktu yang sama, tempat yang sama, entah hanya bermain hp atau pura-pura membaca buku, tapi hasilnya? Mungkin dia sadar tengah diperhatikan dari jauh lalu datang lebih pagi atau bisa saja kelasnya sudah pindah?

Aku kemudian belajar untuk jangan termakan harapan. Di jadwal berikutnya aku sungguhan mau fokus duduk di tempat yang sama, di waktu yang agak lebih pagi (serius kamu nggak berharap, Leo?), dan membaca sesuatu yang lebih berfaedah dari layar—web grammarly. Bagaimanapun, aku nggak bisa munafik kalau secerca harap untuk dia datang itu tetap ada meski sekuat hati aku tahan.

Kedua mata ini aku kontrol benar-benar supaya jangan berpaling dari layar. Setengah halaman rasanya pedih membaca rumus grammar, mataku mulai memberi tanda-tanda berontak. Ia mendeteksi sebuah kedatangan seseorang yang entah kenapa, lagi, membuat jantungku siap perang.  Dia makin dekat, dekat, dekat dan ...

"Permisi, ya, Mbak."

Aku langsung menoleh dan meringis kuda, "Iya, Mas."

Mas-mas penjaga kebersihan, menaruh tong sampah kecil dekat dudukanku.

Kembali aku melihat layar. Nggak bohong, kecewa berat rasanya. Kemudian hape ini kupangku, kepalaku menolah-noleh kasihan dan ketika mataku fokusnya balik ke pintu...

Ya Tuhan, dia...

Napasku berhenti sesaat. Tikus sawah! Tikus curut! Seumur-umur aku melihatnya, baru kali ini dia balas menatapku. Di mata.

Perasaanku nggak kuat lagi. Jantungku... parah, kenapa begini, sih, rasanya? Bolehkah nangis saja? Sigap, kuraih ponsel dan pengalihanku hanya dengan melihat dan menggulir layar tanpa guna.

Lagi, ada seseorang yang mendekat. Tolong... jangan... aku mau kabur tapi kakiku serasa ditahan setan bawah bangku. Jempolku alhasil makin tangkas menggulir ke kanan layar utama ponsel. Sungguh aksi bodoh, tapi aku sebisa mungkin menata raut wajahku supaya tetap datar. Dan selanjutnya... ada sampah kecil yang dilempar ke tong sebelahku.

Aku nggak bisa lagi mendeskripsikan pedalaman jiwaku yang kacau dan cuma bisa ngelamun sesaat sebelum meliuk ke tong sampah, setelah dia pergi.

Relaxa biru.

Punggungku gagal menegak dan menyuruhku untuk cepat menyandar tembok. Kulakukan. Napas kuatur sedemikian rupa dan pikiranku rasanya nggak mampu sinkron lagi. Ponsel berada tepat di depan penglihatan, menggulir-gulir layar homescreen sekarang masuk ke daftar hobiku.

"Yo! Liat apaan kok senyam-senyum?"

Oh, nggak...

Kepalaku mendongak dan melihat Revina, sahabatku sejak SMA yang sekarang menempuh prodi sama. Pertanyaan itu mungkin terlontar beberapa detik yang lalu, tetapi saat ini baru sampai di otakku. Sebelum-sebelumnya, aku selalu lolos dari kecurigaan karena aku memang nggak pernah menunjukkan sesuatu yang obvious. Tapi kali ini, aku beneran kehilangan kontrol?

"Senyum?" tanyaku masih nggak percaya saat Revina duduk karena... aku memang nggak merasa senyam-senyum barusan.

Dahi Revina mengerut, ia kemudian mencondongkan tubuh padaku dan mengintip layar hapeku yang nyala. Homescreen. Wallpaper singa. Serta jempolku yang mengambang.

"Background lama perasaan. Senyumin apaan, deh, Yo?"

"Senyumin apa? Emang aku senyum?"

"Wah, Yo," punggung tangannya tiba-tiba berada di keningku, "jadi elo nggak sadar barusan senyam-senyum?"

Aku benar-benar tercekat dan mataku sebatas bisa menatap milik Revina khawatir. Kenapa otakku lemot separah ini untuk berpikir mencari jawaban perlindungan?

Nggak... nggak boleh... aku nggak boleh ketahuan....

***

SenjangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang