Leonia: Di Antara Dua

92 9 3
                                    

"Leo, kalau nggak niat ditraktir, pindahin ke piring gue aja."

Teguran itu melintas di telingaku. Pikiranku yang awalnya hampa mendadak kaget. Pandanganku lalu nggak menapak lagi ke layar, tapi ke kursi sebelah.

"Hah? Niat, kok!" Aku buru-buru menyisihkan gawaiku. Sikap panik nggak mampu aku sembunyikan ketika menjamah sendok dari atas piring sampai sendok itu jatuh terseok-seok ke lantai, menimbulkan bunyi yang untung bisa diredam oleh ramai kerumunan di foodcourt ini.

Topan membantu aku memungutnya lalu dia menyerahkan sendok itu padaku sambil bilang, "Orang gak fokus, hapean terus, senyam-senyum, tuh, biasanya dua: kalau nggak liat meme, ya, galauin orang. Gue percaya kasus elo yang kedua. Lagi stalk, yah?"

Sendok yang gagangnya sudah kupegang nggak bergerak ke mana pun. Lewat peluru berwujud kata-kata itu, Topan menembakkan pistolnya tepat di kepalaku. Aku rasa-rasa ingin kabur, tapi otak ini seperti sudah nggak punya kendali atas pergerakan kedua kakiku. Sedini inikah aku ketahuan?

Aku nggak menampik kegiatanku sebelumnya yang cuma memandangi chatroom Instagram yang... masih belum juga terbalas. Jangan tanya rasa maluku menembus level apa, tapi sudahlah, aku kepalang kecewa untuk menanggapi semesta yang menertawaiku kencang-kencang. Disela ketidakpedulianku atas tawa nyaring sekitar, aku curi-curi waktu untuk melihat seluruh konten Instagram Jordan. Hanya ada beberapa foto dirinya memegang gitar, sisanya foto instrumen. Nggak ada tanda-tanda pacaran. Belum kudeteksi lebih lanjut, Topan sudah ngoceh duluan. Mungkin tanpa sadar aku tadi memang telah senyam-senyum, ya?

Topan sama sekali nggak salah soal dugaannya. Aku galau. Ekstrim galau. Meskipun masih cukup waras untuk untuk setidaknya--bagiku--bersikap normal. Tapi, perspektif kita di mata orang lain belum tentu sepadan. Topan sepertinya gagal aku kelabui. Atau, jangan-jangan memang aku yang nggak pandai berlagak?

"Ih, apa, sih. Aku cuma...." Akhirnya aku berhasil berkilah tipis walau kata-kataku sebagian masih terjebak di tenggorokan. Rasanya sulit sekali mau mengatakan hal di luar kenyataan. Kamu betulan harus kursus berbohong, Leonia.

"Chatting-an sama gebetan, ya?"

Aku benar-benar nggak memiliki ide untuk menepis ucapan Topan. Dia ini punya bakat dukun atau memang tebakan asal-asalannya suka akurat? Aku seolah kehilangan kata sanggahan dalam kamus kepala. Mencari pertolongan, mataku melirik Revina yang duduk berseberangan.

"Lo kenapa, sih, Pan. Privasinya Leo, kalik." Revina dengan mudah mengerti aku. Ia menanggapi Topan dengan kesinisan seperti lazimnya.

"Yah, kalik aja, Leo mau cerita-cerita soal gebetan."

Kendali tubuhku kembali. Aku menghadap makananku seperti sedia kala dan mulai menyendok suapan pertama. Pikiranku resah atas sikap kepo Topan yang nggak pernah aku duga sebelumnya.

Membicarakan soal pada siapa aku menyimpan perasaan nggak bisa dengan mudah aku bocorkan pada orang yang belum aku kategorikan sebagai teman dekat. Dalam daftarku cuma ada Revina. Memberi tahu selain kepadanya adalah kemustahilan.

Aku takut rahasiaku terbongkar karena bisa saja orang selain Revina dengan mulusnya menebar berita naksirku ke orang lain, atau lebih parahnya kepada orang yang kutaksir langsung. I may sound too excessive, but I'm only keeping myself from the worst case. Aku nggak akan bisa hidup dengan nyaman kalau rasaku sampai ketahuan.

Hanya saja hidup ini sulit lepas dari kata tapi. Dan saat ini, kata itu berusaha menyusup di tengah kalimat-kalimat yang sudah aku konstruksi kokoh-kokoh. Prinsipku berbalik arah diterjang penasaran.

"Pan, kamu kenal baik Jordan?" tanyaku, tanpa angin, tanpa beban.

"Kan, apa gue bilang."

"Itu bukan jawaban yang aku mau. Dan aku mohon, jangan...."

Topan mengangkat gelas jusnya untuk dia minum setegukan. "Anaknya dedikasi banget sama musik. Gampang diajak serius. Tadi gue ketemuan. Di warung soto. Sama pacarnya. Oke, mungkin yang terakhir bukan jawaban yang pengen lo dengar."

Aku mengembuskan napas. Bukan soal lega. Tapi berusaha mengikis kebegahan dan perasaan campur aduk lain di benakku yang semakin nggak karuan. 

"Yo... Mungkin lo harus bersyukur." Suara Revina terdengar jernih melewati telingaku, tapi percuma saja, aku saat ini sedang nggak bisa melihat koneksi antara rasa syukur dan kepedihan.

"Aku akan lebih bersyukur kalau tahu tentang hal ini lebih dulu. Rasa ini mungkin enggak akan pernah muncul." Mataku memandangi bulir nasi yang berantakan. Sama halnya hatiku.

Revina menggenggam tanganku yang terkulai memegang gagang sendok. "Justru itu, Yo. Gue nggak menjamin lo akan bebas dari rasa ini meskipun lo tau Jordan udah ada yang punya. Dengan mengetahui status dia setelah lo menyimpan rasa, lo bebas dari label 'naksir punya orang'."

"Sampai detik ini pun kamu pikir masih enggak apa-apa?" Kepalaku sontak mendongak. Tanganku menolak genggaman Revina. Barusan aku rasa adalah nada bicara tertinggi yang pernah aku lontarkan padanya. Setan barangkali sedang berkeliaran, dan aku meladeninya tanpa tolakan.

"Nggak ada yang salah sama perasaan lo, Yo. Kepada siapa pun itu. Yang salah adalah ketika lo melanjutkan perasaan itu ke bentuk yang lain, ngusik mereka misalnya. Gue tau, mustahil bagi orang yang naksir nggak punya pengharapan untuk bisa bareng-bareng. Pasti ada. Dan emang nature kita, kan, mengharapkan hal-hal positif yang belum tentu bakal terjadi. Coba lihat ini sebagai ajang buat eksplorasi rasa."

"Untuk latihan sakit hati, maksud kamu?" Topan yang berikutnya menjadi sasaran amarahku.

Ia masih berusaha melanjutkan, "Apakah perasaan itu ada cuma sekadar untuk pengharapan bahwa kelak nanti kalian akan bersama? Coba nikmati perasaan itu lebih dari harapan klise yang bisa lo bayangin, Yo."

"Coba berpikir lebih tenang." Revina meraih tanganku lagi, aku nggak menyergah.

Iblis sekitaran yang menguasai separuh emosiku sedikitnya menjinak. Aku merasakan itu lewat napasku yang sudah mulai bisa aku tata dan bola mata yang sudah nggak lagi meronta ingin lepas. Tinggal hati yang masih perih berkat dikuliti pisau tajam yang baru terasah. Aku bisa memendamnya. Tak perlu mencak-mencak.

Aku diam. Revina Diam. Topan tak bersuara. Aku membantai bunyi kerumunan di sekitarku dengan meresapi semua perkataan mereka berdua yang akhirnya bisa dengan mulus memasuki pusat pikiran. Iya, aku berharap bisa menggandengkan tanganku bersamanya, aku berharap aku akhirnya bisa punya pacar.... Bukankah ini semua cuma permainan? Apa, sih, esensi jatuh cinta?

"Enggak berarti gue menyuruh lo untuk berhenti, Yo," Revina bicara lagi, "jatuh cinta sama sekali bukan kesalahan. Tinggal bagaimana elo merespons dan bersikap atas rasa itu. Dan Leonia yang gue kenal enggak akan melakukan hal-hal di luar nalar."

Di sisi lain, aku nggak pernah menyangka dua saudara di hadapanku ternyata bisa kompak memberi angin segar ke kepalaku. Aku bisa tersenyum akhirnya.

"Gue sebenernya juga tau lo di-DM Jordan. Tadi sempet pegang hapenya. Cania yang ngelakuin semuanya, pacarnya."

Aku cuma bisa melihat Topan penuh tanya. Apa motif di balik itu semua? Apa jangan-jangan si Cania Cania ini tau aku naksir pacarnya? Sebelum aku berpikir lebih ruwet, Topan kembali menambahkan, "Asal lo tau, hubungan mereka kelihatan nggak sedang baik-baik aja."

Lantas aku berpikir ulang, hal apa yang mau aku lanjutkan?

Sakit hati?

Bahagia?

Justru berhenti?

Atau,

mencoba menyelipkan diri di antara keduanya?

Memang aku yang bisa memilih. Dan memang cuma itu yang bisa aku pilih.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 24, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SenjangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang