Jordan: Kecolongan

84 17 23
                                    

Menu sarapan gue beda pagi ini.

Masih di tempat langganan, tapi bukan pecel yang di depan meja, melainkan menu kembar dengan Cania: soto ayam. Niat gue jaga-jaga, biar dia bisa menumpahkan sotonya ke mangkuk gue misal nggak doyan. Jangan dibuang. Jangan nyisa. Buat ngasih penghargaan sama yang punya tempat makan.

Kami duduk berhadapan. Gue pesan soto reguler. Sementara Cania tetaplah jadi fans berat ayam. Sotonya dipastikan punya suwiran daging lebih banyak. Gue menyantap lebih dulu, diikutinya nggak selang lama kemudian. Kabar baik. Dia nggak komentar apa-apa dan mengangguk-angguk ketika menyeruput kuah pertama.

Gue menemukan celah. "Jadi, mau sarapan di sini setiap pagi?"

Cania menghentikan laju sendok. Melihat gue. "Not strong enough to persuade me."

Gue belum kehabisan ide untuk menawarkan lagi, "Ganti, deh. Jadi, mau sarapan bareng tiap hari?"

"Nih, makan toge sama kubisnya."

Nggak digubris dan bener aja mangkuk gue jadi tempat pembuangan, mengingatkan gue akan sesuatu. Terakhir Cania curhat masalah makan soto, dia berujung muntah karena nggak sengaja menggigit tauge. Salah satu musuh bebuyutannya di antara rentetan nama sayur. Rasanya bersalah nyaris melupakan hal itu. Maka gue melakukan ini untuk pembalasan. "Nih, ayam."

Belum suwiran ayam dari gue pindah mangkuk, tangan Cania lebih dulu mencengkeram pergelangan tangan gue yang melayang. Tanya, "Hape lo mana?"

"Mau ngapain?"

"Punya gue dalem tas, males ngambil. Sekali-kali bikin story pakek hape lo. Mengabadikan momen keju lo, Yan." Dia membubuhi perkataan dengan senyum centil. Seketika membuat gue luluh untuk ke sekian kali.

Tangan sebelah yang nganggur akhirnya merogoh saku, menuruti apa yang Cania mau.

Gue lanjut memindah potongan daging ayam ke mangkuk Cania, menyisakan remah suwiran di mangkuk sendiri. Mendadak, otak gue terusik sesuatu. Malam saat gue dan Cania bersitegang kecil. Sebuah akun.

Gue langsung menyuarakan, "Yang kemarin follow-follow biarin aja."

"Ini nulis caption."

Sepenuhnya gue percaya apa yang dilakukan Cania tanpa menelisik lebih lanjut. Gue kembali memindah nasi ke dalam mulut. Selang hitungan sendok, Cania mengembalikan hape itu dengan keadaan bergetar. "Telfon."

"Siapa?"

"To ... pan?"

"Biarin." Gue hanya sebentar melihat Cania lalu kembali khusyuk ngaduk soto.

"Ih, Arian ... angkat." Pergerakan tangan gue otomatis terhenti. Nada bicara Cania yang kayak gini hampir selalu gagal menyergah gue melakukan sesuatu sesuai kehendak pribadi.

Gue cuma bisa mendecak, menyandarkan sendok ke mulut mangkuk. Malas-malasan menerima sodoran Cania.

"Woi, Jo, mau balikin pick, nih. Lo di mana?" Suara di ujung sana keras menembus telinga sampai gue perlu sedikit menjauhkan kepala.

"Entar di kampus aja, Bang."

"Gue bolos seharian."

"Nggak bisa ke kampus?"

"Lo di mana, deh, gue samperin?"

"Besok-besok aja."

"Keburu ilang. Gue ogah punya tanggungan. Lo lagi ngapa sih?"

Kesal di dada gue perlahan membuncah. Agenda langka sama Cania terancam kena gangguan. Tapi Cania sepertinya mampu mendeteksi raut ketidaksukaan di wajah gue. Sambil mengunyah, dia menganggukan kepala sekali, memberi kode penerimaan. Terulang lagi, segalanya berlari ke luar kehendak ketika gue ada di hadapan Cania.

"Gue sarapan."

"Di?"

"Ceko," gue jawab setelah jeda cukup lama.

"Buset, lah, jauh amat? Kapan berangkat? Ke Praha? Oleh-oleh, dong?"

Gue nggak menerka tujuan Bang Topan bilang begini apa. Entah mau unjuk diri atau emang spontanitasnya di atas rata-rata. Yang kedua bikin kaget. Gue memijat kening sebelum menjawab, "Kita samain peta dulu, Bang."

"Ntar, lo masih di Bumi, kan?"


***

"Pas SMA pernah ikut olim Geografi?" Basa-basi perdana gue pada Bang Topan setelah dia tiba, berdiri di sebelah kursi gue dan Cania.

Dari saku celana, tangannya menaruh pick ke atas meja. Kemudian bilang, "Gue berangkat sekolah aja butuh hidayah gimana segala mau ngikut olimpiade. Tapi emang suka Geografi, sih. Ada tebakan nama negara di soal olim Geografi?"

"Sarapannya pas kecil atlas ya, Kak?" Sendok Cania sebetulnya sudah di depan mulut, tapi dia ngasih interval dan malah ikutan sok akrab.

Bang Topan nggak lagi melihat gue lalu tangannya dia sorongkan ke Cania. "Eh, halo ... Topan. Iya, gue bakar bukunya, terus abunya direndem air, diminum." Sebentar kemudian dia melirik gue sekilas dengan mengangkat alis.

Cania terkekeh kecil lalu menerima tawaran itu. Selama beberapa detik tangan mereka bertautan di depan wajah gue.

"Cania, Kak."

"Nggak ngerti gue ternyata maksud lo warung makan. Sori, ya. Gue nggak niat ngeganggu, kok. Tapi laper juga, nih."

"Tinggal pesen, Kak."

"Lo berdua lanjut aja, ya. Nggak usah sungkan."

Gue mengernyit menuntut maksud, tapi Bang Topan keburu pergi. Syukurlah, cuman ungkapan syukur itu sepertinya perlu gue tunda karena dia benar memesan sesuatu pada orang di balik etalase. Gue mencoba nggak peduli dan pilih meneruskan urusan perut. Di antara gue dan Cania nggak tersisa kata untuk diungkap. Momen kami terlanjur diacak.

Nggak lama, gue mendengar bunyi jeluak lalu menyadari Cania seperti mau muntah. Cania merintih, "Togeee."

Gue buru-buru menggeser kotak tisu ke hadapan Cania. Dia tarik kasar beberapa lembar. Sebelum lari ke luar dengan tas selempang yang masih tersampir di bahu, dia memberi isyarat telapak tangan menyetop. Upaya mencegah gue mengikutinya.

Gue patuh. Mencoba sekuatnya membelokkan asumsi jadi lebih positif. She's gonna be okay.

"Enak, ya, sarapan ditemenin." Bang Topan tahu-tahu menyerobot posisi duduk di samping gue.

Gue menyahut malas, "Kebetulan hari ini doang."

"Udah lama lo?"

"Sejak lo telepon tadi, berapa menitan."

"Maksud gue bukan lama yang itu, Men."

Gue seluruhnya menghadap manusia di sebelah. Mata gue naik turun. Mulut bungkam. Selanjutnya, berpaling lagi menyendok kuah.

"Ngomong-ngomong di sini ada wifi, nggak, sih? Paketan ngadat mau nge-wa Revina." Gestur gue barusan mungkin cukup membuatnya berpikir dua kali untuk nanya-nanya soal hubungan pribadi.

"Tuh, thetering hape gue." Mata ini meliuk ke arah hape nggak jauh mangkuk gue berada. Gue nggak peduli soal siapa Revina dan mengikhlaskan segalanya.

"Boleh?"

"Nyalain sendiri, Bang."

"Buka dulu, gih."

"Nggak ada password-nya."

"Wih, tumben ada orang begini."

Gue nggak menanggapi lagi. Mulut menunda suapan dari sendok. Cania kok lama?

"Eh, lo nge-DM orang? Gue nggak sengaja liat, nih."

Garis kening gue memusat. Perasaan gue nggak baru saja mengirimi siapapun pesan dan gue akan selamanya jauh dari pikiran kirim chat lewat Instagram. Siapa tiba-tiba ...

[leoniacel]


hai

Iya?

Rasanya, gue benar pengin hilang dari Bumi. Ditambah lagi, niat awal gue pesan soto benar terealisasi.

***

SenjangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang