Terhitung dua hari sudah berlalu semenjak kejadian di malam minggu, tapi, rasa maluku ini masih belum juga mau berlalu.
Aku nggak melakukan hal konyol. Cuma tunggu, merasa malu gara-gara nggak kunjung mendapat follback dari seseorang itu bukankah memang konyol?
Dua hari pula aku menjauhkan diri dari hiruk pikuk Instagram. Dasarnya aku memang jarang aktif dan selama dua hari inilah aku betulan mengubah status jarang menjadi tidak sama sekali, walau dengan pasif masih memantau pemberitahuan dari bar notifikasi. Pemberitahuan kalau teman-temanku sedang live dan baru kemarin yang bikin beda yakni follow back dari Topan.
Alasanku malu masih nggak jauh-jauh dari yang namanya konyol: serasa diketawai benda sekeliling--entah tembok, kursi, atau papan putih bercoret materi syntax di hadapanku sekarang--karena aku merasa mereka diam-diam punya nyawa dan kotak tertawa. Terbahak bersama-sama meneriaki aku. Pecundang.
Aku malu. Mereka selangkah lebih dulu bisa menertawaiku sebelum aku melakukannya pada diriku sendiri.
"Tumben di dalem?" Revina muncul tiba-tiba dari pintu. Khayalan konyolku seketika lenyap.
"Ngadem, Vin," aku berkilah. Otakku memang panas memikirkan ini semua. Beruntung punya kelas dengan fasilitas lumayan berguna.
Aku memang sekaligus menghapus kegiatan rutin duduk di bangku marmer depan kelas--tempat aku biasa mengamati gerak-gerik orang. Manalagi ini hari Selasa. Jordan kemungkinan besar akan lewat. Aku nggak mau seolah memberi nyawa dan membiarkan benda sekalian ini terpingkal melihat aku mati kutu bila kemungkinan berpapasan itu benar terjadi.
"Bukannya di luar anginnya lebih semriwing?" Terdengar decitan kursi lipat yang diseret menuju sampingku. Aku mengabaikan pertanyaan Revina yang nggak masuk akal dan justru melempar penasaran milikku sendiri.
"Kamu, kok, tumben lebih awal dari biasanya?"
"Yang jelas gue nggak mungkin kesambet kayak Topan," ia duduk, "pengen ikut duduk bareng lo di luar. Eh, ternyata di sini."
"There's nothing to see here, that's why."
Revina tertawa kecil. "You shouldn't be hiding."
"I'm not."
"Eh, iya, ngomongin Topan, dia mau traktir kita di mal siang ini. Katanya ucapan terima kasih karena lo kemarin bilang penampilan band-nya bagus. Sok banget, sih, tapi nggak apa-apa karena gue dicipratin."
Aku terpukau. "Orang-orang, tuh, ya, dikasih kebahagiaan sedikit, langsung membalas kebahagiaan besar. Salut, nggak, sih?"
"Glad you didn't name Topan directly. Couldn't agree more."
"Revina astaga." Aku geleng-geleng kepala.
"Gue mau nge-DM dia dulu. Mastiin jam berapa dan ketemu dulu di mana."
"DM Instagram?"
"Sekalian mau unblock."
Aku nggak ngerti mau bereaksi gimana lagi. Akhirnya mempersilakan hening untuk menghampiri. Revina fokus terhipnotis layar sementara aku pilih melihat arah lain lantaran mau mengambil ponsel dalam tas saja rasanya terintimidasi.
"Astaga!"
Kepalaku menoleh Revina lagi. "Kenapa, Vin?"
"You ... followed him?"
"Topan? Yep."
"You know what I'm saying, Leo. HIM."
Aku coba memahami ucapan Revina setelah ia menekan kata terakhir. Dan, yang terkail di otakku cuma satu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senjang
RomanceBagi Leo, jatuh cinta itu sederhana. Bagi Jordan tidak. © Juli, 2018