Jordan: Skenario

110 23 12
                                    

Setelah menjadi orang pertama yang masuk pintu dan teronggok lebih lama dari biasanya, penantian gue ditemani gitar serta beberapa sobat datang  kepagian lain yang pada duduk di atas meja, akhirnya menemui titik gelap.

Kehadiran dosen yang kami harap-harapkan ternyata cuma bisa muncul lewat screenshot chat ketua kelas yang dikirim grup. Mengumumkan bahwa kuliah hari ini ditunda. Otomatis, kelas yang awalnya damai akustikan beringsut jadi kelas debat nama hewan.

Gue sendiri cuma menahan pundung dalam hati. Kecewa karena merusak plan yang sudah tersusun rapi sejak pagi. Harusnya, setengah sebelasan gue baru keluar pintu kemudian tancap ke lokasi geladi bersih untuk acara gig perayaan gedung anyar Fakultas Seni sekaligus penyambutan maba lusa malam. Gara-gara perihal nggak terduga dan apesnya gue belum menyiapkan rencana cadangan, otak jadi kebingungan mencari ide kegiatan apa yang bisa gue habiskan selama waktu kosong berjalan.

Selesai berberes dan menjadi yang terbelakang keluar kelas pun, gue masih buntu belum tau mau melangkah pasti ke mana.

"Yan!" Lalu panggilan ini tiba di telinga sesaat setelah gue baru beberapa langkah menjauhi pintu. Yakin ini ditujukan gue karena gue hafal milik siapa timbre suara itu dan yang punya akses panggilan khusus tersebut hanya satu orang. Cuman seingat gue, dia nggak punya jadwal berada di lantai ini saat gue punya. Tapi namanya takdir, siapa nebak.

Mata gue coba berkelana ke penjuru depan, tapi justru penampakan Bang Topan dengan seorang cewek yang nancap di penglihatan. Bang Topan ini kating sekelas yang ngulang mata kuliah dosen PHP barusan, juga kebetulan orang yang berkaitan sama gue soal gig yang gue bilang.

"Di-PHP dosen, ya?"

Bahu gue seperti merasakan sengatan yang otomatis bikin badan berjingkat. Kepala menoleh siapa pelaku tepuk itu dan tebakan awal gue ternyata benar. Gue langsung penasaran, "Kok lo di sini?"

"Heh, Mas, di sini Anda cuma numpang, ya. Saya warga Sastra asli."

"Iya. Saya udah pindah warga negara. Negara yang lama, warganya suka bikin jantungan dan rasis," sindir gue balik dan langsung saja dibalas cubitan kecil di lengan atas. Gue berusaha menghindar dengan ekspresi kesakitan.

"Sori," katanya sambil meringis imut. "Gue abis make up class di ... sebelah ... kelas lo, kayaknya?"

"Kok nggak menor?"

"Yan, berapa kali gue harus bilang--"

"Kalo make up class itu bukan kelas dandan." Gue memotong lalu meniru kalimat paten perempuan itu yang selalu dia ulang saat gue menjahili soal istilah barusan. Misi gue berhasil: dia cemberut. Kemudian lengan gue lagi-lagi jadi sasaran, masih cubitan.

Tapi emosinya berubah cepat, merengek ke gue, "Yan, laper ...."

Syukurlah, gue nggak perlu memutar otak lagi 'tuk mengotak-atik plan.

***

"Gue seneng banget sebenernya kalo hari Kamis, tuh. Kuliah mulainya abis zuhur jadi nggak usah panik pagi-pagi. Cuman pakek ada kelas pengganti aja tadi. Nggak papa, deh. Yang penting bisa tetep makan." Cewek di depan gue ini bicara dengan sesekali ngunyah nasi dan paha ayam pesanannya. Bagi dia, makan di sini ibarat gue sarapan pecel di warung Ceko. Kewajiban.

"Emang dasar. Susah bangun pagi, nggak pernah sarapan. Sekalinya makan, bar-bar," ejek gue di hadapannya.

Meski gue sendiri tadi pagi sudah sarapan, gue masih perlu memesan sekotak rice box dan mango float demi formalitas, karena belaga miskin nggak berlaku kalau gue menemaninya makan di sini. Tapi belum gue sentuh, karena dua tangan ini masih gue pergunain buat nopang dagu.

SenjangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang