Ada beberapa alasan gue bersedia berangkat lebih awal.
Satu, jam tangan gue nggak terbuat dari karet. Kuliah pukul sembilan artinya gue harus masuk kelas di menit-menit sebelumnya. Waktu paling ideal menyalakan motor dari rumah adalah setengah delapan. Setengah jam habis di jalan. Delapan lebih sedikit, gue sudah nongkrong ditemani gitar di warung langganan menunggu piring pecel kesukaan gue datang. Alasan yang kedua.
Gue menjunjung tinggi namanya sarapan. Rutinitas makan pecel setiap pagi di warung Ceko sudah berlaku sejak awal maba. Bedanya, dulu gue harus datang lebih dini—itupun sudah antre—karena menyesuaikan dengan jadwal kelas pagi. Sekarang, gue datang lebih siang dan, tetap antre.
Kecintaan gue terhadap pecel ini adalah berkat sambal kacang dan lauk tambahannya. Bumbu pecel di sini punya sensasi ngangenin yang nggak abis-abis. Untuk lauk opsional, favorit gue adalah telur dadar kocok pedas. Atau kalau dompet sedang full tank, gue bakal milih ayam, yang mana itu jarang. Kombinasi itu terbukti cukup melabeli gue sebagai pelanggan setia karena hingga kini, sarapan gue di tempat lain bisa dihitung pakai jari.
Ngomongin makan, nggak lengkap tanpa minum. Yang jadi penyegar tenggorokan ini pun jarang ganti. Dari harganya masih lima ratus perak sampai sekarang naik menjadi seribu rupiah bonus sebiji permen, pilihan gue tetap air mineral gelas. Kalau lagi kaya, gue akan pesan es jeruk hangat (hujat gue, hujat, semiskin inilah Arianto Jordan) tapi jarang, karena nggak berbonus permen.
Eh, jeruk hangat aja maksud gue. Ini nyerempet ke alasan datang pagi selanjutnya.
Sehabis makan pecel featuring telur, mulut gue rasanya berdosa kalau nggak sikat gigi. Air mineral nggak cukup membilas mulut. Tapi, gue juga nggak mau seribet itu membawa antek-antek pembersih mulut ke kampus, maka kembalian permen dari warung Pak Ceko-lah yang menjadi penebus dosa. Beruntung beliau menyediakan stok permen wangi penetral bau untuk mengganti kembalian dua ratus perak ke pelanggan irit macam gue.
Suatu kali pernah kejadian lucu. Di samping gue adalah seorang ibu-ibu yang lagi sarapan sendirian tapi ditemani seorang anak cowok. Di tangan si anak tergenggam permen susu Milkita, nggak dimakan. Dengan ibunya, gue ngobrol basa-basi sekenanya.
Selesai makan ternyata berbarengan. Namun saat gue hendak berdiri membayar, terdengarlah, "Ya ampun, Nak. Dompet Mama ...."
Ibu-ibu itu sudah menggeledah tas dan merogoh tiap saku pakaiannya. Kondisi warung yang ramai sepertinya nggak memungkinkan pengunjung lain untuk berempati, tapi gue, "Sekalian dibayar sama pecel saya aja, Buk."
"Jangan, Mas, nggak usah."
"Orang cuma soto aja, kan, Buk? Nggak apa-apa beneran."
"Masnya sering makan di sini, ya? Besok saya ganti, deh. Makasih banget ya, Mas. Jadi malu ...."
"Gampang, Buk. Sama-sama."
Berakhirlah gue membayar dobel di kasir dengan uang pas. Berhubung gue memang lagi kaya saat itu—bisa minum jeruk anget, jadilah gue nggak mendapat kembalian permen. Rencana mau beli, tapi saat kembali ke meja mengambil receh tersimpan dalam tas, gue justru disodori permen milik anak cowok ibu-ibu barusan. Rasa melon.
"Terima kasih, Mas," katanya, bikin gue menerima sambil bengong.
Dan begitulah cerita gue membawa permen Milkita ke dalam kampus. Lumayan menjadi hiburan anak sekelas, tanpa mereka gue kasih tau apa yang terjadi dibaliknya.
Gue nggak mengemut permen-permen itu sesaat setelah makan pecel, tapi mulai membuka bungkusnya ketika sampai dalam gedung supaya pedas dalam mulut gue berkurang dan mulut gue masih segar bau permen saat masuk kelas. Pukul sembilan kurang dua puluh menit biasanya gue sudah masuk gedung fakultas sendiri atau fakultas mantan—bukan mantan pacar karena gue nggak punya, tapi gue anak Seni yang baru cerai sama anak Sastra, canggihnya masih segedung untuk beberapa mata kuliah. Dan entah kenapa gue selalu terbiasa membuka bungkus permen ini tepat setelah masuk pintu utama. Gue nggak melewati tempat sampah (ada, tapi nggak terjangkau), jadinya saku celana guelah yang menjadi tampungan sementara. Keluar kelas nanti, barulah dibuang ke tempat semestinya.
Tapi khusus di gedung Sastra ini, tiap Selasa dan Kamis, pada dua mata kuliah nonpraktik beda, ada pemandangan yang mengganggu.
Sebenarnya nggak ganggu amat. Orang hanya perempuan yang selalu duduk di bangku dekat pintu sebelah pilar yang sebelahnya lagi adalah kelas gue. Perempuan yang selalu duduk bertepatan saat gue nongol dari pintu.
Kebetulan? Enggak lagi setelah gue rasa ada empat kali adegan sinetron begini berulang. Dan setiap gue melangkah masuk, meski gue nggak pernah menatap wajahnya saksama, entah kenapa gue seperti diawasi. Dan muncullah gede rasa. Takut-takut dia sedang naksir.
Minggu berikutnya, gue coba revisi jadwal berangkat menjadi lebih pagi. Pukul tujuh gue sudah sarapan di warung Ceko dan setengah jam lebih kemudian, gue sudah bersama kaki dan gitar di punggung melangkahi lantai gedung Sastra, dengan tangan merobek bungkus permen. Dan perempuan itu akhirnya hilang.
Di jadwal selanjutnya, gue mengulang pola sama. Tapi mau gimana lagi, kebetulan itu kembali menghampiri.
Saat gue tiba di pintu, perempuan tempo waktu sudah muncul di tempat ia biasa duduk. Gue pun heran, nggak adakah manusia lain yang berminat duduk di sana selain dia? Walau buang-buang waktu gue memikirkan itu.
Gue coba berniat untuk meladeni tatapannya yang dulu-dulu belum pernah gue balas, tapi dia nggak menatap gue, melainkan mas-mas yang menaruh tempat sampah berbahan plastik di dekat perempuan itu duduk. Nggak lama, karena beberapa detik setelahnya dia berhasil menangkap keberadaan gue. Kesempatan.
Rute gue berubah. Normalnya dari pintu utama langsung lurus menuju kelas. Kali ini, berkelok mengapeli tempat sampah—yang akhirnya bisa gue jangkau—untuk membuang si plastik biru Relaxa. Gue coba memandangi dia lekat tetapi ia justru membuang muka ke hapenya dan barangkali ... berpura-pura seolah normal dan fokus. Misi gue membuang sampah lalu terlaksana, sejurus kemudian melangkah lagi menuju kelas.
Biar dia tau rasa.
***
Sekadar informasi, Jordan pertamanya beneran nulis 'es jeruk hangat' tanpa mikir, tanpa sengaja. HAHA.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senjang
RomanceBagi Leo, jatuh cinta itu sederhana. Bagi Jordan tidak. © Juli, 2018