Kotak Pandora

157 11 4
                                    

Aku melihat jam yang terpajang di dinding. Jam dua dini hari. Aku bersyukur semua hanya mimpi, tapi tetap saja aku tidak bisa menahan tubuhku menggigil: ketakutan. Masih terpatri dengan jelas di benakku, tangan laki-laki itu meraba setiap jengkal tubuhku. Ini bukan mimpi buruk, ini kenangan masa laluku yang entah kenapa sering menghampiri alam bawah sadarku. Aku meringkuk. Kedua tanganku memeluk tubuhku. Kulihat dari sudut mataku, lengan kiriku berdarah. Sepertinya kali ini tanpa sadar aku terlalu mencengkeram kuat tanganku.

Darah.

Sedari aku kecil, mungkin saat aku berumur 9 tahun, aku sudah mulai terjebak dalam lingkaran setan bernama self harm: siklus yang datang tanpa kuketahui tanda-tandanya. Ketika aku berada di sebuah situasi yang membuat perasaanku tertekan, aku selalu saja melukai diriku sendiri. Tapi tenang saja, luka-luka lamaku sudah mengabur. Kecuali luka yang baru saja tanpa sadar kubuat.

Aku beranjak dari kasur dan menuju ke kamar mandi. Aku membasuh wajahku, agar aku tidak terlalu larut dalam bayang masa laluku. Kutatap wajah gadis dalam cermin itu. Ya Tuhan, matanya seolah-olah tidak lagi memiliki warna kehidupan. Ah, sudah sejak kapan seorang Aileen seperti ini? Memakai topeng di hadapan semua orang. Tertawa, bahagia. Semua ini sejak... 13 tahun lalu, saat aku berumur 6 tahun. Oke, sudah Ai, sudah. Lupakan semua itu.

oOo

Malam ini aku berada di Master Cafe bersama Rio, tentu saja. Kali ini kami telihat sebagai sepasang kekasih. Bukan, bukan pacar. Menurut kami kata pacar terasa kekanakan. Dan kalau kau bertanya kapan Rio 'menembakku', itu tidak pernah terjadi.

'Untuk apa melakukan hal konyol seperti menembakmu hanya untuk memintamu jadi kekasihku? Toh kita saling memahami kalau aku milikmu dan kau milikku, kan?'

Rio mengatakan kalimat seperti itu saat aku tertawa menatapnya, ketika kudengar dia mengatakan pada temannya bahwa aku ini kekasihnya. Kalimat yang membuatku tercekat, juga tersipu.

"Tanganmu kenapa?" tanyanya ketika aku melepas hoodie-ku saat akan duduk.

"Eh? Ah, ini... anu, tidak apa-apa kok," jawabku yang membuat kami terdiam beberapa saat. Ini salah satu hal yang kusuka darinya, dia tidak pernah memaksaku untuk bercerita kalau aku tidak ingin. Toh nantinya suatu saat aku akan bercerita padanya, itu katanya.

"Oh, ya sudah," katanya, ketika melihatku kembali memakai hoodie.

"Hujan."

"Kenapa?" tanyanya sembari mengikuti arah pandanganku ke jendela, melihat hujan turun.

"Aku benci petir, lagipula kenapa seharian ini tumben sih hujan mulu?" Aku mengerucutkan bibir.

"Wajahmu lucu kalau seperti itu," dia terkekeh geli. "Iya sih, di rumahku juga hujan sedari sore," komentarnya lagi.

"Di sini juga dari sore." Rumah kami memang berjarak cukup jauh, bisa setengah jam perjalanan. Karena itu, hujan pun bisa jadi tidak merata di seluruh wilayah.

"Tapi pasti lebih dulu di tempatku," ujarnya.

"Nggak kok, duluan di sini. Dari jam setengah 3, lama banget malah."

"Di tempatku dari setengah 3 kurang. Berhenti sebentar tadi, saat aku akan menjemputmu."

"Lebih lama di sini kan," jawabku tak mau kalah.

"Di tempatkulah, Sayang."

"Aish! Udah, deh. Jangan karena hujan terus kita nanti berantem gara-gara debat ndak jelas," sungutku, mencoba menghentikan hal konyol yang terjadi.

"Kalau kau menggelembungkan pipimu seperti itu, kamu seperti ikan buntal." Dia pun tertawa mencubit pipiku.

"Mas Io, jangan menggodaku!" Tawanya semakin jadi saat mendengar ucapanku.

"Hei, Mbak Kinan tadi menanyakan tentang kita. Kenapa kita bisa jadi sedekat ini padahal baru kenal." Rio mencoba mengganti topik untuk mengalihkan perhatianku agar aku tidak benar-benar marah padanya. "Dia bilang, dia belajar dari kita."

"Belajar? Tentang apa?" tanyaku sembari menyeruput latte pesananku yang baru datang.

"Katanya, kita itu cinta yang datang tiba-tiba. Sepertinya anak-anak senang ketika kita benar-benar menjadi kekasih."

Aku tersipu mendengar ucapannya. Memang benar sih, aku sendiri pun mengatakan kisahku dengan Rio itu unik. Sejak Ibel menanyakan hubunganku tentang Rio, anak-anak yang lain juga penasaran dengan kami. Bahkan banyak yang mengira kami sudah mengenal lama. Dari sekian banyak anak teater, yang lumayan dekat denganku hanya Ibel, Jo dan Kinan. Mereka semua lebih tua dariku. Ah, di teater ini aku masih menyandang predikat anggota paling muda, kok. Lalu, Jo dan Rio adalah teman semasa sekolah. Aku memutar mataku, ternyata dunia itu sempit sekali. Karena aku sudah cukup lama mengenal Jo, dan ternyata aku sudah pernah bertemu dengan Rio, sekitar empat tahun lalu, hanya saja aku terlalu cuek dengan sekelilingku saat itu.

Aku memandang Rio yang duduk di hadapanku, dia sedang mencoba menyalakan rokoknya. Kulihat wajahnya, matanya, gerakan tubuhnya. Kami memang suka menghabiskan waktu bersama seperti ini. Tidak terlalu banyak bicara mungkin, tapi menurut kami, duduk berdampingan dengan secangkir kopi dan menikmati langit malam itu cukup.

"Aku menikmati secangkir kopi dan langit malam. Tapi ini belum sempurna, karena dirimu tidak ada di sampingku," kataku dulu saat aku kemari seorang diri karena Rio sedang lembur di kantornya.

Menyadari sedang kuperhatikan, dia memberikan senyuman padaku. Aku kembali melihat matanya dan membalas senyumnya. Ah, apa aku sanggup melihat luka kecewa di sana, karenaku nanti?

"Senyummu indah. Apa aku egois kalau aku ingin memiliki senyummu dan menjadi alasan kau tersenyum?" Aih, aih, siapa yang mengajarinya menggombal seperti ini?

"Kau aneh kalau menggombal seperti itu," kataku.

"Aku kan hanya menirumu, Ai." Dia memutar mata mendengar ucapanku.

"Kalau begitu biarkan aku saja yang menggombal," jawabku tertawa.

"Mas Io?" panggilku.

"Ya?"

"Aku ingin bercerita sedikit... Boleh?"

"Tentu saja."

Aku mengubah posisi dudukku, gugup.

"Kau ingat, kan, aku pernah mengatakan kalau kau menemukan aku saat aku benar-benar hancur? Bersamaku, kisahmu tidak akan mudah. Tidak akan pernah. Dan sekarang, aku ingin bercerita tentang hidupku. Alasan luka yang tadi kau tanyakan. Dan... masa laluku."

Denial [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang