Bahagia itu... Sederhana

184 10 1
                                    

"Apa kau nyaman denganku?" tanyaku pada Rio. Senja ini aku duduk dengannya di halaman belakang pendopo dekat rumahku. Aku yang mengajaknya, jelas. Itu pun bermodal nekat membuang malu, sebelum aku berpikir sebaliknya, dan di sinilah kami.

"Menjemput senja," kataku kemarin malam saat dia menanyakan ada apa gerangan, tiba-tiba aku mengajaknya ke pendopo. Toh itu memang benar, aku duduk di atas bukit kecil membelakangi Rio yang di sampingku. Aku menatap halaman belakang--lapangan rumput yang dikelilingi banyak pepohonan. Biasanya teaterku menggunakan lapangan itu untuk latihan olah vokal. Di balik pepohonan itu, terdapat danau dengan beberapa petak kebun bunga mengelilinginya. Ck, kurang bagus apa pemandangan ini, ditambah dengan langit sore dengan semburat oranye yang tercermin di permukaan danau? Sudah kubilang, kami menjemput senja.

Oke, kembali ke awal. Kupikir Rio cukup terkejut dengan pertanyaanku, karena dia terdiam beberapa saat sebelum balik bertanya.

"Ada apa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?" katanya. Aku memutar mataku. Kenapa tidak langsung jawab saja sih, rutukku dalam hati.

"Tenang saja, itu baru pertanyaan pertama. Nantinya akan banyak pertanyaan untukmu."

"Jadi kita di sini mengadakan sesi tanya-jawab yang mendalam?" Kedua matanya membulat menatapku. Aku mengangguk, tersipu dan kembali memandang danau.

"Aku ingin tahu, huruf C di namamu singkatan dari apa?" tanyanya mendadak. Oh, jadi dia tidak tahu? Memang sih, selama ini aku hanya menulis namaku 'C. Aileen' karena itu lebih simpel.

"C, Cinta. Untukmu," jawabku. Seketika Rio menutup mukanya dengan tangan, malu sepertinya. Aku tertawa geli melihat sikapnya itu. "Atau Cantik, untukku," kataku di sela-sela tawaku.

"Kalau memang untukku, akan kubawa pulang,"

Deg.

Aku langsung terdiam. Dalam hati sih aku berteriak: 'bawa aku pulang, Mas! Bawa aku!'

Oke, fokus Aileen. Fokus. Kemudian aku tertawa lagi melihatnya menatapku.

"Kau terlihat bahagia," katanya lagi.

"Tentu saja. Karena ada dirimu yang mengantarku menjemput senja. Apa kau tidak bahagia?"

"Aku... bahagia."

"Kenapa?" tanyaku.

"Karena aku di sampingmu,"

"Seperti kemarin malam?"

"Ya, seperti kemarin malam. Saat di Master Cafe, kalau itu maksudmu.Haha, padahal saat pertama kenal denganmu, aku hanya diam dan menatapmu."

"Mas Io, aku ingin cerita tentang... mantanku." Kulihat dari sudut mataku, Rio terlihat gelisah dan tidak tenang. Eh? Dia tidak mendadak sembelit kan? Oke, kau bodoh Aileen. Dia seperti itu karena kau menghancurkan suasana yang sedang bagus tadi. Gara-gara kau menyebut mantanmu! Ah, kepalang tanggung. Toh dia diam dan mendengarkan. "Kemarin malam, mantanku bilang ingin membenahi hatiku, yang kuakui memang sudah hancur."

"Oh, lalu kau terima?" Suaranya terdengar sedikit dingin.

"Aku tidak mau. Karena aku sudah menemukan seseorang yang membuatku nyaman." Aku menghentikan ucapanku, melirik ke arahnya. "Kau," lanjutku.

"Aileen, apa kau tahu, saat bersamamu kemarin... menurutku sesuai dengan lagu Beautiful Day," balasnya sembari tersenyum menatapku.

"Itu ceritanya si cowok bahagia karena ceweknya pergi, kan?" tanyaku heran.

"Menghayati lagunya lebih dalam. Boleh gantian aku yang bercerita sedikit?"

"Banyak juga tak apa."

"Sedikit saja."

"Buruan." Mataku menyipit memandangnya, mencegah terjadinya perdebatan bodoh di sini, agar dia segera bercerita. Dia terkekeh geli, dan memulai ceritanya.

oOo

Selepas senja, Rio mengantarku pulang ke rumah. Aku segera berbaring di atas kasurku setelah Rio pergi. Hatiku berkecamuk. Aku memejamkan mata, mengingat cerita Rio sore tadi.

"Aku baru berpacaran dua kali. Terakhir, 4 tahun yang lalu." Rio terdiam sejenak, menghela napas. "Selama empat tahun ini... Jujur saja, aku tidak bisa melupakannya, Ai. Tidak bisa melepas bayangnya dan bahkan aku tidak sanggup untuk menjalin hubungan dengan perempuan lain sekali pun ada yang mendekatiku." Dalam hati aku mulai panik, apa saking kecewanya, dia jadi belok dan menyukai sesama jenis? Oh, God, aku mendadak ingin berenang di danau itu. Tubuhku pasti tenggelam, kan, kalau di sana? 

"Tapi denganmu, it's beautiful day. Aku nyaman denganmu. Aku tertarik padamu. Dan... karena kehadiranmu, aku bisa melupakan mantanku," lanjutnya.

Terima kasih, Tuhan, karena aku tadi menahan diriku untuk tidak menggelindingkan badanku sendiri ke arah danau. Stupid, me.

"Aku tahu kalau tertarik padaku," kataku.

"Sejak kapan?"

"Sejak kita pertama bertemu. Di matamu aku melihat bahwa kau tertarik sekaligus takut untuk terluka lagi, padaku. Aku tahu, karena pasti terlihat hal yang sama di mataku," kataku sembari tersenyum menatapnya.

Saat ini aku bahkan masih tersenyum sendiri mengingat percakapan itu. Tak apa, kan, aku melepas hatiku untuk terbang bebas dan terjatuh di hati mana pun yang ia pilih? Hatiku ingin memilihmu, Mr. Yvonne. Dan otakku setuju.

Denial [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang