Interlude

203 16 4
                                    

Aku pulang tepat jam sepuluh malam. Sesampai di rumah, aku mengecek pesan masuk di whatsapp--yang sebenarnya sudah heboh minta dibuka sejak beberapa jam lalu. Aku malas membukanya, karena aku tahu pasti itu dari siapa : Putra. Benar saja. Laki-laki itu masih menganggap aku pacarnya, dan dia masih saja mewajibkan aku untuk segera membalas pesannya, kapan pun dia menghubungiku. Yang benar saja! Ini sudah tiga bulan kami putus. Ah. Ada pesan baru lagi.

"Kamu kenapa tidak membalas pesanku?" tanyanya.

"Aku sibuk."

"Sibuk apa? Kamu kan sedang libur kuliah!"

Dia masih saja belum berubah. Meremehkan segala kegiatanku, seolah-olah hanya dia seorang yang selalu amat sangat sibuk karena dia sudah bekerja.

"Putra, bagaimana kalau aku menemukan laki-laki yang membuatku nyaman?" balasku, mengabaikan kalimat dia sebelumnya. "Mungkin tiga bulan ini aku seperti memberi harapan padamu. Tapi aku tidak bisa seperti ini terus. Aku tidak nyaman dengan semua sikapmu."

"Kamu mau pergi dariku, Hun? Aku tahu aku salah hingga kamu menjadi seperti ini. Maafkan aku. Kalau aku yang menghancurkanmu, let me fix you, please."

"Iya. Kamu menghancurkan aku, Put. Lalu, ke mana saja kamu tiga bulan ini sampai baru sekarang kamu tergerak untuk membenahi aku? Tiga bulan ini aku menunggumu. Tapi kamu sama sekali tidak berubah! Kamu membuatku semakin merasa aneh dengan dirimu. Aku asing dengan kita. Aku tidak nyaman, Putra. Hahaha. Kalau aku tidak mengatakan ada laki-laki lain yang membuatku nyaman, mungkin kamu tidak tergerak untuk berkata seperti itu ya?"

"Siapa laki-laki itu? Apa memang tidak ada kesempatan untukku lagi, Hun? Aku benar-benar minta maaf telah menyakitimu..."

"Kesempatan itu ada, tapi kamu sudah menyiakannya, kan? Dia temanku di teater. Cukup dengan maafmu! Kau tahu aku sudah memaafkanmu, bahkan sebelum kau memintanya. Hanya saja, otakku tidak bisa melupakan sikapmu. Mungkin aku yang salah karena selama ini selalu aku yang menahanmu untuk tetap ada di sisiku. Hingga ketika aku akan pergi, kamu tidak mengerti apa yang harus kamu lakukan untuk menahanku. Iya, kan?"

"Aku tetap ingin menikahimu, Aileen."

"Karena apa? Karena kau telah tidur denganku?" tanyaku.

"Iya. Aku merasa bertanggung jawab untuk itu."

"Tidak, Putra. Kau tidak perlu melakukannya. Itu bukan tanggung jawabmu." Itu benar, toh aku saat itu melakukannya memang dalam keadaan sadar. Dan memang bukan salahnya. Ini menyangkut... masa laluku. "Putra, bukankah dulu kau pernah mengatakan bahwa jodoh tidak akan ke mana? Berusahalah, maka kita akan bertemu jika kita benar berjodoh. Sekalipun kita telah memiliki jalan masing-masing. Kenapa kali ini kau tidak meyakinkan dirimu sendiri tentang hal itu?"

"Baiklah, kalau itu maumu, Aileen. Aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku ingin menikahimu. Tapi jika kau sudah dengan lelaki lain, aku tidak ingin menjadi pihak ketiga. Toh aku sadar jarak jauh seperti ini membuatku semakin sulit untuk mendapatkanmu lagi. Selamat malam, Aileen."

Aku menghela nafas membaca isi percakapan kami. Lihat, dia sepertinya memang tidak mengerti bagaimana cara untuk mempertahankan aku. Selama ini, seolah-olah hanya aku yang mempertahankan hubungan kami. Ketika aku memutuskan pergi bahkan dia hanya terdiam pasrah. Argh, saat aku mencoba menemukan kebahagiaan lain, kenapa dia justru seperti itu? Aku merasa... dia tidak benar-benar memperjuangkan aku.

oOo

Bahkan ketika aku memutuskan untuk berpisah dengan Putra, aku tidak menangis. Hatiku mati, hampa. Ini agak mengejutkan, mengingat perasaanku padanya yang begitu... kuat? Tapi sepertinya aku sudah cukup lelah untuk selalu bersabar. Sudah cukup untukku menjadi sasaran kemarahannya. Dia selalu dengan mudah membalikkan keadaan. Ketika aku marah padanya, entah bagaimana berakhir dengan aku yang meminta maaf karena dia menjadi kesal. Ketika marah pun dia selalu mengungkit kesalahan yang pernah kuperbuat, yang sudah terlewat berbulan-bulan sebelumnya. Ah, aku ingat terakhir kali dia marah. Sebenarnya, kejadian itu berawal dari aku yang tidak segera membalas pesannya karena aku sedang sibuk 'bercinta' dengan tugasku. Tapi, dia menganggapku perempuan yang selalu luang 24 jam untuk meladeninya. Hhhhh. Sudah cukup aku disepelekan olehnya. Mungkin dia berpikir aku tidak mungkin bisa meninggalkannya, karena selama ini selalu aku yang menahannya untuk tetap di sisiku.

Tadaa! Tebakanmu salah, Put. Aku, bisa meninggalkanmu meski sulit.

Anehnya, ketika aku minta putus, dia minta maaf tapi memberikan kesan wajar kalau dia emosi dan marah dengan sikapku yang tidak-segera-membalas-pesannya. Dia mengatakan bahwa dirinya sedang banyak pikiran karena masalah pekerjaan. Hell, sudahlah. Itu sudah berlalu.

Aku hanya ingin merasakan nyaman dengan seseorang, atau bahkan dengan kesendirianku. Aku hanya ingin sedikit bahagia. Aku ingin memberikan jeda pada hatiku untuk mencecap sedikit kebahagiaan. Apa... tidak boleh?

Denial [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang