Kakak Manis

315 11 4
                                    

Bagian I

Pagi itu memang agak sedikit dingin. Musim gugur sepertinya datang lebih cepat, dilihat dengan pohon yang sudah mulai kehilangan daun. Angin tidak berhenti untuk bertiup.

Meskipun begitu suasana taman kota tidak pernah sepi, pengunjung lebih memilih memakai pakaian yang lebih hangat daripada harus berdiam diri di dalam rumah. Taman bunga yang selalu terjaga, pepohonan yang rimbun, ruang bermain anak dan juga danau buatan yang mempesona. Daya tarik yang sulit untuk ditolak.

Tidak terkecuali dengan remaja laki-laki yang terlihat sendirian di bangku taman menghadap danau. Posisinya sedikit kaku tegap tak bergeming, rambut merahnya bergerak liar tertiup angin begitu pula dengan dasi hitam yang seakan ikut menari-nari ingin keluar dari kerah kemeja putih. Tatapan matanya seperti menatap kedepan tapi tidak terfokus ke sudut manapun. Nyawanya seakan terbang melayang kedunia kayalan yang sangat diharapkan remaja itu. Bahkan ketika seseorang mendekat dan memakaikan jas yang sedari tadi tergeletak remaja itu tetap tidak memberikan respon.

"Aku tidak mau melihatmu."

Suaranya cukup keras dengan penekanan intonasi, memberikan petunjuk ketidaksukaan terhadap seseorang yang mendekatinya. Tapi orang itu malah duduk disampingnya, membuka kancing jas hitamnya agar bajunya tidak berantakan. Jemarinya memijit pelipis dengan pelan, berharap keadaan ini tidak semakin membuatnya kehilangan usia.

"Kenapa tidak pergi." Nada sinis terlontar dengan sengaja.

"Apa kau lupa aku kakekmu, yang sekarang menjadi wali sah mu." Ucapnya mencoba memperpanjang durasi kesabarannya.

"Aku tidak butuh pengasuh."

Untuk kesekian kalinya laki-laki itu menghela nafas, mengatur agar nafasnya agar tetap stabil. Bocah disampingnya ini hanya akan lunak jika ditangani dengan lembut. Dia adalah orang terakir yang sah oleh hukum bertanggung jawab terhadap bocah itu.

"Besok pagi kita sudah harus dibandara, jadi pulanglah sebelum petang."

Tidak ada jawaban. Meskipun sang kakek sudah beranjak pergi meninggalkannya. Remaja itu hanya mengepal tangannya dengan erat, dagunya menekan kuat dan matanya menatap tajam. Menahan marah. Bagaimana kerasnya dia melawan hasilnya akan tetap sama, dia harus pergi keluar negri meninggalkan papanya yang sedang koma. Ini adalah salah satu keinginan papanya jadi mau tidak mau suka tidak suka harus dia jalani.

------------------

"Saatnya pulang kyuu." Untuk sesaat raut mukanya menunjukkan kesedihan. Setelah mamanya meninggal, menjadi kebiasaan mengucap apa yang biasanya sang mama katakan.

Kakinya bergerak dengan pelan, arah mata berada tak jauh dari langkah kakinya. "Kenapa", "bagaimana" dan "jika" terus terulang tanpa henti.

Seakan semua indra tidak terhubung dengan sensor utama remaja itu pun benar-benar tidak memperhatikan sekelilingnya. Tidak memperhatikan juga kalau ada seorang anak kecil yang secara ajaib jatuh menimpa raganya.

Butuh beberapa detik untuk mencerna kejadian ini. Tubuh anak itu terpelanting dan jatuh mendarat di tubuh remaja tadi, entah apa dan bagaimana bisa mungkin terjadi. Tapi di seberang tidak jauh dari tempat itu terdapat beberapa pemuda dengan pakaian norak dan dengan perilaku yang tidak punya etika sama sekali, tertawa lepas melihat kejadian ini. Siapapun juga pasti akan berasumsi mutlak kalau pemuda-pemuda berandalan itu pelakunya.

----------

Keuntungan besar terlahir dari marga terpandang, remaja tadi dapat bertindak sebagai putra mahkota. Dia juga tidak harus susah-susah membereskan para berandal tadi, puluhan orang sudah melakukan pekerjaan itu. Biasanya dia akan melakukan semaunya, suasana hatinya sedang carut marut jadi layak jika orang-orang tadi jadi barang pelampiasannya.

Tapi remaja tadi masih terdiam, memperhatikan anak kecil yang sekarang masih berusaha bangun. Tidak ada yang istimewa, pakaian lusuh dan kotor, badan yang kecil, kurus. Seperti anak yang tidak terurus. Yang membuatnya tertarik hanya wajahnya, senyuman yang masih terpatri begitu sadar ada yang memperhatikan. Dan warna bola matanya entahlah terasa sama dengan milik papanya.


Bersambung...
--------------

Catatan tak penting....
Kami putus disini ya, gomennasai ne...
Habis kayanya udah puanjaaaaang udah lebih dari lima ratus kata loh dihitungan kita.

Ja matta...

Tulip HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang