Denaturasi

14 2 0
                                    

#Denaturasi

(seringkali aku takjub pada ikatan-ikatan antar hati dalam hidup yang diciptakan Allah, bagaimana dalam hitungan detik DIA mampu membentuk ikatan antar hati sementara di detik lain DIA memutus ikatan lainnya... .)



"Anggita Franklin!"

Semua mata tertuju pada satu sosok yang saat ini mengangkat tangan. Kulitnya lebih putih dibanding dengan orang Indonesia kebanyakan. Rambut coklatnya menandakan bahwa dia berdarah campuran. Sejak itu, eksistensinya seperti barang langka, dikagumi banyak orang. Betapa tidak, populasi perempuan di Fakultas Teknik itu bisa dibilang satu banding seribu. Sekali ada, ini malah blasteran.

Hampir semua teman laki-lakinya mengagumi Anggita, berebut untuk menjadi teman bahkan pacar. Pertanyaannya, apakah Dirga juga tertarik? Jujur, selama semester pertama misal ada yang bertanya bagaimana ciri-ciri Anggita kepadanya seratus persen Dirga tak akan mampu menyebutkannya. Jelas, karena Dia memang tak pernah memperhatikan Anggita. Bukan tidak tertarik, tetapi kepalanya sudah penuh dengan target capaian hidup yang sudah ia buat. Dia hanya fokus pada apa yang ingin dia capai. Itulah dirinya, Langit Dirgantara.

Suatu hari, ketika dia berada di toilet lantai dua gedung fakultasnya, dia mendengar percakapan antara beberapa orang yang Ia kenali sebagai suara Aldi, Bara, dan Rendra. Mereka membicarakan Anggita, lebih spesifik membicarakan tentang tubuhnya. Dirga jengah, ingin segera ia pergi dari tempat itu namun langkahnya terhenti ketika mendengar mereka merencanakan hal yang buruk pada Anggi.

Perhatiannya tak fokus setelah mendengar percakapan teman-temannya di toilet tadi. Tiga mata kuliah yang notabene menjadi favoritnya sama sekali tak ia perhatikan. Sesekali dia melirik Anggi, bingung untuk memulai percakapan karena mereka tak pernah terlibat percakapan intens selain diskusi kelompok yang bahkan bisa dihitung jari. Bahkan sampai jam pulang, Dirga belum berhasil mengatakan apa-apa pada Anggi.

Setelah bel berbunyi, Dirga merasa waktu berjalan melambat karena ia melakukan sesuatu yang paling ia benci, menunggu. Dia sengaja tak segera ke luar ruangan untuk memastikan Anggi keluar terlebih dahulu. Namun harapannya tak terkabul. Anggi sepertinya masih mengerjakan beberapa hal dan Aldi memanfaatkannya seolah-olah bertanya tentang materi kuliah. Merasa diperhatikan oleh Aldi, akhirnya Dirga pun ke luar ruangan.

Dirga berjalan tergesa ke arah pos satpam di pintu masuk fakultas. Dirga yang sudah terbiasa lari keliling kompleks, entah mengapa sekarang merasa jarak gedung fakultas dan pos satpam yang hanya puluhan meter itu sangat jauh. Peluhnya memenuhi kening dan lehernya. Dia tergesa meyakinkan dan meminta bantuan satpam untuk ikut dengannya.

"Lepasin Anggi!",

Dirga berteriak sesampainya di pintu. Otot kakinya melemah, hatinya bersyukur bahwa ia datang tak terlambat. Dan untuk pertama kalinya, Dirga menatap dalam wajah dan rambut kecoklatan perempuan yang dibicarakan banyak temannya. Mungkin juga terakhir kali, karena keesokan harinya rambut itu telah tertutup hijab, rapi.

--

Dirga menatap kalendernya di meja belajar yang penuh tumpukan buku. Sesekali, ia menatap buku kumpulan mimpi yang ia tulis sejak di bangku SMA. Ada dua mimpi berdekatan yang belum ia coret.

Wisuda,

Menikah.

Dirga tersenyum melihat dua mimpinya itu. Wisuda sudah di depan mata, semua persyaratan telah ia selesaikan. Menikah? Dahinya mengernyit, alisnya menyatu. Hatinya bertanya pada diri sendiri, apakah dia sudah siap untuk itu? Dirga tak mengkhawatirkan pekerjaan untuk menafkahi istrinya nanti karena sudah sejak enam bulan lalu ia menjadi pegawai kontrak di salah satu cv sebagai cost estimator, ditambah lagi sudah ada panggilan kerja dari Developer ternama di Jakarta setelah wisuda karena dia termasuk mahasiswa berprestasi di angkatannya. Satu-satunya yang belum ia siapkan adalah calon istri.

Sejak malam itu, dia menambahkan dua roka'at sebelum tidur untuk meyakinkan hatinya mengambil keputusan. Dan Dirga bisa melihat jelas, sepekan setelah ia rutin ber-istikhoroh. Dirga bermimpi, menggenggam tangan seorang gadis dengan rambut sebahu. Dan yang membuatnya tersentak adalah, rambut itu berwarna coklat kehitaman. Hanya satu nama yang terbersit setelahnya .... , Anggita.

Jika kalian berpikir setelah kejadian tiga tahun lalu Dirga menyimpan perasaan untuk Anggi, jawabannya adalah TIDAK. Dia laki-laki normal tentunya, namun ketertarikan terhadap lawan jenis seperti sebelum-sebelumnya bisa ia kendalikan karena Dirga selalu paham prioritas bagi hidupnya. Karena itu, setelah mimpi itu Dirga tak segera mengambil langkah. Dia justru menambah jumlah roka'at dalam istikhorohnya dan ketika hatinya benar-benar yakin, Dirga membulatkan tekad untuk mengutarakan maksudnya kepada Anggi melalui bantuan Dini.

--

Sudah dua pekan Dirga menunggu jawaban Anggi melalui Dini.

"Din, gimana?"

Berulang kali Dirga mengajukan pertanyaan itu setiap bertemu Dini. Namun hanya gelengan kepala sepupunya itu yang menjadi jawaban membuat Dirga merasa begitu cemas. Ah, mungkin ini ujiannya, dia menenangkan dirinya sendiri.

"Dini nggak berani bertanya A'.., Teh Anggi kelihatan sibuk banget. Ketika Dini bertanya pertama kali jawaban teh Anggi butuh waktu... ", Dini menjelaskan seolah membaca kecemasan pada wajah Dirga.

Dan Dirga ingat pagi itu, untuk pertama kalinya hatinya berdebar hanya karena melihat nama yang masuk di aplikasi whatsapp-nya

Afwan Dirga, baru memberi kabar ... .

Untuk saat ini, aku belum siap menikah.

Mohon maaf sekali lagi.. .

Untuk saat ini? Dia tidak paham. Tetapi yang jelas, kesimpulan pesan itu adalah lamarannya ditolak!

Tbc

--

Denaturasi

Proses pemecahan atau perusakan ikatan-ikatan kimia yanglemah dalam protein akibat perlakuan tertentu yang menyebabkan rusaknya struktur kuartener, tersier bahkan struktur sekunder protein-kimia.

--

Hai-hai, terimakasih banyak yang sudah nengok cerita ini..

Kritik dan sarannya please....

Fyi, cerita ini memang fokus penggambaran Anggi tetapi ke depan akan disisipkan pov dari Dirga dan Dini. Konfliknya belum terlihat kah? Maafkan jika alurnya lambat karena belum berpengalaman dalam menuliskan cerita... 

EQUILIBRIUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang