Reduksi-2

15 2 0
                                    

Melepaskan hal yang menurutmu penting dalam hidup membutuhkan banyak energi, keberanian, menguras pikiran, mengurai kenangan, dan menyisakan tangisan ... (Reduksi-Anggi)



Anggi menggunakan sneakersnya dengan tergesa. Ada beberapa hal yang harus Ia selesaikan hari ini juga, mengumpulkan skripsi ke jurusan dan perpustakaan universitas, pengambilan toga dan undangan wisuda, dan yang paling penting adalah visa keberangkatannya tiga pekan lagi.

"teh, nggak sarapan dulu?", Dini menghadangnya tepat ketika dia memegang gagang pintu.

Anggi menggeleng, "nanti aja, di kampus..".

Anggi melenggang pergi setelah mengucap salam dan melambaikan tangan. Sesampainya di basement, Anggi menuju mobil Lexus NX 200T putih yang Ia miliki dan mulai menjalankannya. Meski papa mengusir Anggi dari rumah, bukan berarti papa lari dari tanggung jawab. Barang-barang Anggi termasuk mobil masih bisa ia gunakan, kebutuhan Anggi masih papa penuhi. Memang, sebatas biaya kuliah sedangkan biaya hidup dan sebagainya Anggi dibantu oleh umi yang mengelola beberapa usaha. Dia pun masih menerima tawaran menjadi brand ambasador pakaian muslimah yang membuat Anggi tak terlalu khawatir dengan keadaan ekonominya.

Orang tua Anggi bercerai ketika dia masih berusia 10 tahun. Anggi, yang saat itu hanya mengenal bahagia lewat materi memilih tinggal bersama papanya dibanding dengan mama yang kini ia panggil umi. Setelah bercerai, umi memilih kembali ke tanah kelahirannya di Cimahi. Mendirikan pesantren, sekaligus berbisnis.

Butuh tiga jam bagi Anggi menyelesaikan administrasi kelulusannya dari Universitas. Saat ini, dia berada di ruang tunggu pengajuan visa di Kedutaan Besar AS. Anggi memainkan jemarinya menghitung antrian yang harus ia lewati sebelum tiba gilirannya sendiri. Merasa memiliki cukup waktu, ia raih ponselnya sedikit ragu. Ditatapnya layar berukuran 5 inch dengan gambar seorang pria yang tersenyum memeluknya , dan menampilkan tiga huruf dengan nama kontak di layar: Dad ...

Anggi menghela napas, teringat lagi tatapan dingin papanya hari itu ketika dia memutuskan untuk berhijab. Anggi tahu, kemarahan itu sebenarnya hanyalah asap yang berasal dari api provokasi mama Carla, ibu tirinya. Anggi ingat hasutan-hasutan ibu tirinya yang seolah-oleh terlihat mengkhawatirkan keadaan papanya di masa depan yang menurutnya akan disebabkan oleh gaya berpakaian Anggi. Sialnya, papa tak mau mendengar argumen apapun darinya dan memilih memintanya keluar dari rumah dan hatinya terluka, kecewa. Kecewa itulah yang membuatnya bertahan tak menghiraukan panggilan papanya ataupun sekedar memberi kabar tentang keadaannya.

Setelah beberapa lama, jempolnya berada sekitar 3 mm dari layar ponselnya, akhirnya Anggi memberanikan diri menekan icon call berwarna hijau itu.

Tuut... tuut.. . Nada sambungan itu seakan berbunyi sepanjang hari. Setelah nada keempat, ia bisa mendengar suara berat seorang pria yang meski membuatnya kecewa, namun tetap membuatnya rindu.

"ya Tuhan... Anggi, finally you call me dear..."

"hmm...", hanya itu yang mampu Ia ucapkan saat itu. Dadanya bergemuruh, bagaimanapun hatinya tak bisa berbohong bahwa ia sangat merindukan pria di seberang sana, yang saat ini mungkin juga merasakan hal yang sama dengannya.

"How is it going, dad?"

"without you dear? Can't you guess?"

Suara di seberang sana sedikit serak. Anggi menggit bibirnya, membayangkan bahwa ia telah membuat papanya menangis. Sungguh hatinya tercabik.

"Dad, aku akan pergi ke California. Menyelesaikan gelar masterku disana.."

Anggi mengutarakan maksudnya menghubungi papa. Tak ada jawaban beberapa detik, membuat Anggi khawatir akan respon papanya.

"Thank God.., ayo kita bertemu saja sayang".

Jawaban papa membuat pundak Anggi yang tegang sejak tadi menurun, lega. Anggi segera mengiyakan ajakan itu dan berjanji akan menemui papanya setelah beberapa urusannya selesai.

--

Anggi sampai di apart pukul 10 malam. Setelah menyelesaikan pengajuan visa, dia langsung memenuhi janjinya menemui papa. Dia menangis melihat cekungan pada wajah papanya. Mereka banyak bertukar cerita dan melupakan waktu yang berlalu yang terasa begitu cepat bagi keduanya. Tadinya, setelah makan malam papa mengajak Anggi untuk pulang. Dia sama sekali tak marah, kejadian dulu hanyalah emosi sesaat seorang papa yang terkejut dengan perubahan putrinya yang begitu drastis. Papa meyakinkan Anggi bahwa dia akan menghormati setiap keputusan yang Anggi buat. Sepanjang obrolan, puluhan kali Papa meminta maaf atas keputusannya mengusir Anggi dan sebanyak itu pula Anggi menjawab bahwa Ia baik-baik saja dan harusnya dia yang meminta maaf. Anggi tidak mengiyakan ajakan papanya untuk pulang bukan karena ia tidak rindu, namun Ia ingin papanya membicarakan keputusannya itu dengan mama Carla. Dia, benar-benar ingin ke California dengan perasaan lapang tanpa meninggalkan masalah apapun.

Setelah bersih diri dan berwudhu, Anggi meraih mukenah yang terlipat rapi. Ia berniat untuk sholat malam sekaligus istikharoh atas keputusan yang akan ia ambil. Ia khawatir tak bisa bangun saat sepertiga malam karena jujur dia sangat lelah. Diliriknya Dini yang sudah pulas tidur bahkan sejak ia pulang. Dihamparnya sajadah, dan ia angkat kedua tangannya sejajar bahu. Dan inilah ia saat ini, menikmati sepi untuk berkholwat dengan Sang Pencipta Maha Tinggi.

--

Anggi terbangun oleh suara adzan subuh. Diusapnya pipinya yang sedikit basah. Dia melihat mukenah yang masih ia gunakan. Ah..., dia tertidur di atas sajadah yang bahkan masih basah karena tangisnya semalam. Setelah berwudhu dan sholat shubuh, ia lanjutkan aktivitasnya dengan tilawah. Kebiasaan yang tidak pernah ia tinggal sejak ia memutuskan berhijab. Setelah menyelesaikan aktivitas pagi, ia mengambil ponselnya yang masih tersimpan di dalam tas yang ia gunakan semalam. Anggi terdiam sejenak, meyakinkan hatinya atas keputusan yang akan ia ambil. Dan sebenarnya, hatinya telah yakin. Lalu ia pun mulai mengetikkan huruf demi huruf di layar ponselnya. Dia tersenyum membaca apa yang telah ia tulis.

Sorry, Dirga ....

Tbc.

--

Please, kritik dan sarannya yaa..

Butuh belajar banyak.., masih banyak kekurangan. Pinginnya nulis lebih banyak tapi idenya Cuma segini aja... hehe...

EQUILIBRIUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang