Bismillahirrahmanirrohim,
Siapa saja, semuanya saja,
Izinkan saya menawarkan dan menyebut karya tulisan saya ini sebagai Skenovela.
Barangkali ini akan menjadi semacam genre baru dalam dunia penulisan (fiksi/sastra). Yaitu memadukan dua unsur penulisan format dan ploting ke dalam satu karya tulis: Skenario dan Novel. Maka jadilah Skenovela. Selama ini, banyak yang mengeluhkan ketidakpersissamaan karya film dengan novel, dan atau sebaliknya. Saat menonton film, orang berkata kok tidak sama ya dengan novel-nya? Begitu pun sebaliknya, ketika dari skenario dituliskan ke dalam bentuk novel, kok nggak sama dengan film-nya ya? Tak bisa dipungkiri bahwa karya film dan novel jelas-jelas berbeda. Satu dibesut sutradara berdasarkan skenario yang ditulis oleh penulis skenario (screenplay) dan satunya lagi ditulis penulis novel atau novelis. Agak rumit menyatukannya. Bahkan hal ini sudah berjalan, bertahun-tahun, berabad lamanya. Tapi apakah iya selamanya begitu? Tak bisa dipersatukan. Nanti dulu. Karena, kekecewaan seperti itu, argument seperti itu, sanggahan seperti itu, setiap sehabis menonton atau membaca, dan lalu membandingkan antara keduanya, film dengan novel, menyebabkan saya berpikir bagaimana bisa menyatukan keduanya, antara film dan novel ke dalam satu bentuk karya tulis. Maka jadilah gagasan ini, Skenovela. Barangkali bisa jadi suatu solusi untuk 'tak selalu' dibedakan oleh film dan novel. Insya Allah. Kira-kira gagasan itu seperti ini. Secara deskriptif penulisannya mengacu kepada penulisan novel yang naratif, namun secara struktur formatnya mengacu pada bentuk skenario, yang mana plotingnya diurut berdasakan scene demi scene, adegan demi adegan. Sebenarnya dalam novel, scene atau adegan itu ada, namun tidak berurut sebagaimana skenario. Sehingga siapapun itu, saat membaca novel, tidak secara eksplisit melihat dan merasakan urutan atau alur adegan tersebut. Untuk menuntun pembaca bisa melihat jelas sekaligus merasakan urutan atau alur adegan, maka dengan skenovela ini bisa diwujudkan. Jadi skenovela itu maksudnya ialah kalau dibaca, naratif seperti novel, namun alurnya alur scenario, urut-urutan scene-scene-nya, adegan-adegannya tergambar dengan gamblang. Ringkasnya begini, skenovela itu, skenario yang ditulis dengan format novel. Jadi ketika dijadikan karya sinema, orang akan merasakan hal yang sama ketika nanti membaca novel-nya.
Dan bagi penerbit, bisa jadi ini dapat membanggakan karena melahirkan genre baru dalam dunia penulisan.
Sebagai catatan, sebelumnya, sineas besar Indonesia, Sjuman Djaja, pernah menuliskan karya seperti ini dalam karya "AKU" (Berdasarkan Perjalanan Hidup dan Karya Penyair Chairil Anwar), 1987, namun dia tidak menyebutnya sebagai Skenovela, melainkan tetap menyebutnya sebagai skenario. Mungkin karena sebelum itu "AKU" tidak ada karya dalam bentuk novel, jadi tidak ada perbandingannya untuk bisa membedakan mana skenario, mana novel. Beda dengan Laskar Pelangi, Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Negeri 5 Menara, 5 Cm, Surga yang Tak Dirindukan, Dear Nathan, Dilan, dan lain sebagainya. Yang bisa dibandingkan antara skenario dan karya novel-nya. Yang mana - mudah-mudahan saya tidak salah, keduanya memiliki plot yang berbeda, bahkan dialognya pun ada beberapa yang tak sama persis, yang pada bagian-bagian tertentu pun dihilangkan. Tapi pada karya Skenovela, mudah-mudahan tidak ada yang hilang sama sekali, baik pengadegan maupun dialog-dialognya, karena sudah melebur dalam satu karya.
Terima kasih Allah,
Terima kasih Rasulullah,
Terima kasih Istri dan anak-anakku tercinta
Terima kasih sahabatku, pembacaku semua....
Selamat menikmati skenovela ini.
Semoga dengan skenovela ini,
semakin indah cinta yang telah kita miliki.
Jakarta, 14 Juni 2018
Harris Cinnamon

KAMU SEDANG MEMBACA
Ar Rahman: Mahar Terindah
Romance"Baca Al Quran mestinya bikin kamu selamat, bukan kecelakaan. Ini malah dapat musibah. Mobil hancur. Untung kamu nggak mati." --- "Ini pasti gara-gara kamu menghafal surah Ar Rahman itu! Sudah mama bilang jangan ikuti kemauan perempuan itu, masih ju...