Sejurus kemudian...
24. Mobil jip Rubicon putih membelah malam. Warnanya yang putih terlihat menyala dan gagah di bawah kilatan-kilatan cahaya kota Jakarta. Baik dari cahaya lampu-lampu pertokoan, lampu-lampu jalanan maupun dari lampu-lampu motor dan mobil yang berseliweran.
Billy dan Ayla di dalamnya.
Keduanya diam saja.
Billy yang duduk di belakang stir, pandangannya focus ke jalan raya. Namun tak dipungkiri, sesekali ia melirik ke arah Ayla yang duduk di sebelahnya. Cukup lama keduanya tak bersuara. Agaknya Billy sedang mencari kata-kata untuk bisa memulai pembicaraan. Begitu pun Ayla, dia juga tak bersuara. Sepertinya ia hanya menunggu sampai Billy mengajaknya bicara. Namun dari arah bangkunya, ia dapat merasakan betapa sesekali Billy mencuri pandang, memperhatikannya.
Setelah beberapa saat terdiam tak bersuara, Billy akhirnya memecah keheningan, memulai mengajak Ayla bicara.
"Eng..., kamu kenal Lidya dari mana?"
"Waktu pertama kali nawarin produk-produk perusahaan kami ke kantor Billion."
"Oh, aku pikir berteman sejak SMP atau SMU?"
Ayla menggeleng. "Sejak saat itu kita jadi berteman. Lidya asyik diajak berteman."
Billy tersenyum. "O iya, " tukasnya kemudian, seperti teringat sesuatu. "Maaf, aku belum sempat membaca surat penawaran kamu."
"Nggak apa-apa, Mas."
Billy manggut-manggut. "O, iya. Kamu boleh catat nomor handphone aku. Jadi kamu bisa mengingatkan aku. Takut lupa."
Ayla tersenyum. Lalu ia mengeluarkan ponsel dari tasnya. Namun belum sempat mencatat, ponsel Billy justru berdering. Billy mengangkat ponselnya. Ia melihat nama Winda tampil di layar LCD ponselnya. Wajahnya seketika terlihat tegang dan kaku. Ponsel itu kembali di letakannya di dashboard mobilnya.
Ayla hanya melirik, tanpa memberikan komentar. Sementara ponsel itu terus berdering, bikin bising.
25. Sementara di ruang tamu rumah Mama Raina, Winda uring-uringan. Hatinya kesal. Menahan amarah yang membuncah di dadanya. Beberapa kali ia menelpon Billy, tapi ponselnya tidak diangkat juga. Selly yang berada di dekatnya, diam saja.
"Coba kamu lihat, Sell," Winda sewot. "Billy sama sekali tidak mau mengangkat hape-nya."
Selly coba menjawab kalem. Coba menenangkan. "Mungkin sedang tidak aktif..."
Tapi Winda tetap sewot. "Aktif kok!" sungutnya kesal.
Merasa tak enak dengan Winda, Selly kemudian berinisiatif, mencoba menelpon kakaknya itu...
26. Ponsel Billy kembali berdering. Tentu saja hal itu kembali membuat wajahnya tegang dan kaku. Billy tak mengangkatnya, mendiamkan saja ponsel itu terus berdering. Ayla mengernyitkan dahinya, bingung, kenapa Billy tak mengangkat ponsel itu.
Entah disebabkan tak tahan dengan berisik bunyi dering ponsel itu atau karena penasaran kenapa Billy tak mengangkatnya, akhirnya Ayla bertanya, "Kenapa tidak diangkat, Mas?"
Billy menoleh ke Ayla dengan perasaan resah. "Paling dari adikku..." tukasnya.
"Apalagi dari adik Mas. Angkat aja. Siapa tahu penting."
Disarankan begitu oleh Ayla, dengan agak jengah diangkatnya juga ponsel itu. Dan ia sempatkan melihat LCD-nya. Takut Winda. Ternyata bukan. Nama yang tampil di LCD ponsel itu: Selly, adiknya. Alhamdulillah, bisiknya dalam hati.Ia pencet tombol dial dan mendekatkan ponsel itu ke telinganya."Ya, Sell...ada apa?" tanyanya pelan dan hati-hati.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ar Rahman: Mahar Terindah
Romance"Baca Al Quran mestinya bikin kamu selamat, bukan kecelakaan. Ini malah dapat musibah. Mobil hancur. Untung kamu nggak mati." --- "Ini pasti gara-gara kamu menghafal surah Ar Rahman itu! Sudah mama bilang jangan ikuti kemauan perempuan itu, masih ju...