Empat

23 2 3
                                    

"Kita pilih bisnis di bidang fashion saja." Usul Binar.

"Ya aku setuju. Kita perempuan selalu gak bisa mikir jika belanja." Dukung Pita.

"Aku gak setuju. Lebih baik kita membahas bisnis kuliner yang mulai trend. Fashion ada pasang surutnya. Sedangkan kuliner. Itu kebutuhan pokok manusia. Gak ada matinya." Aro semakin menguatkan idenya.

"Para wanita banyak yang diet. Jadi fashion lebih unggul." Sanggah Binar. Jelas ia tak mau kalah dari cowok pemalas seperti Aro.

"Memangnya lu pikir makhluk di dunia ini hanya perempuan saja." Ucap Aro menyangkal pendapat Binar.

"Emang iya. Bukannya populasi perempuan sudah mendominasi." Ucap Binar sengit.

"Memangnya kau pikir berapa perempuan di negara ini yang diet makanan? Sepertinya kau harus belajar banyak hal. Jangan menilai dari lingkunganmu saja. Kupikir hanya orang miskin yang suka diet." Baru kali ini mereka mendengar Aro bicara panjang lebar. Sampai anggota kelompok yang lain hanya menganga dan tak dapat bicara kecuali Binar.

Brakkkkkk.

"Apa??? Kuliner itu makanan penuh penyakit. Masakan rumah lebih sehat." Binar menggebrak meja. Sapri mencoba menenangkan Binar.

"Kentara sekali kalau kau orang miskin. Diet untuk apa? Kau artis? Model ? Atau Pemalak yang mengandalkan tubuhnya atas nama cinta ?" Ucap Aro sarkas.

Binar merah padam dibuatnya. Apalagi jika dirinya dengan cewek pemalak. Karena dirinya bukan cewek murahan yang mencari pacar untuk di kuras habis uangnya.

"Ya sudah, kita ambil kuliner saja. Soalnya takut nanti susah nyari usahanya buat kerja sama. Kalau kuliner. Kita bisa kerja sama dengan banyak orang." Akhirnya Pita menengahi.

"Tapi. ." Binar hendak mengajukan keberatannya.

"Saya ketua kelompok di sini. Jadi harap kalian semua menghormati keputusanku. Ok." Pita menekankan keputusannya. Binar hanya menghela nafas. Ia harus menahan diri, meski melihat senyuman tipis mengejek yang datang dari Aro.

Tampan. Populer. Tapi mengesalkan. Begitu penilaiannya terhadap Romeo atau Aro. Ogah ia punya pacar seperti dia.

***

Malam mulai gelap. Ia sudah berusaha keras mencari kerja yang sesuai dengan keinginannya dan tidak mengganggu jadwal sekolahnya. Tapi ternyata sulit. Kini perutnya mulai lapar. Perih. Sepertinya ia tidak punya jalan lain selain menerima tawaran kerja menggantikan nenek.

Dilihatnya kafe, warung makan, sampai restoran dipenuhi dengan manusia. Sejenak ia ingat perkataan Aro tadi siang. Bahwa makan memang kebutuhan pokok. Seperti dirinya kini. Ia kelaparan. Ia akan membeli apapun agar perutnya berhenti merengek. Namun sebelum itu ada nomer yang harus ia hubungi.

"Ha... halo. Saya Binar tante, saya siap menerima pekerjaan itu." Ucapnya.

***
Aro memeriksa jadwal. Tidak ada lagi tugas yang harus ia kerjakan. Kali ini apa yang akan dilakukannya untuk menghabiskan waktu. Rapat dengan manajer baru masih dua hari lagi. Besok malam jadwal cafe yang satunya. Dan malam ini tidak ada kegiatan apapun. Sungguh. Malam ini terasa amat panjang dan membosankan. Apa sebaiknya ia baca buku saja.

Ia melewati ruang kosong. Harusnya itu ruang tamu. Sama sekali tidak ada perabot. Ia masih belum memutuskan apakah akan membelinya atau tidak. Mau bagaimana lagi. Rumahnya ini walaupun terlihat sederhana namun besar dan luas. Kamarnya saja ada enam. Dua kamar besar di depan. Dan empat lagi di ruang tengah dan belakang. Dua kamar besar di depan sudah terpakai. Salah satunya ia jadikan kamarnya. Sedangkan kamar yang lain ia jadikan perpustakaan pribadi. Sedangkan empat yang lain kosong.

Beruntung ia memutuskan membeli perabot dapur lengkap dengan isinya. Rasanya pilihannya itu tidak salah. Karena dapur memang kebutuhan pokok. Ia tidak bisa mengandalkan cafenya untuk mengirimkan makanan dan minuman. Selain memakan waktu lama. Ia tidak tahu kapan akan haus atau lapar. Yah setidaknya kalau lagi ingin. Ia bisa memasak dengan resep dari google.

Dibukanya pintu belakang. Gelap. Halamannya luas. Rasanya cukup jika suatu saat ia membuat kolam renang. Ah. Tidak. Atau ia bisa berkebun. Jarang ada rumah yang memiliki halaman tanah yang bisa ia tanami. Ah. Tapi ia kan benci kotor. Apa ia butuh tukang kebun. Tapi yang harus menjadi catatan ia harus memasang beberapa lampu sebagai penerangan. Entah kenapa suasananya mendadak horor dengan kegelapan yang terhampar dihadapannya. Sementara dedaunan yang bergemerisik seolah menjadi latar yang sempurna kengerian kegelapan malam.

Tring.

Aro tersentak kaget mendengar bunyi handphonenya. Sebuah pesan singkat tertera di layar.

Ridwan : mau saya temani tidur?

Aro segera membalasnya.

Aro : aku bukan penakit.

Ridwan: rumah itu dijual murah karena angker lo.

Aro : angker bapak lo.

Ridwan : yakin berani ??

Aro : wtf

Aro mendengus. Ia menyesal memberinya nomer hp. Bisa-bisanya ia membuatnya takut dengan hal yang tak masuk akal. Beruntung pekerjaannya dengan bapaknya ia suka. Kalau tidak. Bisa saja besok ia sudah marah-marah.

Aro menutup pintu belakang. Ia bergegas kembali kekamarnya. Sepertinya pikirannya mulai teracuni ucapan Ridwan jika rumah ini angker. Otaknya mulai menstimulasi khayalannya untuk membayangkan yang tidak-tidak. Ia merebahkan dirinya di kasur. Mencoba menenangkan diri dan membuang pikiran buruknya. Ia memiringkan tubuh. Samar ia melihat rambut menyembul di antara gulingnya. Dadanya mulai berdegub kencang. Tidak. Ia pasti salah lihat. Dihidupkannya lampu kamar. Dan rambut itu di sana.

Hayalan yang tadi dihapus dari bayangannya kini muncul kembali. Meski takut ia beranikan diri menarik selimut dan menyibaknya. Dan apapun yang dilihatnya membuat jantungnya seakan lepas.

"Aaaaaaaaaaaaaaaaa." Teriak Aro. Perempuan itu juga berteriak dan membuka kulit di wajahnya.

"Kau? Binar?" Suara Aro menggantung melihat siapa dihadapannya.

"Aro? Ngapain elu di sini?" Tanya Binar.

"Harusnya aku yang tanya ngapain kamu di kamarku?" Bentak Aro.

"Tidak mungkin aku salah rumah kan?" Ia membuka kertasnya. Tidak ini benar rumahnya.

"Sana keluar. Kamu itu stalker ya. Gak nyangka kamu ngikutin sampai rumah. Sana keluar. Dasar cewek gila." Teriak Aro. Ia marah. Diseretnya  Binar sampai pintu depan. Ia juga baru melihat satu koper dan tas milik gadis itu.

"Tunggu Aro kamu jangan salah paham." Ucap Binar.

" Mana ada cewek yang masuk kamar cowok kecuali ia gadis berbahaya."

"Eh. Itu karna aku daritadi teriak tapi gak ada orang. Karena mengantuk aku tertidur." Binar mencoba memberikan penjelasan.

" gue gak mau dengar apapun dari cewek gila kayak elu." Ucap Aro. Ia melempar koper di depan pintu.

"Aro. Pliss. Aku pembantu barumu." Ucap Binar. Sayang Aro tidak mendengarnya. Ia sudah menutup pintu dengan kasar.

BRAKKKK.

Aro menutup pintu kamarnya. Ia langsung tiduran. Saking lelahnya hampir saja ia ketiduran. Sampai sebuah pesan masuk ke handphone-nya.

Mama : gmn pembantu barunya sdh sampai. Perlakukn dia dgn baik. Dia itu cucu bi Darmi. Kau harus balas budi pada bi Darmi.

Aro terkejut. Bagaimana ini. Binar pembantunya dan cucu bi Darmi. Astaga. Apa mama sudah gila mengirim dia kemari. Tapi apa yang bisa Aro lakukan. Bi Darmi sangat berjasa dalam hidupnya. Tapi ia juga tidak suka gadis itu.

Dengan malas Aro bangkit dan melihat apakah gadis itu pergi atau tidak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 09, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Love DepressedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang