"Apa?? Pindah?? Maaf. Aku tidak mau." Ucap Aro.
"Tapi papa dan mama tidak bisa meninggalkanmu di sini." Ucap Rahardian Kusuma pengusaha sukses yang namanya sudah terkenal sebagai pengusaha batu bara.
"Aku sudah bukan anak-anak lagi. Lagipula bukankah selama ini papa dan mama sudah biasa meninggalkanku di rumah ini."
"Tapi Aro. Mama tidak mau kamu tinggal sendirian di rumah sebesar ini. Mama hawatir." Ucap Sun He atau lebih dikenal sebagai Jasmine Rahardian, wanita asal Korea yang rela menetap di Indonesia demi suaminya.
"Oh. Jadi Mama hawatir aku buat kerusakan di rumah besar ini. Jangan hawatir ma. Bisnis Aro sukses. Nanti Aro pindah ke rumah Aro sendiri." Ucap Aro kemudian berlalu dari hadapan kedua orang tuanya yang mampu memberikan segalanya. Baik kekayaan, ketenaran bahkan ketampanan. Ya, hidup Aro nyaris sempurna.
"Bisnis katanya." Ucap Jasmine. Sementara air mata mengalir ke pipinya.
"Sabar. Semua akan baik-baik saja." Ucap Rahardian menenangkan istrinya.
Tak lama kebersamaan itu terganggu bunyi handphone yang berdering dari milik keduanya. Beberapa detik kemudian keduanya sudah sibuk dengan urusannya masing-masing.
***
Rumah itu terlihat sederhana. Berbanding jauh dengan rumah yang biasa ia tempati. Cat putihnya juga sudah kusam. Bahkan modelnya pun terbilang biasa. Tak ada sentuhan artistik sama sekali. Dibilang rumah modern lebih cocoknya jika rumah ini mirip rumah peninggalan rakyat pada zaman penjajahan jepang. Waktu itu ia membelinya karena harganya murah. Mungkin yang jual sudah kepepet dan butuh uang. Dan kebetulan juga hanya sebatas itu kemampuannya membeli sebuah rumah. Namun Aro sama sekali tidak menyangka ia akan menempatinya dalam waktu dekat. Secepat ini.
Sejenak hatinya bimbang. Apakah ia akan sanggup tinggal sendirian. Di rumah besar itu, meski papa dan mama jarang di rumah faktanya ia tak benar-benar tinggal sendirian. Ada pembantu yang menemani. Ini berbeda cerita. Tapi Aro sudah bertekad. Mungkin tak ada salahnya mencari relasi yang mau tinggal di rumahnya.
Aro mendesah. Menatap rumahnya yang kosong tanpa perabot satupun. Banyak sarang laba-laba bergelantungan. Tidak. Ia tidak bisa melakukannya sendiri. Ia alergi debu.
"Eh. Kau Aro kan?" Sapa seseorang.
Aro menoleh dengan malas. Siapa yang menyapanya di saat moodnya sedang buruk.
"A....aku Ridwan. Kita satu sekolah." Sapanya dengan senyum mengembang. Yang sudah pasti palsu. Dia hanya basa-basi. Ia memakai training dan kaos yang sudah kotor. Topinya juga lusuh. Di tangan kanannya sebuah ember bekas ia pegang.
"Eh. Ini anu. Tiap hari libur aku suka bantu bapak kerja. Biasa. Ngecat rumah. Memperbaiki barang rusak. Dan sebagainya." Ucapnya santai.
Aro termenung. Memang sih, ini bukan kawasan mewah. Rumah yang lain kebanyakan sederhana. Lingkungannya juga biasa saja. Jadi mungkin tukang reparasinya juga berwujud seperti mereka. Apakah ini sebuah kebetulan bertemu teman sekolahnya di sini.
"Ah. Kebetulan. Aku mau pindah kerumah ini. Bisakah kalian juga mengerjakan rumahku. Berapapun ongkosnya aku bayar."
"Eh. Jadi ini rumahmu?"
Aro mengangguk.
"Rahasiakan ya!" Pinta Aro pelan. Dengan sedikit tekanan nada perintah.
Ridwan mengangguk. Setelah itu Aro menyerahkan kunci rumahnya kemudian naik ke sepeda motor maticnya. Setelah melambaikan tangan ia melajukan sepeda motornya. Ia harus mencari toko meubel yang berkualitas dan murah. Untuk sementara mungkin ia beli untuk kamar tidurnya saja dahulu. Jika ia beli furnitur lengkap. Uangnya bisa habis. Setelah itu malam hari ia bisa pindah. Papa dan Mama mungkin sudah pergi.
Benar saja ketika sore ia kembali. Rumah sudah sepi. Hanya ada beberapa pembantu yang lalu lalang.
"Den. Yakin mau tinggal di rumah sendiri ?" Sapa Bi Inah. Perempuan tua yang sering membantu mengasuh Aro sejak kecil.
Aro hanya mengangguk dan berjalan ke kamarnya. Di meja ia menemukan kartu kredit. Mungkin papa meninggalkannya untuk ia gunakan. Tapi Aro tidak butuh. Ia bisa hidup dengan uangnya sendiri. Aro memilih mengeluarkan koper. Memasukkan bajunya. Barang-barang berharga lain ke dalam kardus. Dan buku-bukunya.
Mungkin hidupnya akan berubah. Tapi ia tidak akan mati bukan dengan meninggalkan kemewahan yang diberikan papanya. Toh papa tak lagi menguntungkan buatnya. Justru pemberiannya itu membuatnya terlihat menyedihkan layaknya seorang pengemis.
***
Di dalam sebuah mobil. Rahardian duduk dengan gelisah."Pa. Apa tak sebaiknya kita ceritakan masalah ini pada Roy. Sepertinya trauma anak kita masih melekat dalam pikirannya. Mama takut pa. Ia terlalu memaksakan diri dan menganggap kita orang lain." Ucap Jasmine.
"Aku setuju Ma. Tapi jadwal papa seminggu kedepan sangat padat. Bagaimana kalau mama."
"Ah. Mama juga. Apalagi ada relasi mama yang akan datang berkunjung dari Paris. Aku harus menemani mereka selama seminggu penuh."
Keduanya terdiam.
"Ya sudah kita buat jadwal pekan ketiga bulan ini husus masalah Aro." Ucap Rahardian. Dan Jasmin langsung menyetujuinya.
***
Aro memeriksa jumlah saldo di tabungannya. Ia harus pandai mengelola uang sejak sekarang. Lebih teliti lagi. Dan rencana untuk membuka cafe berikutnya harus berlanjut. Dan biayanya juga lumayan besar untuk merintis awal. Ia harus mencatatnya lebih rinci. Oh iya malam ini jadwal untuk berkunjung ke salah satu cafe miliknya. Biarkan dulu urusan kepindahannya. Yang penting barang-barangnya sudah sampai di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Depressed
Novela JuvenilBagi Aro tak ada yang istimewa dalam hidupnya. dunia sangat membosankan. semua biasa saja. Sampai terjadi tragedi yang mengubah seluruh hidupnya.