Adik kecil

1.4K 121 257
                                    

Jengah, Jaehwan berdiri di depan gerbang sekolahnya dengan kesal. Menghentakkan kaki, mengomel selagi menunggu jemputan dari pelayannya. Sudah setengah jam Jaehwan berdiri di sana tapi tidak ada tanda-tanda mobil limousin-nya terlihat.

Bosan menunggu, Jaehwan menelpon sang pelayan.

“Seongwu-hyung, kenapa belum sampai?"

“Mian, Tuan Muda Jjaeni, saya sedang di perjalanan menuju sekolah Anda."

"Huh! Jjaeni bakal bilang sama appa untuk memotong gajimu bulan ini karena keterlambatanmu! ancam Jaehwan."

“Jangan, Tuan Muda Jjaeni! Saya mohon maafkan saya, saya akan jelaskan kenapa saya terlambat menjemput Anda."

Jaehwan mendengus, "jehh... cepatlah! Jjaeni sudah lelah menunggu!"

“Maa...”

Tut

Tut

Tut

Sambungan telepon diputus sepihak oleh Jaehwan sebelum Seongwu sempat memberi penjelasan.

.
.
.

“Hiks! Mana sih pelayan bodoh itu!" rutuk Jaehwan yang ketakutan di depan gerbang. Ia mulai menangis, berjongkok sambil menelungkupkan kepala di balik tangannya.

“Tidak seperti biasanya Seongwu-hyung terlambat menjemput, cepatlah Jjaeni takut!" isaknya.

Di lain tempat ada tiga orang pria yang sedang mengawasi Jaehwan.

Hyung, gimana? Apa kita culik sekarang?" ujar pria bertahi lalat di bawah mata kanan itu.

“Hmm, sepertinya sudah aman, sekolah juga sudah terlihat sepi," pria bermata rubah itu mengangguk sambil mengamati sekitar.

“Ayo! Hampiri bocah itu!" titah pria bersurai merah marun membuka pintu mobil van mereka.

Tiga orang berpakaian serba hitam itu, menurunkan topi mereka menyembunyikan wajah, bergegas menghampiri Jaehwan.

“Hey, dek, kenapa sendirian di sini?" ujar pria bertahi lalat sambil berjongkok menyamakan tingginya dengan Jaehwan.

“Hiks!" Jaehwan mendongakkan kepala, menatap menghadap pria di depannya yang sudah berjongkok. Pria itu tersenyum menampilkan gigi kelincinya yang menggemaskan.

“Kenapa menangis?" ujarnya masih tersenyum.

“Hiks, pelayan bodoh itu belum datang, hikss, Jjaeni takut, hikss," adu Jaehwan dengan mata berkubang air mata.

“Mau kami antar pulang?" tawar si tahi lalat bergigi kelinci.

“Gak mau! Kata appa dan eomma kalau diajak sama orang yang gak dikenal, Jjaeni gak boleh ikut! Siapa tau orang itu orang jahat. Apalagi Jjaeni kan anak orang kaya, pasti banyak yang mau nyulik Jjaeni!"

Pria bersurai merah marun itu berdecih, berbalik mengamati sekitar, bergumam, sombong sekali bocah ini.

Pria bermata rubah hanya menatap, menaikan alis, sesekali mengecek jam pada ponselnya. Melirik gelisah pria bergigi kelinci yang berbicara dengan Jaehwan.

“Kami bukan orang jahat kok, dek," sahut pria berambut merah itu berbalik dengan senyuman semenyakinkan mungkin.

“Atutu lucunya,” kata pria bergigi kelinci gemas melihat bocah di depannya mengulangi perkataan orang tuanya dengan raut polos.

Tuan Muda JjaeniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang