"Memulai adalah suatu cara untuk mencapai"
Ketika senja mulai menyibak menuju kegelapan, aku masih saja termenung di pinggir sawah yang tepatnya di saung yang hampir runtuh ini. Meski begitu, aku tetap menikmatinya karena sawah adalah tempat favorit untuk menuliskan mimpi-mimpi dengan secarik kertas yang selalu aku bawa dimanapun dan kemanapun. Ini anggap sebagai doa-doaku pada sang Ilahi. Kepada senja itu aku berkata. "Ingin aku coba berkeliling kota, tapi bukan hanya kota di Indonesia saja yang aku jajaki, tapi kota di seluruh dunia." Lirihku mengaminkan sambil melirik matahari yang tersenyum hendak kembali ke rumahnya.
Tapi bisikan jahat terkadang juga tak bisa ditolak untuk muncul begitu saja. Tak ayal bisikan itu terkadang membuatku pesimis. "Bagaimana bisa kamu keliling kota di seluruh dunia. Ke kota Jakarta yang itu Ibukota Indonesia saja belum pernah." Aku menghembuskan napasku membiarkan terbawa angin Sore hari. Harapan yang besar rasanya berat sekali untuk diucapkan pada orang lain, jadi cukup diary kecilku dan Allah yang tau.
"AAAAAAHHHH."
Aku langsung teriak kaget, kulihat di sebrang sana ada Dodi si jahil melempari dengan batu kecil. Ingin sekali marah dan berteriak lalu mengejarnya. Huh sangat jahil.
"Enggeus atuh.(1) Sal, jangan kebanyakan ngayal mulu. Ini waktu udah mau Maghrib, cepet pulang dicariin Emak tuh."
Hampir saja aku hendak marah dan hampir juga tangan ini melemparkan batu kecil yang telah digenggam sebelumnya, tapi Dodi memberitahu untuk pulang. Memang Doni salah satu saudara lelaki dari pamanku, orangnya jahil namun perhatian, seperti sekarang ini, melempari dengan batu tapi niatnya baik. Entahlah dia selalu membuat bingung semua orang.
Oh iya maafkan aku mimpi, harus berhenti sejenak untuk berilusi, karena lemparan batu yang hinggap di kepalaku tadi.
Sesegera mungkin aku memakaikan sendal dan berjalan cepat meninggalkan saung tua itu, sudah hampir gelap ternyata.
*******
Matahari mulai menyembul setinggi tombak. Embun pun mulai meleleh dimakan matahari, ditambah burung-burung berkicau merdu sambil mengepak-ngepakan sayapnya di tangkai pohon. Ada beberapa burung yang izin kepada anaknya sebelum mencari rezeki di alam raya ini. Itulah suasana pagi Kampung Naga. Sebuah kabupaten kecil di Tasikmalaya yang begitu asri nan indah di pelupuk mata.
Kampung Naga masih sangat asri dengan adat tradisi yang masih memegang kepercayaan leluhur. Jauh dari teknologi, namun lingkunganya begitu damai dan tentram.
Kampung Naga merupakan perkampungan yang khas dengan Sunda ini kaya dengan pemandangan alam. Misalnya sawah pun dibentuk secara berundak-undak, tanaman buah-buahan dan sayur-sayuran sangat rindang di belahan bumi priangan timur ini, bahkan hutanya pun masih terjaga dengan asri. Jadi tak ayal jika pekerjaan mereka sebagai petani dijadikan mata pencaharian pokok untuk menghidupi keluarga kami semua. Bulan April ini warga sekitar akan bergemul berbondong-bondong untuk pergi ke sawah yang berpetak-petak.
Sawah yang mulai menguning, menandakan musim panen telah tiba, inilah hasil yang ditunggu-tunggu para petani guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Aku yang juga anak kampung pasti untuk pergi ke sawah merupakan sebuah kebiasaan yang ditanamkan Emak sejak kecil. Meskipun semakin dewasa malah kadang aku tetap bandel dan agak malas untuk ke sawah, ditambah usia yang baru puber. Jadi sedang senang-senangnya menghias diri, berlenggak-lenggok di depan cermin dan tak mau panas-panasan.
"Neng(2), jangan tidur mulu bantu emak sekarang cepet mandi udah mau subuh, geuning perawan teh males-malesan wae(3). Masa jadi anak perawan males-malesan," ujar Emak yang suaranya terdengar meski raganya sedang ada di dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mimpi dalam Kehilangan
AdventureHanya mimpi dalam kehilangan yang menjadikan aku hidup kembali. Sebuah perjalanan anak desa Kampung Naga, Tasikmalaya yang tengah mencari kehidupan barunya untuk bisa mendunia.